Membuat sebuah perubahan bisa kita analogikan dengan sebuah titi batang kelapa yang patah. Di sini saya punya 2 pilihan:
1. Menunggu sampai titi itu diperbaiki.
2. Berenang ke seberang.
Pilihan pertama melibatkan pihak-pihak di luar diri saya, dan pilihan kedua adalah mengubahkan diri sendiri. Saya memilih yang kedua. Kalau kita renungkan, perubahan yang kita lakukan itu sendiri bisa menjadi pemberian bagi orang lain, setidaknya orang meneladani perubahan itu dan mengubah dirinya sendiri, tanpa harus kita yang mengubahkan mereka.
Kata Ivan Burnell: Fill your own cup first (Isi cangkirmu terlebih dulu). Ini sama dengan pepatah Karo: Demi lebe tumbanta baru ku tumba kalak (Isi lebih dulu cangkirmu, baru  cangkir orang lain). Pepatah ini bukan saya baca dari buku, tapi saya diberitahu seorang sahabat, S. Sembiring.
Untuk menangkal proses dehumanisasi, ada seorang adik kelas saya di Farmasi USU, sekarang menetap di negara bagian Idaho, AS, yang beralih ke penggunaan HP yang hanya bisa untuk menelepon dan sms, dan sejak beberapa tahun yang lalu, nomor kontaknya malah sudah tidak bisa saya hubungi lagi.
Saya pikir saya sendiri tidak usah menempuh cara sedrastis itu, yang penting:
1. Saya mengidentifikasi porsi mana dari penggunaan HP yang paling banyak menguras waktu saya dengan hanya sedikit manfaat, yang lalu saya hapus dari kegiatan rutin saya.
2. Serupa dengan adik kelas saya itu, dari hari ke hari saya semakin mengutamakan kegiatan interaktif dengan orang, bukan dengan gadget.
Tentu saja munculnya Pandemi Covid-19 banyak mengurangi kegiatan ini, namun saya mendapat sebuah alternatif baru, MENULIS DI KOMPASIANA.
3. Dll.
Semua ini karena saya sudah melihat dengan matakepala sendiri apa akibat dehumanisasi itu di mana-mana:
1. Di sebuah kafe, sepasang suami istri duduk berhadapan sambil ngakak-ngakak.
Di tengah mereka ada sebuah meja kecil dengan hidangan makanan dan minuman yang sudah mereka pesan, dan mereka makan tanpa melihat makanan itu, karena mata mereka terfokus ke...... game di HP masing-masing. Saya jadi teringat sebuah ungkapan yang sedikit diisi nilai humor, "Dunia ini milik kita berdua, orang-orang lain cuma penyewa."
2. Banyak teman saya yang bertanya bagaimana caranya mengalihkan fokus anak dari HP ke pelajaran sekolahnya? Saya katakan saya belum punya jawabannya karena belum mengalami masalah seperti itu. Seperti yang saya ceritakan dalam artikel saya, Logika Belajar Apa Saja:
Putri saya (namanya Putri) saya belikan HP setelah dia di SMP dan sebelumnya Putri sudah punya kebiasaan membaca (sekarang Putri sudah memiliki 500 buku lebih dalam perpustakaan pribadinya). Putri menetapkan sendiri jam belajarnya setiap hari pada pukul 18.00 s/d 22.00. Dalam jam belajar ini, siapa pun yang mengontak dia tidak dia ladeni, kecuali saya sendiri.
Solusi untuk masalah teman-teman saya itu bukannya tidak ada, namun mereka sendirilah yang harus memikirkannya, dan ini akan lebih sulit dan lama karena sudah termasuk ke "memperbaiki titi batang kelapa."
3. Dll.
Sebenarnya, kita sudah dibekali dengan banyak kearifan Indonesia dan daerah untuk menghadapi dehumanisasi ini. Yang paling utama, kalau kita mengamalkan nilai-nilai agama, dengan sendirinya dehumaniasi itu akan menyingkir, dimulai dari diri kita, kemudian orang-orang lain.
Atas diskusi mengenai dehumanisasi dan rehumanisasi dengan beberapa teman, mereka mengatakan, bahwa, utamanya bulan suci Ramadhan inilah saat yang paling tepat untuk mencari jalan keluar terbaik, dengan menahan diri dari semua hal yang berpotensi mendehumanisasi diri kita dan dengan demikian bisa menghindarkan diri dari segala dampaknya, lalu membuat kegiatan menahan diri itu menjadi sebuah kebiasaan, DAHSYAT.
Harapan saya, masukan dari teman-teman saya ini bisa (saya yakin pasti bisa) bertahan sampai dengan bulan suci Ramadhan berikutnya. Mudah-mudahan.
Jonggol, 5 Mei 2021
Johan Japardi