Sejak kejadian ini, mungkin KB rapat dengan saudara-saudaranya, sehingga pada kunjungan selanjutnya ke luar negeri, barang bawaan masing-masing orang tidak dicampuradukkan dengan barang lain, bahkan untuk sekadar membeli air mineral sebagai tambahan di dalam kamar hotel, dilakukan bergiliran tanpa memandang jabatan.
Ini bagus, ketimbang hal-hal tetek-bengek di luar pekerjaan sampai membuat kinerja kita menurun.
Pengalaman 5:
Ini sudah di perusahaan lain, dengan kakak bos yang lain, tapi karakteristiknya kurang lebih sama, saya sebut juga KB saja.
KB meminta tolong (tepatnya: mengeksploitasi) saya untuk menyiapkan bahan ceramah yang akan dipresentasikan kepada audiens tertentu. Agar tidak mengganggu pekerjaan saya di kantor, terpaksa saya mengerjakannya di rumah (sebuah pelanggaran hak pribadi lagi).
Berbeda dengan bahan presentasi yang biasa dibuat orang, bahan presentasi saya berformat video dan saya mengerjakan subtitelnya dengan penuh ketelatenan, karena 1 detik video berisi hampir 30 frame gambar. Ini adalah ilmu seorang pembuat subtitel yang saya pelajari sendiri, mumpung komputer saya di rumah cukup canggih. Honor saya? Rp. 200.000!, itu pun tidak diberikan kalau saya tidak memintanya. maaf, kata teman saya: Untuk dijadikan lap keringat saja tidak cukup.
Setelah kejadian ini, saya selalu punya cara untuk menolak "tugas" dari orang yang namanya saja tidak tertera dalam struktur organisasi perusahaan, siapa pun dia, peduli amat. Namun saya mengalami juga pengalaman 6 di bawah dari orang yang sama, karena dia berada dalam posisi bisa mengintervensi bos saya, adiknya.
Pengalaman 6:
KB datang ke kantor ketika saya sedang izin karena sakit. Dia pun menyerahkan sebuah flashdisk kepada A, staf saya. Ketika saya masuk kantor, baru mau memulai pekerjaan saya, A masuk ke ruangan saya hendak menyerahkan flashdisk itu. KB sendiri terdengar suaranya sedang berbicara di ruangan sebelah, ruangan bos.
A: "Pak, ini ada titipan dari pak anu (menyebutkan KB)."
Saya: "Oh, apa itu?"
A: "Katanya brosur pak, cuma selembar, minta bapak terjemahkan, dan tadi katanya sedang dia tunggui."
Sekali lagi, what the heck and what is wrong with this guy?
Saya: "Pak anu itu jabatannya apa di perusahaan ini?"
A: "Lho, kan kakaknya bos."
Saya: "Kakak itu bukan jabatan."
A: "Nggak taulah saya pak."
Saya: "Begini, kamu mau kalau ke depannya kamu terus diganggu dengan urusan tetek-bengek oleh hantu belau?" (maaf, keluar cakap Medan saya)."
A: "Ya nggaklah pak."
A pun lalu kembali ke meja kerjanya.
Mungkin karena mendengar percakapan kami, seketika itu juga KB mendatangi saya.
KB: "Pak, sudah selesai yang kemarin?"
Ini orang menanyakan keadaan kesehatan saya saja tidak.
Saya: "Maksudnya pak?"
KB: "Yang saya titipkan ke A kemarin itu lho, brosur."
Saya: "Brosur apa pak?"
KB, mulai kesal: "Brosur yang dalam flashdisk!"
Saya: "Oh itu, belum pak."
KB: "Tolonglah pak, urgen."
Saya: "Komputer saya hang pak."
Saya lalu membuka game Spider Solitaire dan bermain game itu di depan mata KB.
KB yang superkesal lalu pergi ke ruangan bos dan melaporkan "pembangkangan" saya.
Saya dipanggil bos.
Bos: "Pak, tolonglah dulu kerjakan brosur (itu)."
Saya, tidak mau banyak bicara: "Nah inilah, bapak suka nggak fair sama saya."
Karena bos saya mungkin sudah sedikit mendapat tekanan dari kakaknya, "Anggaplah saya yang menyuruh bapak."
Saya: "Kalau begitu beda ceritanya, siap pak. Tapi mohon lain kali jangan biarkan saya dibebani dengan pekerjaan yang tak jelas dari orang yang tak jelas ya pak?"
Itulah kali terakhir KB sebiji ini meminta bantuan saya, dan suasana toksik di kantor pun semakin berkurang.
Saya sudah membicarakan panjang lebar tentang lingkungan kerja toksik yang dibangkitkan oleh bos dan orang-orang dekatnya, sekarang antidot atau obat penawarnya:
1. Untuk bos dengan toksisitas seperti yang saya uraikan dalam artikel sebelumnya, antidotnya.............. tidak ada. Segeralah keluar dari lingkungan yang demikian, sebelum Anda sendiri tertulari dan menjadi toksik.
2. Untuk bos dengan tingkat toksisitas yang masih memungkinkan penggunaan antidot (sebenarnya ini hanya antidot imajinatif), perubahan dilakukan mulai dari diri kita, dan syukur-syukur bos sendiri pun bisa mengaplikasikan kaizen pada dirinya sendiri, yang didasari oleh sebuah tujuan mulia untuk melakukan peningkatan dalam segala hal, termasuk hubungan sesama manusia. Tentunya ini melibatkan iktikad baik, bibit, bobot, bebet, dan moralitas. Banyak kok bos-bos yang diam-diam mengikuti pelatihan pengembangan diri untuk selanjutnya mengembangkan bisnisnya.
Bekerja untuk sebuah perusahaan bukan berarti menikah dengan perusahaan itu.
Jonggol, 22 Mei 2021
Johan Japardi