Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Membaca Sejak Usia Dini

16 Mei 2021   20:49 Diperbarui: 17 Mei 2021   19:15 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumbangan buku saya, Mitos dan Legenda China, diterima oleh pustakawan Universitas Peking, 30 Desember 2013.

Saya barusan pulang sehabis makan malam di warung orangtua murid harmonika ke-48 saya, Sofie: Koleksi Harmonika Langka Saya, dan sekarang dipenuhi semangat untuk berbagi kepada para pembaca tentang salah sebuah Topik Pilihan Kompasiana untuk bulan Mei 2021, Buku Kesayanganku Saat Masih Anak-anak, sebuah topik yang tak ada habis-habisnya untuk saya bahas.

Sebelum memulai mengetik, saya mengirim pesan audio ke Putri: Nduk, boleh nggak kalau sekiranya nanti daddy pingin minum kopi, daddy bikin lagi?
Yang dijawab oleh Putri: Ya, boleh daddy, karena daddy tadi sudah makan, tapi jangan lupa minum vitamin ya?

Beberapa jam yang lalu saya sudah menayangkan tentang Cersil Kho Ping Hoo yang Saya Baca Sejak SD Kelas 4, dan sekarang saya lanjutkan dengan artikel ini.

Sebelum saya memulai, saya mau menyampaikan bahwa, pada tingkat niat dalam pikiran sekali pun, saya tidak pernah tidak menghormati orang yang lebih tua,  yang saya yakin hanya masalah waktu akan saya ambil gilirannya (menjadi lebih tua). Sudah barang tentu, sesekali saya berbenturan dalam logika berpendapat dengan orang yang lebih tua, yang berbeda dengan di dunia Barat, yang mau menerima pendapat orang yang lebih muda asal pendapat itu logis atau lebih logis dari pendapatnya sendiri. Juga, sikap mikul dhuwur mendhem jero saya kepada orang yang lebih tua selalu mengingatkan saya agar menjauhi "perdebatan yang lebih sengit" dengan risiko "memenangi perdebatan tapi kehilangan teman."

Ketidaksamaan logika berpendapat saya yang pertama saya sebutkan dalam artikel Seni Membaca:
Rasa yang sangat ringan dari ucapan-ucapan Konfusius sendiri dalam Lunyu (Analek) dan kearifannya yang matang tidak akan bisa diapresiasi sebelum seseorang itu sendiri menjadi matang. Tetapi Konfusius juga menyatakan, "Ketika seseorang berusia lima puluh tahun, dia boleh membaca Yijing (Kitab Perubahan)," yang berarti bahwa seseorang tidak boleh membaca kitab ini pada usia empat puluh lima tahun.

Dan saya katakan saya tidak setuju dengan pernyataan ini. Apa yang saya ceritakan dalam artikel: Cersil Kho Ping Hoo yang Saya Baca Sejak SD Kelas 4, jelas-jelas menggambarkan bahwa apa yang saya baca itu sebenarnya sudah melampaui usia saya.

Jika Anda juga orangtua, dan anak Anda gemar membaca dan kegemarannya itu tidak membatasi jenis buku yang dibacanya (bukan buku yang tak sepantasnya dia baca, tapi buku yang isinya melampaui kematangan usianya), apakah Anda akan melarang anak itu sedangkan Anda sama sekali tidak melarang dia membaca dari sumber-sumber selain buku?

Kalau saya, akan saya biarkan si anak membaca apa saja yang dia gemari, asalkan di luar jam belajar (membaca buku pembelajaran dari sekolah) dan dengan kearifannya sendiri, yang tidak bergantung pada usia, menilai manfaat apa yang dia akan peroleh dari bacaannya. Toh si anak akan meninggalkan bacaan yang baginya tidak bermanfaat atau tidak menarik dan mencari bacaan lain. Saya tidak pernah khawatir dengan apa yang dibaca oleh Putri karena seperti yang saya sebutkan dalam artikel: Parenting a la Johan Japardi, bahwa Keterbukaan secara automatik membuat si anak "TAKUT untuk mulai berbohong" alih-alih "BERBOHONG karena takut." dan dalam artikel: Logika Belajar Apa Saja, bahwa Putri memiliki jam belajar yang tertib, dan saya baru membelikan HP setelah dia di SMP dan sudah punya kebiasaan membaca. Sekarang Putri sudah memiliki 500 buku lebih dalam perpustakaan pribadinya.

Lagipula semua buku teks disusun menurut kebiasaan dan ketentuan Barat: inti-intinya jauh lebih sedikit. Saya malah kasihan kepada Putri dan menjaga agar dia jangan sampai kehabisan bahan bacaan. Yang selalu saya tekankan adalah jangan sampai dia kecapekan, terutama matanya.

Kebiasaan dan ketentuan Barat lainnya adalah membatasi bahan bacaan sesuai dengan tingkatan pendidikan. Kita, bangsa Indonesia, sama sekali bukan seperti itu, dan kita memiliki kearifan khas yang mengungguli mereka, antara lain peribahasa Minang yang saya ajarkan kepada seorang mahasiswi tingkat III ketika mengunjungi Universitas Harvard (baca artikel saya: Reminisensi, Mengunjungi Universitas Harvard dan Memberikan Pembelajaran kepada Seorang Mahasiswi tentang Kearifan Indonesia), yakni: "Alam takambang jadi guru."

Dalam artikel sebelumnya, saya juga sudah menceritakan tentang ratusan buku yang saya warisi dari almarhum kakek saya. Dari manakah beliau mendapatkan buku-buku itu? buku-buku yang kebanyakannya dicetak di luar negeri itu? Nah, dulu ada Layanan Informasi Amerika Serikat (United States Information Service/USIS) yang mengirimi beliau buku-buku. Selain  itu beliau juga berlangganan beberapa majalah: Reader's Digest, National Geographic Magazine, Popular Mechanics, dll. Ini berarti dalam hal membaca majalah saja saya selangkah lebih maju dan pada usia yang lebih muda dari siapa pun.

Masalah "belum usianya" bisa diatasi dengan "mulai saja membaca." Seperti halnya cersil Kho Ping Hoo, saya merasa asing ketika memulai membaca buku yang minim ilustrasi itu, tetapi lama kelamaan ya jadi terbiasa.

Sebagai penutup, saya ingin sedikit berbagi tentang sebuah buku berbahasa Inggris yang juga sudah saya baca ketika masih di SD. Judulnya "What is Democracy" terbitan tahun 1950-an. Saya kehilangan buku ini sepulang dari Amerika Serikat pada akhir November 2001, lihat artikel saya: Let Go dan Move On dari Musibah 2001. Sampai sekarang saya belum bisa menemukan e-booknya, sehingga saya hanya "membaca ulang" isi buku itu berdasarkan ingatan saya.

Dari buku inilah, pada usia yang masih sangat muda, saya mengetahui tentang definisi demokrasi, Haile Selassie, yang pada 1930-1974 menjadi kaisar Etiopia (dulu namanya Abessinia), dan Otto Hahn, bapak kimia nuklir penemu fisi nuklir, yang pernah saya sebutkan dalam artikel: Post-Truth vs Paradigma Kuwalik Prof Wir, Mana yang Lebih Tepat?

Jika, katakanlah, teman-teman saya dalam satu satuan waktu membaca 1 buku, saya 4-5 buku, bukankah itu membuat perbedaan besar? Sebelum saya berangkat ke Amerika Serikat dan tiba di sana pada 11 September 2001, saya sudah membaca Travel Guide dari semua Negara Bagian Amerika Serikat, yang dikirimkan kepada saya berdasar permintaan via surel. Ini mempermudah saya ketika berada di sana, juga mempermudah Ivan dan Dagny Burnell.
Ivan: Johan, kenapa kamu mengalihkan jalur penerbanganmu yang semula ke Boston menjadi ke Manchester?
Saya: Kalau Anda menjemput saya dari Boston, waktu tempuh Anda dengan mobil dari Center Ossipee - Boston pp adalah 8 jam, Center Ossipee - Manchester pp cuma 3 jam.

Di tengah perjalanan dari Manchester ke Center Ossipee:
Dagny: Johan, yang sedang kita lewati ini adalah danau terbesar di Negara Bagian New Hampshire.
Saya: Danau Winnipesaukee ya?
Ivan: Kamu sudah mengerjakan PR dengan sangat baik.

Saya kutip beberapa kalimat dari artikel saya, Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan:
"Walau diberi umur 300 tahun, tak mungkin saya mempelajari apa yang bisa saya pelajari, konon lagi semua yang ingin saya pelajari ." - Zhuangzi.

"Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Jika bagian atas sebuah parang kita asah, maka parang itu bisa berubah menjadi sebuah pedang. Jadi teruslah belajar supaya semakin tahu." - Almarhum atok (kakek) saya, Yap Chenghuat (Mr. Yap), kepala sekolah Methodist English School, Panatua Gereja Methodist I Tanjungbalai Asahan.

"Itu pun dalam batasan bahwa setelah belajar, ada yang kita tahu dan selebihnya (harus kita akui) kita belum tahu." Ini sejalan dengan ngelmunya orang Jawa (angél sadhurungé ketemu: susah didapat sebelum dapat, kalau sudah dapat ngelmu yang lain lagi). - Tambahan dari Johan Japardi

Mudah-mudahan bermanfaat dan Selamat Hari Buku Nasional.

Jonggol, 16 Mei 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun