Dari sinilah muncul segala bentuk cerita yang masih bisa kita saksikan dari film atau media lainnya, termasuk buku, ditambah dengan informasi dari generasi tua yang masih hidup, yang mungkin pernah mengalami sendiri penjodohan itu, atau menyaksikan dan mendengar dari generasi yang lebih tua lagi melalui tradisi lisan.
Zaman now, sisa-sisa tradisi ini masih dijalankan segelintir orang, entah itu dengan bakti sepenuhnya, atau dengan keberatan dalam hati maupun secara terbuka, atau sudah tidak peduli lagi walau melakukan penolakan yang membuat dia dicap put hao, yang sebagaimana halnya penjodohan itu sendiri, sudah dia lihat tidak relevan dengan zaman.
Satu hal yang terlihat jelas sampai sekarang, utamanya pada wanita, adalah mengabaikan penderitaan dan mengubur ketidakbahagiaan mereka demi sesuatu yang kemudian muncul dalam hidupnya, anak-anak.
Di sisi lain dan di negeri lain, orang-orang dengan gampang melakukan perceraian (bahkan dengan tidak mempedulikan anak-anak), dengan pengambil keputusan dari pihak suami, isteri, maupun keduanya. Dunia akan relatif tetap demikian jika pasangan suami isteri tidak duduk berembuk memikirkan solusinya dengan menyingkirkan keegoisan masing-masing.
Saya pernah memberikan advis ringan kepada suami isteri tetangga yang jauh lebih muda dari saya, yang sebentar-bentar bertengkar, dan satu ucapan saya yang paling berkesan bagi mereka, yang saya kaitkan dengan anak-anak mereka, adalah "Coba kalian renungkan, penting nggak menjaga hubungan sesama saudara? Bagaimana dengan kalian sendiri? Kalian lho yang menciptakan dua bersaudara, kalian mau mereka saling akur? Berikan teladan, itu saja."
Jonggol, 21 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H