Sumbangan buku saya, Mitos dan Legenda China, diterima oleh pustakawan Universitas Peking, 30 Desember 2013.
Saya barusan pulang sehabis makan malam di warung orangtua murid harmonika ke-48 saya, Sofie: Koleksi Harmonika Langka Saya, dan sekarang dipenuhi semangat untuk berbagi kepada para pembaca tentang salah sebuah Topik Pilihan Kompasiana untuk bulan Mei 2021, Buku Kesayanganku Saat Masih Anak-anak, sebuah topik yang tak ada habis-habisnya untuk saya bahas.
Sebelum memulai mengetik, saya mengirim pesan audio ke Putri: Nduk, boleh nggak kalau sekiranya nanti daddy pingin minum kopi, daddy bikin lagi?
Yang dijawab oleh Putri:Â Ya, boleh daddy, karena daddy tadi sudah makan, tapi jangan lupa minum vitamin ya?
Beberapa jam yang lalu saya sudah menayangkan tentang Cersil Kho Ping Hoo yang Saya Baca Sejak SD Kelas 4, dan sekarang saya lanjutkan dengan artikel ini.
Sebelum saya memulai, saya mau menyampaikan bahwa, pada tingkat niat dalam pikiran sekali pun, saya tidak pernah tidak menghormati orang yang lebih tua, Â yang saya yakin hanya masalah waktu akan saya ambil gilirannya (menjadi lebih tua). Sudah barang tentu, sesekali saya berbenturan dalam logika berpendapat dengan orang yang lebih tua, yang berbeda dengan di dunia Barat, yang mau menerima pendapat orang yang lebih muda asal pendapat itu logis atau lebih logis dari pendapatnya sendiri. Juga, sikap mikul dhuwur mendhem jero saya kepada orang yang lebih tua selalu mengingatkan saya agar menjauhi "perdebatan yang lebih sengit" dengan risiko "memenangi perdebatan tapi kehilangan teman."
Ketidaksamaan logika berpendapat saya yang pertama saya sebutkan dalam artikel Seni Membaca:
Rasa yang sangat ringan dari ucapan-ucapan Konfusius sendiri dalam Lunyu (Analek) dan kearifannya yang matang tidak akan bisa diapresiasi sebelum seseorang itu sendiri menjadi matang. Tetapi Konfusius juga menyatakan, "Ketika seseorang berusia lima puluh tahun, dia boleh membaca Yijing (Kitab Perubahan)," yang berarti bahwa seseorang tidak boleh membaca kitab ini pada usia empat puluh lima tahun.
Dan saya katakan saya tidak setuju dengan pernyataan ini. Apa yang saya ceritakan dalam artikel: Cersil Kho Ping Hoo yang Saya Baca Sejak SD Kelas 4, jelas-jelas menggambarkan bahwa apa yang saya baca itu sebenarnya sudah melampaui usia saya.
Jika Anda juga orangtua, dan anak Anda gemar membaca dan kegemarannya itu tidak membatasi jenis buku yang dibacanya (bukan buku yang tak sepantasnya dia baca, tapi buku yang isinya melampaui kematangan usianya), apakah Anda akan melarang anak itu sedangkan Anda sama sekali tidak melarang dia membaca dari sumber-sumber selain buku?
Kalau saya, akan saya biarkan si anak membaca apa saja yang dia gemari, asalkan di luar jam belajar (membaca buku pembelajaran dari sekolah) dan dengan kearifannya sendiri, yang tidak bergantung pada usia, menilai manfaat apa yang dia akan peroleh dari bacaannya. Toh si anak akan meninggalkan bacaan yang baginya tidak bermanfaat atau tidak menarik dan mencari bacaan lain. Saya tidak pernah khawatir dengan apa yang dibaca oleh Putri karena seperti yang saya sebutkan dalam artikel: Parenting a la Johan Japardi, bahwa Keterbukaan secara automatik membuat si anak "TAKUT untuk mulai berbohong" alih-alih "BERBOHONG karena takut."Â dan dalam artikel: Logika Belajar Apa Saja, bahwa Putri memiliki jam belajar yang tertib, dan saya baru membelikan HP setelah dia di SMP dan sudah punya kebiasaan membaca. Sekarang Putri sudah memiliki 500 buku lebih dalam perpustakaan pribadinya.
Lagipula semua buku teks disusun menurut kebiasaan dan ketentuan Barat: inti-intinya jauh lebih sedikit. Saya malah kasihan kepada Putri dan menjaga agar dia jangan sampai kehabisan bahan bacaan. Yang selalu saya tekankan adalah jangan sampai dia kecapekan, terutama matanya.
Kebiasaan dan ketentuan Barat lainnya adalah membatasi bahan bacaan sesuai dengan tingkatan pendidikan. Kita, bangsa Indonesia, sama sekali bukan seperti itu, dan kita memiliki kearifan khas yang mengungguli mereka, antara lain peribahasa Minang yang saya ajarkan kepada seorang mahasiswi tingkat III ketika mengunjungi Universitas Harvard (baca artikel saya: Reminisensi, Mengunjungi Universitas Harvard dan Memberikan Pembelajaran kepada Seorang Mahasiswi tentang Kearifan Indonesia), yakni: "Alam takambang jadi guru."
Dalam artikel sebelumnya, saya juga sudah menceritakan tentang ratusan buku yang saya warisi dari almarhum kakek saya. Dari manakah beliau mendapatkan buku-buku itu? buku-buku yang kebanyakannya dicetak di luar negeri itu? Nah, dulu ada Layanan Informasi Amerika Serikat (United States Information Service/USIS) yang mengirimi beliau buku-buku. Selain  itu beliau juga berlangganan beberapa majalah: Reader's Digest, National Geographic Magazine, Popular Mechanics, dll. Ini berarti dalam hal membaca majalah saja saya selangkah lebih maju dan pada usia yang lebih muda dari siapa pun.
Masalah "belum usianya" bisa diatasi dengan "mulai saja membaca."Â Seperti halnya cersil Kho Ping Hoo, saya merasa asing ketika memulai membaca buku yang minim ilustrasi itu, tetapi lama kelamaan ya jadi terbiasa.