Orang yang Tepat, dari buku Road to a Happier Marriage karya Ivan Burnell, lisensi ada pada saya.
Inkonsistensi manusia terlihat setelah menikah, dan malahan ada yang mengatakan inkosistensi ini sebagai keanehan yang selalu dikaitkan dengan keegoisan.
Hanya ada satu kunci untuk menciptakan kebahagiaan dalam pernikahan: Memelihara situasi dan kondisi bahagia pada awal kebersamaan, lihat artikel saya: Dijodohkan atau Bukan, Kebahagiaan Diciptakan Sendiri.
Sebuah contoh:
Jane menemukan pria idamannya. Pria itu telah bekerja pada perusahaan yang sama selama 10 tahun. Dia tipikal orang yang tidak suka sering keluar rumah. Mereka pun berpacaran, dan Jane memasakkan makanannya dan mencucikan pakaiannya, walaupun ini bukan hal-hal yang dia suka lakukan untuk dirinya sendiri.
Kemudian mereka pun menikah. Jane menjadi begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak sempat lagi memasakkan makanannya atau mencucikan pakaiannya. Perusahaan Jane menawarkan banyak kerja lembur yang selalu dia terima.
Dalam waktu luangnya, Jane biasanya mengunjungi teman-teman wanitanya. Jane dan suaminya sangat jarang bertemu satu sama lain. Suaminya pergi kerja pagi-pagi, sebelum dia bangun tidur. Dia sendiri bekerja larut waktu dan pergi tidur setelah suaminya tertidur.
Percuma untuk dikatakan, pernikahan ini tidak bertahan lama. Apa yang salah?
Ini contoh jodoh yang dicari sendiri tapi tidak menjamin kebahagiaan. Bagaimana bisa, Jane yang sewaktu berpacaran "mengorbankan perasaannya" demi kebahagiaan, tapi tidak bisa lagi melakukannya setelah menikah? Apakah karena sewaktu berpacaran dia tidak menjadi dirinya sendiri? Tidak demikian, karena seperti yang saya sebutkan dalam beberapa artikel sebelumnya, manusia adalah makhluk kebiasaan dan kebiasaan itu bisa diubahkan (menjadi kebiasaan baru), setelah melewati apa yang disebut dengan zona nyaman.
Beberapa teman saya mengatakan bahwa menyatukan keinginan dua orang itu susahnya setengah mati, dengan alasan saudara kembar saja punya keinginan yang berbeda. Fakta cerita di atas adalah Jane rela mengubah kebiasaannya demi kekasihnya, tapi dia inkonsisten setelah menikah, dan lama-lama kegiatannya di kantor yang dia jadikan alasan untuk tidak bisa memasak dan mencuci pakaian lagi.
Menerima seseorang jangan hanya didasarkan pada kelebihan yang ada padanya, tetapi juga kekurangannya, termasuk kekurangan yang belum diketahui, dan pernikahan adalah pembelajaran saling mengenal dan menerima yang berlangsung seumur hidup. Ada orang yang mencari pasangan dengan kriteria yang tidak bisa ditawar-tawar, harus beginilah, harus begitulah, tidak boleh beginilah, tidak boleh begitulah, yang mungkin dia pantulkan dari kepribadiannya yang perfeksionis, dan orang itu berakhir dengan........... melajang seumur hidup, karena pada tahapan berpacaran saja dia tidak bisa menerima pasangannya.
Sebenarnya pernikahan itu juga sebuah hubungan yang memupuk persamaan dan tidak menajamkan perbedaan, tapi justru perbedaan kecil yang dibesar-besarkanlah yang menyebabkan terjadinya setiap perceraian.
Memang ini tidak bisa disamakan dengan penerimaan sebuah produk misalnya, tapi saya berikan contohnya:
Ketika saya hendak membeli sebuah rice cooker, saya melakukan sedikit riset daring dan menetapkan kriteria sebuah rice cooker yang hendak saya beli, dengan fitur-fitur: digital, potnya paling tebal, multifungsi (bisa masak nasi, mengukus dan menghangatkan sudah pasti, masak bubur, kue, lauk, dll.)
Saya menemukan 3 merek, T, P, J, semuanya produk impor berharga mahal. Karena memang harga yang murah tidak masuk dalam kriteria saya, ini tidak jadi masalah.
Harga berbanding lurus dengan fitur canggih.
Dari ketiga mereka ini, T memiliki pot yang paling tebal, 4 mm, punya 1 fitur tambahan yang tak dimiliki oleh P dan J pula (ini mengejutkan sekaligus menyenangkan saya), yaitu fungsi fermentasi, yang langsung membawa pikiran saya untuk mencoba memasak kue bika Ambon, lihat artikel saya:Â Bika Ambon Rice Cooker, dan saya lebih senang lagi setelah membeli rice cooker T dan bisa membuat kue ini dengan menghilangkan banyak kerepotan jika dibuat secara konvensional, cara almarhumah ibu saya.
Adakah kekurangan rice cooker ini? Ada. Hanya tersedia dalam 1 warna, putih, sedangkan P dan J punya 3 pilihan warna, putih, hitam, dan merah. Apakah kekurangan ini jadi masalah bagi saya? Sama sekali tidak, karena fungsi fermentasi itu sangat penting bagi saya dan dengan sendirinya kekurangan atau kelemahan si putih itu saya terima tanpa ada ganjalan rasa.
Alangkah indahnyalah jika cara menerima kelebihan dan kekurangan ini bisa diaplikasikan ke dalam sebuah pernikahan, yang toh sudah ditunjukkan sendiri oleh Jane di atas, tapi hanya terbatas selama berpacaran, inkonsisten setelah menikah.
Suami Jane sendiri sejak masih lajang sudah terbiasa memasak sendiri makanannya secara seadanya, dan juga mencuci sendiri pakaiannya, yang tinggal dia masukkan ke dalam washing machine, dan untuk kembali ke keadaannya seperti ketika masih lajang bukanlah hal yang sulit baginya, yang sulit adalah melupakan semua memori tentang Jane, yang pernah masuk dalam kehidupan pribadinya, dan itu sangat berharga baginya.
Orang yang dengan niat baik menjodohkan temannya harus siap menerima sebuah konsekuensi perceraian: teman yang bercerai itu bukan hanya menyalahkan diri dan/atau pasangannya, tapi juga orang yang menjodohkan dia.
Jonggol, 31 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H