Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perpustakaan Pribadi Anak, Kenapa Tidak?

20 Mei 2021   12:54 Diperbarui: 20 Mei 2021   13:02 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eca dengan novel-novel koleksi kakaknya, 20 Mei 2021.

Gagasan untuk memiliki sebuah perpustakaan pribadi sudah tumbuh dalam diri saya sejak masih kecil, karena di rumah kami ada perpustakaan dengan koleksi ratusan buku peninggalan almarhum kakek saya, Yap Chenghuat (Mr. Yap), sampai akhirnya saya bisa memiliki perpustakaan pribadi saya dengan terus menambahkan koleksi buku ini. Lihat antara lain: Koleksi Buku di Perpustakaan Pribadi Johan Japardi yang punya sejarah panjang dan pernah ditimpa "musibah" pada 2001: Let Go dan Move On dari Musibah 2001, dan 2 lagi musibah berskala lebih kecil ketika terjadi banjir pada awal 2007 dan 2008.

Saya sudah mendata bahwa total buku saya yang musnah pada 2001 itu, 32 meter, harganya sekitar Rp. 45.000.000, belum lagi yang 2007, 2008, dan yang dipinjam teman tapi tak pernah dikembalikan.

Ini membuat saya berimprovisasi untuk tidak meminjamkan lagi buku kepada siapa pun, kerena buku bagi saya sangat berharga, dan kalau ada teman yang memang juga bisa menghargai buku seperti saya dan ingin "memilikinya", dia punya pilihan:
1. Membeli sendiri.
2. Mengeluarkan sedikit upaya untuk men-scan dan mencetak sendiri buku tersebut dengan scanner dan printer yang saya sediakan, mau warna, mau grayscale, silahkan saja.
3. Lebih mudah lagi, jika saya juga memiliki e-booknya, teman saya bisa langsung mencetak lalu pergi menjilid buku itu.

Dengan demikian, saya tidak lagi mengalami masalah:
1. Buku yang dikoleksi bukan dengan mudah, berkurang.
2. Kesulitan kalau sewaktu-waktu teringat ingin membeli kembali buku yang pernah saya miliki tapi sudah tidak saya pegang: harus menunggu cetakan ulang atau membeli buku bekasnya, tentunya dengan kerepotan dan biaya tambahan yang sebenarnya bisa dihindari.

Dengan menempuh langkah seperti di atas, ketika mendirikan Perpustakaan Pribadi Johan Japardi, saya memulai dengan 50 meter buku cetak yang berhasil saya kumpulkan kembali sejak akhir 2001, dan tentunya akan bertambah terus, dan lebih dari 34.000 e-book yang saya katakan tidak mungkin saya punya waktu untuk membacanya semua, apalagi ebook ini juga semakin bertambah.

Satu pembelajaran penting yang saya dapatkan dari pengalaman saya ini adalah:
Dalam hidup kita selalu mengejar banyak hal. Kalau tidak berhati-hati, yang kita kejar itu dimulai dengan yang memang kita butuhkan, tapi selanjutnya termasuk apa yang kita inginkan, yang tak ada habis-habisnya. Dalam hal pengumpulan buku, home entertainment, komputer yang secanggih-canggihnya yang akhirnya mampu saya beli, waktu saya sudah semakin terbatas untuk bisa menikmati semuanya. Satu hal yang sangat melegakan adalah, sama seperti kakek saya yang mewariskan semua bukunya untuk generasi berikutnya, demikian pula dengan "harta" yang saya miliki itu.

Dan dengan demikian saya jadi bersikap:
Mengoleksi apa pun hendaknya berupa item yang bisa digunakan, bukan hanya untuk dilihat-lihat. Juga, jangan sampai kemelekatan kita kepada apa yang kita koleksi membuat kita berpikir dan bertindak di luar nalar. Pada akhirnya, koleksi kita itu akan lenyap, dan manfaat yang ditinggalkanya berada dalam pikiran kita dan orang-orang yang ikut merasakan pengaruhnya.

Di sini saya mau mengajak para pembaca untuk menghayati kearifan dari dua orang:
1. Lost follows the pursuit of gain. (Kehilangan mengikuti pengejaran pencapaian). - Zhuangzi.
2. It's not what you take when you leave this world behind you, It's what you leave behind you when you go. (Yang penting bukan apa yang kau bawa pergi ketika kau meninggalkan dunia ini, tapi apa yang kau tinggalkan ketika kau pergi). - Dari lagu Three Wooden Crosses, Randy Travis.

Sejak Putri berada di SD kelas 6, like father like daughter, dia juga mulai mendirikan Perpustakaan Pribadi Putri Natalia, lengkap dengan stempel perpustakaan bertuliskan "Private Property of Putri Natalia," lengkap dengan kolom untuk mengisi hari dan tanggal pembelian, dan harga yang ditulis di halaman terakhir atau jika ada label hargamya, dipindahkan dari plastik pembungkus luar ke halaman ini. Stempel ini tentunya tidak digunakan untuk buku-buku koleksi adiknya, Eca, yang untuk sementara numpang simpan di perpustakaan kakaknya.

dokpri
dokpri
Eca berpose di depan perpustakaan pribadi kakaknya, yang juga berisi buku koleksi Eca, 20 Mei 2021.

Saya belum melihat dengan jelas minat Eca tertuju kepada penulis yang mana, tapi menurut saya masih wajar kalau anak seumuran dia masih lebih suka membaca buku-buku kaya ilustrasi ketimbang teks, dan Eca tetap mengikuti rule of thumb: mengutamakan membaca buku-buku pembelajaran sekolah. Tampaknya sang kakak berhasil menjadikan dirinya panutan sang adik.

Melalui pengecekan daring, saya belum menemukan informasi tentang perpustakaan pribadi anak, yang ada paling-paling perpustakaan rumahtangga, dan data dari 2018 berikut bisa dijadikan rujukan tentang minat baca dan dampak membaca:
Novel news: world's biggest bookworms revealed in study
Berita baru: kutu buku terbesar di dunia terungkap dalam penelitian

Kajian yang diterbitkan dalam jurnal Social Science Research menemukan bahwa jumlah buku rumahtangga pada usia 16 memiliki hubungan positif langsung dengan kemampuan literasi, keterampilan berhitung, dan TI di tahun-tahun berikutnya - terlepas dari seberapa banyak studi tersier yang dilakukan seseorang, atau seberapa sering mereka membaca setelah dewasa.

Rata-rata orang Australia memiliki 148 buku per rumah, tetapi sebagian besar responden (35%) hanya memiliki 65. Yang terbanyak adalah orang Estonia, rata-rata memiliki 218 buku, dan 35% memiliki 350 buku atau lebih.

Norwegia (212), Swedia (210) dan Republik Ceko (204) juga mengalahkan negara-negara berbahasa Inggris seperti Inggris (143) dan AS (114). Turki memiliki rata-rata terendah (27), dengan 60% rumah tangga mengatakan mereka hanya memiliki lima buku.

Penulis utama, Dr. Joanna Sikora dari Universitas Nasional Australia (Australian National University/ANU), mengatakan bahwa paparan remaja terhadap buku meletakkan dasar bagi "budaya ilmiah" yang memberinya peningkatan pendidikan seumur hidup, terlepas dari keuntungan atau kerugian sosial.

Ini senarai yang lebih lengkap:

Tangkapan layar dari: Sumber: https://www.theguardian.com/books/2018/oct/12/the-more-books-in-a-house-the-brighter-your-childs-future-study-finds
Tangkapan layar dari: Sumber: https://www.theguardian.com/books/2018/oct/12/the-more-books-in-a-house-the-brighter-your-childs-future-study-finds
Senarai jumlah rata-rata buku per rumahtangga remaja berusia 16 tahun.

Catatan:
1. Bagaimana dengan kita?
2. Saya sangat senang dan bangga, karena jangankan dibanding saya, dengan Perpustakaan Pribadi Putri Natalia (tepatnya plus Eca) saja senarai di atas tidak ada apa-apanya, dan saya berharap ini bisa menyemangati para remaja untuk berembuk dengan orangtua mereka untuk mendukung mereka mengoleksi buku.

Berikut saya sajikan sedikit tambahan pernyataan Dr. Joanna Sikora yang mudah-mudahan juga bisa menambah penyemangatan:
Manfaat buku konsisten di seluruh dunia, dan tak bergantung pada tingkat pendidikan, pekerjaan ketika dewasa, jenis kelamin, usia, atau tingkat pendidikan orangtua.

Saya tidak sependapat dengan pembubuhan cap "kutubuku" pada seseorang yang banyak membaca dan prihatin dengan data 2018 yang menunjukkan bahwa orang Jepang berada di urutan ke-14 senarai, yang menjawab pertanyaan saya dalam artikel Cersil Kho Ping Hoo yang Saya Baca Sejak SD Kelas 4, tentang mengapa sekarang saya sudah sangat jarang mendengar orang mengupas tentang kegemaran membaca, bahkan orang Jepang yang dulu sering saya dengar dari berita saking gemarnya membaca, sampai-sampai melakukan kegiatan kegemaran mereka itu di atas kereta, sudah jarang saya dengar beritanya.

Sungguh dunia sudah mengalami banyak perubahan, termasuk yang tidak saya antisipasi sebelumnya.

Saya lanjutkan tentang putri bungsu saya yang masih di kelas 6 SD (tak lama lagi SMP). Buku pribadinya yang relatif masih sedikit tidak membatasi Eca untuk membaca lebih banyak buku, buku kakaknya! Karya Enid Blyton yang saya paparkan dalam artikel sebelumnya sudah dibaca, atau setidaknya dikenal oleh Eca. Jika saatnya tiba, Eca sendiri juga harus dibuatkan rak buku dan stempel "Perpustakaan Pribadi Vaneza Puja Natalia."

Yang lebih penting adalah Eca bukan hanya membaca dari buku, tetapi bisa semakin mengasah kemampuannya untuk membaca juga dari kehidupan.

Jonggol, 20 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun