Ayah saya baru dilahirkan oleh nenek, 1937. Hasil pewarnaan foto hitam-putih.
Apa pun jalan yang ditempuh seseorang, selalu ada pertimbangan yang mendasarinya, entah itu baik atau buruk. Pertimbangan baik tentu disesuaikan dengan kondisi, kebiasaan pribadi, keluarga dan masyarakat di mana orang tersebut menjadi bagiannya, sebisa mungkin dalam sebuah lingkup yang telah disepakati bersama. Saya amati, ini tidak luput dari pertimbangan khusus yang hanya berlaku katakanlah dalam keluarga dekat orang tersebut, yang belum tentu merupakan hal yang disepakati bersama oleh masyarakat.
Sebelum masuk ke urusan jodoh dan penjodohan, saya hendak memberikan sebuah contoh kecil mengenai pertimbangan "buruk" ini. Sebuah keluarga memiliki kebiasaan khas tidak membuang pakaian bekas yang sudah tidak digunakan lagi yang adalah baik menurut keluarga ini. Tatkala dilihat oleh seseorang dari keluarga lain dengan kebiasaan khas menyumbangkan pakaian bekas kepada orang-orang yang tidak mampu, dia langsung memberikan kesimpulan bahwa itu adalah sebuah hal yang buruk untuk dilakukan, kenapa tidak menyumbangkan saja pakaian itu seperti yang dia dan anggota keluarganya lakukan.
Di sini terlihat bahwa kriteria baik-buruk, dan juga benar-salah adalah hasil kesepakatan dan perbedaan pandangan muncul ketika sebuah kriteria berbeda di antara 1 orang dengan orang lain.
Saya sempat merenungkan, "perjodohan" ditentukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa, sedangkan jika agen atau pelakunya adalah manusia, istilah yang lebih tepat adalah "penjodohan" dan dengan demikian pelaku itu disebut "penjodoh" dan kliennya "terjodoh" yang "terjodohkan."
Mari kita melakukan perjalanan waktu ke masa lampau untuk melihat penjodohan, dan agar tidak melebar ke mana-mana, saya hanya akan memaparkan kejadian dalam keluarga dan kerabat saya dan kenalan mereka, dari suku Hokkien.
Dalam tradisi Hokkien, lebih umum lagi China, dan lebih lebih umum lagi orang-orang yang menggunakan marga dan paternalistik, sebuah ketentuan yang sudah dibuat sejak zaman leluhur adalah penentuan keputusan berada ditangan pria, dimulai dari generasi yang paling tua, kecuali misalnya karena alasan tidak bisa atau tidak mau mencampuri urusan sang anak laki-laki, seorang kakek sepakat dengan putranya dalam hal penjodohan cucu perempuannya.
Biasanya yang mendasari keputusan ayah gadis ini adalah karena dia kenal dekat dan lama dengan keluarga si laki-laki yang menurutnya memenuhi kriteria bibit, bobot, dan bebet, walaupun sebenarnya yang bisa benar-benar dijadikan acuan pada masa itu hanyalah bibit. Karena tingkat kompleksitas urusan yang satu ini, saya tidak mungkin bisa membahas hal-hal yang bisa dijadikan pengecualian, yang bisa mengakibatkan misalnya si ayah salah menilai karena calon menantu laki-lakinya pandai bersandiwara dan menutupi watak aslinya. Namun hasil akhirnya dialami oleh anak gadis yang hendak dijodohkan itu, penuh dengan ketidakpastian.
Lalu, menjawab pertanyaan judul artikel ini, mengapa gadis itu bersedia dijodohkan, bahkan mungkin dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya?
1. Didikan keluarga yang paternalistik membuat dia nrimo apa pun yang diputuskan baginya, dan pada masa itu ada istilah "die zuo zhu" (ayah jadi tuan/penentu/pengambil keputusan).
2. Ada juga adagium yang dipatuhi anak perempuan, "di rumah patuh kepada ayah, setelah menikah patuh kepada suami."Â Jadi semuanya dimulai dari dan diprioritaskan pada keluarga. Itulah sebabnya mengapa China adalah satu-satunya negara di seluruh dunia yang menyebut negara sebagai "guojia" (harf.: keluarga negara).
3. Hao (bakti) kepada orangtua (utamanya ayah) bukan hanya dijalankan oleh anak dengan jender tertentu, tetapi laki-laki maupun perempuan. Kata bakti ini memiliki cakupan yang luas, karena di dalamnya ada hormat, patuh, sayang, dll. Sangat berat beban yang ditanggung oleh seorang anak kalau sampai dia dicap "put hao" (Dialek Hokkien: tidak berbakti).
Setelah si gadis ini menikah, maka di rumah suaminya, yang zuo zhu adalah ayah dan ibu mertuanya. Si gadis, sekarang wanita, itu harus memberikan bakti kepada kedua mertua seperti kepada orangtuanya.
Apakah hidupnya setelah menikah lebih buruk atau lebih baik, hanya wanita ini sendiri yang tahu, karena hanya dia yang mengalami adaptasi kehidupan dirinya dari keluarga orangtua ke keluarga suami. Lagipula, mana ada keterbukaan informasi pada zaman itu, teman untuk berbagi saja tidak ada atau sangat minim. Nrimo adalah pilihan yang tersisa.