Jangan menghargai seseorang karena berbagai atribut "hebat" yang disandangnya. Jika punya ijazah bahkan sampai S yang sebesar-besarnya (mulai dari S-1) ijazah itu tersimpan rapi di rumah, bukan dibawa ke mana-mana.Â
Ucapan almarhum guru olahraga saya di SMP juga tetap saya ingat: "Yang lurus banyak gunanya, yang bengkok ada gunanya."Â Jangan pula melabeli orang yang punya kelebihan non-akademis dengan "street smart," temani saja kalau memang layak.
Si Mas: "Bos toksik itu apa Prof?"
Saya: "Toksik itu beracun mas."
Si Mas: "Waduh, sejenis binatang apa itu beracunnya?"
Saya: "Ya binatang paling beracun yang bisa mas bayangkanlah."
Si Mas: "Wah, kalau dia (menyebut bosnya) mah segala racun apa pun punya."
Saya: "Syukurlah, mas sudah tidak berada di lingkungan kerja beracun itu."
Pesan si mas selanjutnya mungkin agak mengagetkan orang lain, tapi saya sama sekali tidak. Si Mas: "Dia masih berharap saya balik ke kantor lagi Prof, cuma saya tolak."
Saya: "Yalah, dari mana dia mau cari orang sesetia mas menjaga asetnya."
Si Mas: "Hahaha itu dia Prof, biar saya ditawarin gaji berkali-kali lipat juga ndak bakal saya balik."
Saya: "Mantap mas, sudah makin berumur, jangan sampai jatuh ke dalam lubang jebakan yang sama."
Si Mas: "Nggak nyesel Prof, ingsun keluar dari kantor, cuma dia masih berharap ingsun balik lagi."
Biarlah rekor 14 tahun bertahan yang dipegang si mas, yang menurut saya sangat sulit dicapai oleh siapa pun, tidak dilanjutkan kecuali dalam sebuah lingkungan kerja non-toksik.Â
Akumulasi dampak negatif lingkungan kerja toksik yang dialami si mas, tidak bisa diobati dengan semua penghasilan dia yang juga hanya pas-pasan setiap bulannya, sementara "kualitas" hidup bosnya sendiri sudah sangat berbeda dengan dulu, di mana dia tanpa malu-malu bon makan siang di warteg dan dibayar pada tanggal gajian, dengan menu harian yang persis sama dengan si mas: PECEL LELE.
Jonggol, 22 Mei 2021
Johan Japardi