Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hukum Sebab-Akibat dalam Dunia Kerja

22 Mei 2021   17:50 Diperbarui: 22 Mei 2021   17:51 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sebuah Mall bersama si Mas, hendak makan shabu-shabu, 25 September 2013. (Dok. Pribadi)

Via WA, saya baru berbagi artikel Antidot Bos Toksik kepada seorang sahabat, office boy yang saya sebutkan sebelumnya. Kami tidak bekerja di perusahaan yang sama, dan sahabat yang saya panggil mas dan memanggil saya Prof. ini bertahan bekerja selama 14 tahun di perusahaan yang sangat toksik dan sudah berhenti selama 3 tahun. Sebuah kekuatan lahir dan batin yang patut disaluti.

Saya mengenal si Mas karena kantor dia dekat dengan kontrakan saya dulu. Si mas sering membantu saya memasak untuk makan bersama teman-teman lain, bahkan kadang-kadang menunya dari dia, dengan andalan: sayur asem, sedangkan saya banyak, antara lain: shabu-shabu dengan dashi (kaldu yang dibuat sendiri dari campuran katsuobushi atau serutan daging ikan cakalang yang dikeringkan, konbu, dan juhi kering). Tak ada shabu-shabu di restoran mana pun yang seenak shabu-shabu kami ini. Si mas sendiri mengakui hal ini karena dia pernah beberapa kali saya ajak makan di restoran shabu-shabu.

Suatu hari, sepulang dari tugas menemani bosnya ke Surabaya, si Mas bercerita tentang dia diajak makan bareng di sebuah restoran Jepang dengan pesanan shabu-shabu. 

Semasih di hotel, bosnya mewanti-wanti agar si mas kalau tak tahu cara makan, sebaiknya perhatikan dulu orang lain yang makan, jangan bikin malu. Cerita ini ditutup oleh si mas dengan "belum tau dia Prof."

Rekor terlama si bos toksik itu memiliki karyawan yang bertahan paling lama ya dipegang oleh si mas, yang sebelum berhenti sempat saya beri masukan agar bertahan lebih lanjut, dengan pertimbangan kepentingan keluarga yang harus dia tanggung. 

Karena orang yang paling kuat sekali pun memiliki batas atau titik patah, si mas memilih berhenti walaupun dia akan memasuki keadaan yang lebih tidak pasti.

Kami memelihara persahabatan tanpa melihat latar belakang masing-masing. Persahabatan saya inilah yang menginspirasi saya untuk dengan tulus berteman kepada siapa saja yang baik, sampai mereka terbukti sebaliknya dan tidak pantas lagi ditemani. 

Ini menghasilkan sebuah ungkapan hasil renungan saya, sebuah seleksi alam: "Orang jahat akan terasingkan dari lingkungan orang baik, orang baik akan mengasingkan diri dari lingkungan orang jahat."

Dulunya saya sampai 3 kali bertoleransi kepada kaum "jahat" (di antaranya penumpang hidup alias freeloader yang dalam dialek Tanjungbalai Asahan disebut "numpang bengkak, dia yang numpang (enak), kita yang bengkak." Lama kelamaan frekuensi toleransi ini menjadi 2 kali dan sekarang 1 kali.

Aturan No. 1: Makna Diri
Aku penting, orang lain juga penting. Aku tidak akan menggunakan pentingnya diriku untuk menjatuhkan siapa pun, dan aku tidak - tidak - tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan pentingnya diri mereka untuk menjatuhkan aku.
Aturan No. 2: Kejujuran Mutlak.

Jangan menghargai seseorang karena berbagai atribut "hebat" yang disandangnya. Jika punya ijazah bahkan sampai S yang sebesar-besarnya (mulai dari S-1) ijazah itu tersimpan rapi di rumah, bukan dibawa ke mana-mana. 

Ucapan almarhum guru olahraga saya di SMP juga tetap saya ingat: "Yang lurus banyak gunanya, yang bengkok ada gunanya." Jangan pula melabeli orang yang punya kelebihan non-akademis dengan "street smart," temani saja kalau memang layak.

Si Mas: "Bos toksik itu apa Prof?"
Saya: "Toksik itu beracun mas."
Si Mas: "Waduh, sejenis binatang apa itu beracunnya?"
Saya: "Ya binatang paling beracun yang bisa mas bayangkanlah."
Si Mas: "Wah, kalau dia (menyebut bosnya) mah segala racun apa pun punya."
Saya: "Syukurlah, mas sudah tidak berada di lingkungan kerja beracun itu."
Pesan si mas selanjutnya mungkin agak mengagetkan orang lain, tapi saya sama sekali tidak. Si Mas: "Dia masih berharap saya balik ke kantor lagi Prof, cuma saya tolak."
Saya: "Yalah, dari mana dia mau cari orang sesetia mas menjaga asetnya."
Si Mas: "Hahaha itu dia Prof, biar saya ditawarin gaji berkali-kali lipat juga ndak bakal saya balik."
Saya: "Mantap mas, sudah makin berumur, jangan sampai jatuh ke dalam lubang jebakan yang sama."
Si Mas: "Nggak nyesel Prof, ingsun keluar dari kantor, cuma dia masih berharap ingsun balik lagi."

Biarlah rekor 14 tahun bertahan yang dipegang si mas, yang menurut saya sangat sulit dicapai oleh siapa pun, tidak dilanjutkan kecuali dalam sebuah lingkungan kerja non-toksik. 

Akumulasi dampak negatif lingkungan kerja toksik yang dialami si mas, tidak bisa diobati dengan semua penghasilan dia yang juga hanya pas-pasan setiap bulannya, sementara "kualitas" hidup bosnya sendiri sudah sangat berbeda dengan dulu, di mana dia tanpa malu-malu bon makan siang di warteg dan dibayar pada tanggal gajian, dengan menu harian yang persis sama dengan si mas: PECEL LELE.

Jonggol, 22 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun