Beberapa laman yang menyiarkan berita terkait Titi Gantung memang menyertakan foto-foto titi ini, namun saya teringat akan museum kebudayaan dunia, yaitu Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, dari mana saya pernah mengunduh foto-foto kota Tanjungbalai Asahan zaman dulu, dan saya pun lalu mencari informasi tentang Titi Gantung dari laman ini dan menemukan sebuah foto lama.
Catatan:
Orang Belanda jarang mencantumkan waktu kejadian dengan tepat, melainkan hanya rentang waktu, seperti foto ini.
Persis 100 tahun setelah Titi Gantung dibangun, saya diterima di Jurusan Farmasi FMIPA USU Medan. Sampai dengan 5 tahun kemudian (1990), setiap minggu saya masih bolak-balik dengan keretaapi dari Medan ke Tanjungbalai Asahan karena saya kuliah di Medan sambil kerja di Tanjungbalai.
Untuk pengadaan buku kuliah, saya pun mulai menjajaki kios-kios buku di Titi Gantung. Setiap bulan, setelah gajian, saya selalu ke Titi Gantung dari rumah orangtua saya di Jalan Aksara dengan menumpangi Sudako, angkot khas Medan. Alhasil, saya saling kenal dengan hampir semua pedagang buku di Titi Gantung pada masa itu.
Lama kelamaan, akibat keranjingan beli buku di Titi Gantung, saya sampai menghabiskan uang bawaan saya untuk beli buku, dan pulang ke Jalan Aksara dengan berjalan kaki sambil menenteng buku! Sekarang, saya cek dengan peta Google, jarak yang saya tempuh itu 3,3 - 3,8 km dengan waktu tempuh 42-47 menit. Setelah beberapa kali mengalami kehabisan uang ini, saya pun lalu berimprovisasi, meminjam ongkos pulang dari pedagang buku yang sudah saya kenal dekat!
Sekarang, Titi Gantung telah menjadi sebuah nostalgia masa muda saya, semua buku yang saya beli dari sana juga tidak bisa saya lihat lagi, dan saya sangat prihatin dengan keadaan Titi Gantung saat ini. Mudah-mudahan semuanya cepat kembali normal lagi.
Jonggol, 7 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H