Tadi malam, mulai pukul 19.30, saya bagaikan menaiki sebuah kendaraan dengan teleporter atau mesin teleportasi ala Star Trek, yang membawa saya ke tanggal yang sudah diset sebelumnya, yaitu ke sebuah hari di tahun 1980-an, ketika saya masih di SMA. Â
Ini bagi saya sangat istimewa, karena pengalaman seperti itu sudah lama tidak saya rasakan (setidaknya ada rentang 32 tahun): penuh pencerahan dalam suasana yang damai dan sejuk. Namun, yang mau saya ceritakan bukan kejadian tahun 1980-an itu, tapi tadi malam, ketika saya menghadiri acara halalbihalal RT di mana rumah saya menjadi bagiannya.
Acara ini dihadiri (susunan saya buat dari belakang atau baris kedua) oleh RT, RW, Ustaz Letkol Laut Dr. Sri Depranoto, S.Ag, M.Pd., dan Letkol Laut Mohammad Taufik, S.H., seorang pinisepuh warga RT, dan tentunya warga RT sendiri yang sangat guyub dan ramah. Keguyuban ini terlihat dari kursi yang semuanya terisi, dan sebelumnya warga sudah menyelesaikan lapangan serbaguna tempat halalbihalal ini dilaksanakan.
Acara dimulai dengan kata sambutan dari RT, RW, lalu tausiah dari pak Ustaz, bagian terpenting dari halalbihalal ini.
Tausiah ini sangat mengesankan bagi saya karena belum dimulai saja orang sudah merasa sejuk melihat wajah pak Ustaz yang penuh senyum pembawa damai, yang dengan gelar dan pangkat yang demikian panjang malah memilih untuk berbicara di bawah panggung.
Tausiah pun disampaikan inklusif bagi pemeluk agama yang berbeda-beda, dengan gaya santai dan kocak tapi mencetakkan senyuman sang ustaz ke wajah para hadirin.
Betapa tidak, untuk menjelaskan betapa kita harus sangat bersyukur karena memiliki mata, pak Uztaz mengajak seorang pemuda ke depan lalu ditanyai, ini apa, ini apa, dan dijawab si pemuda dengan cepat.
Mata pemuda itu lalu ditutupi kain oleh pak Ustaz lalu ditanyai lagi, "ini apa, yang saya ambil apa, dll., dan............. yang saya pegang isteri siapa, padahal satu pun tidak ada yang diambil maupun dipegang." Semua pertanyaan ini dijawab si pemuda dengan "tidak tahu, karena tidak kelihatan."
Tausiah dahsyat itu dimulai dengan ajakan untuk bersyukur, dengan mempertimbangkan bagaimana kalau kita mengalami kekurangan satu saja organ tubuh, siapkah kita menerimanya, dan siapkah kita menerima ajal yang tidak menunggu tobat?