Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik, karya Moh. Anif, penerbit Gadjah Mada University Press.
Angsa hitam menjadi sebuah special case untuk angsa putih (Fakta dan Kebenaran: Sekelumit Pemahaman), dua-duanya diterima sebagai kebenaran berdasarkan fakta, walau kontradiktif satu sama lainnya.
Karena saya seorang Apoteker dan juga chef, maka lahirlah artikel dengan judul di atas, dan walaupun bisa variatif, saya mengambil satu urutan saja: mengubah rasa menjadi praktik, baru melakukan pengolahan lebih lanjut menjadi karya tulis. Ada pararelisme antara Apoteker dengan chef dan tempat kerja mereka, laboratorium dengan dapur, tentunya berisi bahan-bahan yang berbeda, yang satu bahan farmasi dan satu lagi bahan makanan.
Di apotek, kegiatan meracik obat sudah berkurang sejak sediaan obat jadi diproduksi oleh pabrik-pabrik farmasi, tapi peracikan tetap dilakukan dan ilmu dan seni meracik tetap dipelajari seorang calon Apoteker, dengan penggantian kegiatan peracikan yang sudah berkurang itu dengan pelayanan pemberian obat di sarana kesehatan komunitas seperti apotek, klinik dan puskesmas, yang disebut dengan Farmasi Klinik dan Komunitas.
Hal seperti ini tidak dialami oleh seorang chef.
Karena saya seorang Apoteker yang sejak kecil juga belajar memasak, termasuk mengidentifikasi bahan makanan, rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu, dll., untuk sebagaimana seorang Apoteker membuat sebuah sediaan racikan, membuat sebuah hidangan. Menarik karena bahasa Indonesia menggunakan kata "racik" untuk dua kegiatan yang berbeda ini.
Karena keapotekeran saya hanya sebatas gelar dan bukan profesi, maka saya mencontohkan Apoteker lain dan karya beliau setelah melakukan praktik berdasarkan keilmuan beliau: Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik, karya Moh. Anif, penerbit Gadjah Mada University Press (lihat gambar judul).
Pada 2010 saya pernah membuka sebuah restoran seafood kecil. Pada akhir pekan, jika chef saya pulang kampung, saya yang menjadi chefnya. Di dapur, di depan atas kompor, ada sebuah rak berisi lebih dari 30 macam bumbu, padat maupun cair, yang letaknya tidak boleh diubah-ubah. Kompor yang digunakan berbahan bakar gas tekanan tinggi, yang besar-kecil apinya diatur ketika sedang memasak. Bumbu biasanya ditambahkan ke dalam kuali tanpa dilihat karena mata berfokus pada isi kuali. Itulah alasannya mengapa letak masing-masing bumbu harus tetap.
Ada SOP tak tertulis di dalam dapur dengan kompor gas bertekanan tinggi ini, si chef tidak boleh diajak bicara ketika sedang memasak, karena bisa membuyarkan fokusnya dan berdampak fatal: memasukkan bumbu yang salah, masakan menjadi gosong, dll.
Pengalaman seperti ini saya bawakan ke dapur rumah dengan kriteria yang lebih ringan karena kompor gasnya bertekanan lebih rendah, namun tidak boleh tidak, letak bumbu harus teratur.
Selain bahan, saya menata dapur saya dengan sangat rapi, lengkap dengan alat-alat masak dan makan berkualitas tinggi yang bahkan melampaui restoran besar, dan sebagian di antaranya saya beli ketika ke luar negeri. Alat-alat untuk memotong diasah secara berkala, dan untuk setiap kegiatan sekecil apa pun, hanya alat yang sesuai yang digunakan. Untuk memastikan nasi yang saya masak pulen dan enak, saya menggunakan sebuah rice cooker dengan pot setebal 4 mm, harganya relatif mahal tapi bisa digunakan selama bertahun-tahun tanpa penurunan sedikit pun kinerjanya.
Itulah alasannya kenapa saya tidak pernah mau memasak di dapur orang lain, dan saya tidak berhenti terheran-heran jika melihat saudara saya yang menggunakan gunting yang tumpul, atau sendok masak atau sendok sup yang mudah patah atau malah sudah patah, atau tidak tersedianya alat ini itu. Bagaimana bisa secara optimal mengolah rasa menjadi karya dengan situasi seperti itu.
Tentu saja, kebalikannya juga ada dan bisa diakses secara daring. Para chef kesohor dengan peralatan yang sangat canggih, bahan makanan dan bumbu yang premium, tapi kurang didukung oleh ilmu dan seni memasak yang baik. Saya lebih suka menonton seorang chef yang memperagakan keterampilannya memasak tanpa berkata apa-apa, ketimbang yang banyak memberikan penjelasan sampai-sampai informasi yang salah pun disampaikan kepada penontonnya.
Ada seorang tokoh dalam sebuah drama seri silat yang ketika ditanyai tentang sebuah masakan menjawab: "Aku tidak tahu tentang masakan, aku cuma tahu makan" dan tentang arak: "Aku tidak mengerti arak, aku cuma tahu minum."
Sebuah apreasiasi rasa yang tidak memerlukan banyak kata, karena esensi dan manfaat rasa maupun karya olahan rasa itu cukup dinikmati, bukan dikomentari.
Demikian jugalah dengan karya hasil olahan rasa yang mengambil wujud sebuah buku. Bacalah dia, resapi esensinya, dan rasakan manfaatnya, yang pada gilirannya membuat si pembaca bisa menjadi penulis dengan berbekal sikap dan prinsip yang sama.
Jonggol, 31 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H