Foto bersama rekan-rekan apoteker Farmasi USU lintas stambuk, Konfercab IAI Medan, 23 Mei 2015.
Pada hari Sabtu, 23 Mei 2015 yang lalu, di Hotel Garuda Plaza Medan, saya mengikuti Konferensi Cabang Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Medan yang diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Farmasi USU dan PC IAI Kota Medan.
Dalam konfercab kali ini diselenggarakan pemilihan Ketua Baru IAI Cabang Medan dan sebuah talkshow yang mengusung tema Peluang dan Tantangan Apoteker Menghadapi Implementasi Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dengan pembicara Ir. Muhamad Nadratuzzaman, MS, MEc, PhD, mantan Ketua LP POM MUI Pusat, Prof. Dr. Apt. Urip Harahap, Ketua Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI) IAI Sumut dan Drs. Apt. Amir Hamzah Pane, SH, MH, Praktisi hukum yang juga apoteker.
Pada sesi tanya-jawab dengan Pak Nadratuzzaman, saya berdiri dan menyampaikan:
Selamat siang pak, ada satu hal yang selama ini menjadi beban pikiran saya. Setiap kali saya mengajak teman-teman saya yang Muslim untuk makan bersama di restoran Jepang, moralitas pribadi saya mendiktekan saya untuk menanyakan terlebih dulu kepada mereka apakah mereka bermasalah dengan 醤油/æ£æ²¹Â shouyu atau kecap Jepang yang pada kemasannya diberi label jelas, mengandung alkohol sekian persen. Saya pernah membaca dari buku Halal dan Haram dalam Islam bahwa sesuatu yang dalam jumlah banyak memabukkan, dalam jumlah sedikit juga khamr. Saya selalu menerima dua tanggapan yang berbeda dari teman-teman. Ada yang menjelaskan secara ilmiah bahwa alkohol dalam kecap itu setelah dimasak bersama makanan akan menguap seluruhnya, dan ada yang memilih untuk mematuhi ketentuan yang disebutkan dalam buku itu. Saya bukan meragukan keputusan teman-teman saya ini, dan saya selalu memutuskan untuk membatalkan makan di restoran Jepang untuk menghargai sikap mereka. Dan saya tidak melanjutkan untuk mengajukan pertanyaan lain, yang sekarang hendak saya ajukan kepada bapak. Bagaimana dengan tape, entah itu tape singkong maupun beras ketan, bukankah kandungan alkoholnya lebih tinggi ketimbang shouyu? Kenapa saya belum pernah mendengar bahwa tape itu diharamkan dan sudah sejak dahulu menjadi cemilan tradisional kita?
Pak Nadratuzzaman menjawab dari pertimbangan mudharat dan manfaat, dan saya tidak mau mengatakan bahwa jawabannya ambigu, tapi jelas bukan merupakan jawaban atas pertanyaan saya dan masalah saya itu tetap menjadi dilemma bagi saya, tapi tidak jadi masalah karena kalau saya mau mengajak lagi teman-teman lain untuk makan bersama di restoran Jepang, saya tetap akan menjelaskan dulu tentang shouyu yang berbeda dengan kecap kita, dan kalau ada yang memutuskan untuk tidak makan di restoran Jepang itu, saya akan mengajak mereka ke restoran lain.