Misop, kolak dingin (kolding), dan sate korang Jl. Sutomo Tanjungbalai, bersama sahabat sejak SD, Trisno bersama ketiga putrinya, 19 Februari 2018. Tanggal ini tidak tertulis dalam catatan harian saya, tapi seingat saya sehari setelah makan di warung adik Kamal.
Artikel ini bukan mengulas aneka kuliner Tanjungbalai yang bisa Anda telusuri sendiri secara daring, namun hanya sekadar berbagi beberapa pengalaman "makan" saya di kampung halaman saya itu.
Hari ini hari terakhir Ramadhan, dan kerinduan saya akan bubur pedas yang pernah saya tuliskan dalam artikel: Kartini-kartini yang Tersembunyi (atau Disembunyikan?) tak kunjung terlepaskan. Sebenarnya bubur pedas itu hanya satu di antara begitu banyak makanan Tanjungbalai yang sedang saya ingat. Siapa yang tak rindu makanan khas kampung halaman?
Salah sebuah makna tersirat peribahasa kita "Lain lubuk, lain ikannya" saya baca sebagai "Lain kampung halaman lain pula makanan khasnya."
Nah, karena saya anak Tanjungbalai dan sejak lahir sampai sebelum saya merantau, lidah saya pun sudah terbiasa dengan segala macam makanan Tanjungbalai. Sampai sekarang juga kalau saya ditanya makanan apa yang paling enak, jawaban saya bukan nama makanannya secara spesifik, tapi MAKANAN TANJUNGBALAI ASAHAN.
Saya memiliki banyak sahabat Barat dan sama sekali tidak sentimen dengan orang bule itu, tapi dalam hal pandangan tentang makanan, sebagian di antara merekalah yang tanpa logika, hanya berdasar sentimen, mengatakan hal-hal yang tak perlu mereka katakan tentang makanan Timur yang memang bukan makanan sehari-hari mereka.
Cara berpikir yang dipengaruhi oleh sentimen ini terlihat dari pernyataan-pernyataan yang sangat konyol seperti:
1. Why do people get hungry an hour after eating Chinese food? (Mengapa orang-orang lapar lagi sejam setelah memakan makanan China?)
Yang bikin kenyang itu justru makanan Timur friend, datanglah ke Indonesia dan cobalah makanan tinggi karbohidrat kami, dijamin Anda tidak akan lapar sampai jam makan berikutnya. Kami semua di sini begitu adanya.
2. Ini pernah saya dengar dari seorang teman baru di Amerika Serikat, yang langsung saya beri kawruh dan berubah pikiran:
Setiap kali saya memakan makanan Asia, saya kepingin makan Pizza.
Dan saya wejangi:
- Lantas, kenapa kamu masih mengulangi makan makanan Asia? (dia menggunakan frasa "setiap kali").
- Setiap kali saya memakan makanan Amerika, saya teringat semur jengkol (Kalimat ini hanya untuk keperluan menjawab teman saya itu, setiap kali saya memutuskan untuk memakan makanan apa saja, saya benar-benar menikmati makanan itu). Lalu setelah saya menjelaskan apa itu semur jengkol yang membuat dia kebingungan, saya tanya, "Memangnya Pizza itu makanan asli Amerika?"
Awal 2018 yang lalu, saya berkesempatan berada di kampung halaman saya selama hampir 4 bulan, dan saya banyak mendapat pengalaman yang sulit didapat jika saya tidak sedemikian lama di sana:
1. Bertemu di jalan dengan seorang sahabat di SMA, sebelumnya setiap kali saya pulang kampung tak pernah saya ketemu dia.
2. Menikmati beberapa makanan yang sudah sejak muda saya senangi.
Berikut ini sedikit foto dokumentasi saya:
Titinya panjang lampu sembilan
Sebungkus nasi kitalah serang
Itulah tanda kita berkawan. - Johan Japardi
Jonggol, 12 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H