Putri dan Eca di Lembang, 30 Desember 2018.
Subjudul artikel jelas-jelas diilhami oleh peribahasa Indonesia, Rajin pangkal pandai, yang sebagaimana halnya peribahasa-peribahasa kita lainnya, mengandung makna dan kearifan yang tak lekang oleh waktu.
Entah kenapa peribahasa-peribahasa kita tidak digali lebih lebih lanjut dan diaplikasikan sebagai kutipan motivasional, dan yang justru lebih banyak diambil adalah ujaran asing, seperti:
The secret of getting ahead is getting started.
Rahasia untuk maju adalah memulai. - Mark Twain.
Yang tak lain tak bukan adalah:
Rajin pangkal pandai (mencakup "rajin memulai") dan saya tambahkan "Rajin pangkal pandai, kalau sudah pandai harus tetap rajin agar sukses.":Â Rajin Pangkal Sukses: Sebuah Kearifan Indonesia.
Jadi, rajin adalah proses/perjalanan untuk mencapai apapun yang menjadi tujuan/destinasi, dan tidak akan ada lagi orang "malas" jika semua orang bisa melihat pentingnya proses ini. Jika kita simak ucapan Ivan Burnell, Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan sebuah destinasi: Mencapai Target Hidup: JJC Prasyaratnya, bukankah rajin itu sendiri sudah merupakan sebuah proses sekaligus sukses?
Asal mau rajin memulai dan menjalani sebuah proses, hanya tinggal masalah waktu kita akan sampai ke tujuan/destinasi, termasuk MEMBANGUN MINAT BACA ANAK. Dalam artikel: Parenting a la Johan Japardi, saya katakan bahwa "Anak adalah seorang pribadi independen sekaligus dependen. Dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang independen, arahkan dia untuk mandiri dalam mengambil INISIATIF sendiri, dan dalam kapasitas yang satu lagi baru kita berikan INSTRUKSI, yang semakin lama semakin berkurang."
Karena yang kita bicarakan adalah membangun minat baca si anak, maka inisiatif dan instruksi ini juga bisa diaplikasikan ke dalamnya. Dengan menjalani proses "rajin," anak  juga akan lebih optimistik, dan pada gilirannya lebih kompeten. Saya kutip lagi ucapan Ivan Burnell, kali ini tentang orang kompeten dan inkompeten:
"Orang kompeten selalu mencari CARA untuk BERKINERJA,
orang inkompeten selalu mencari ALASAN untuk TIDAK BERKINERJA."
Saya melihat ada orang tertentu yang mengoleksi buku-buku dengan tujuan:
1. Menunjukkan bahwa dia juga memiliki sebuah perpustakaan, dan dengan demikian kelihatan semakin "terpelajar."
2. Menunjukkan bahwa dia juga memiliki buku-buku yang sedang jadi trend yang sedang dibaca oleh teman-temannya.
Â
Kenyataannya, sebagian besar buku dalam rak dia bahkan masih berbungkus plastik dan sudah pasti belum dibaca. Lama kelamaan, buku-buku seperti inilah yang akan ikut mengalami keadaan yang dilukiskan dalam sebuah puisi yang pernah saya tanggapi dengan sebuah artikel, yakni Puisi: Buku, Nasibmu Kini, karya Kompasianer Ali Musri Syam.
Saya kasihan dengan orang-orang yang berencana membeli buku yang sama, yang sedikit banyak terkurangi kesempatannya, dan yang paling memprihatinkan adalah: bagaimana si pemilik perpustakaan itu bisa mengharapkan anak-anaknya memiliki kegemaran membaca dengan tingkat apresiasi bukunya yang sedemikian dangkal?
Di sisi lain, ada orangtua tertentu yang bergumul dengan kemampuan ekonominya untuk mendukung minat baca anaknya yang tinggi, dan ada pula orangtua yang bukan tidak mampu untuk membelikan sebuah novel permintaan anaknya, seharga Rp. 45.000, tapi memilih untuk "pelit" dan tidak mengabulkan permintaan sang anak, lihat artikel saya: Sudah Jatuh Miskinkah UNICEF? Dan Sebuah Cerita Lain.
Tak ada rotan akar pun jadi.
Bahkan orang Melayu Tanjungbalai punya ungkapan: Tauke Melayu, tak ada besi ganti kayu.
(Hati-hati: pastikan kayunya cukup keras, dan siapkan dana untuk secepat mungkin mengganti besi dengan besi).
Bahkan seorang teman saya pernah memberikan masukan:
"Kalau di tengah jalan kau melihat ada koran bekas atau majalah bekas, kutiplah.": Paradoks Pembatasan Jenis dan Jumlah Bacaan Menurut Usia Anak.