Lalu, kenapa saya katakan karya Li Liweng itu lucu? Bayangkan, dia adalah seorang epikur (penyuka makanan enak), kok bisa sampai menyesali dianugerahi mulut dan perut? Apakah dia sudah terlalu capek harus setiap hari mengunyah makanan enak itu dengan mulutnya untuk mengirimkannya ke dalam perutnya? Jika mulut dan perutnya dihilangkan oleh Pencipta sesuai dengan keinginannya, bagaimana mungkin dia masih bisa menjadi seorang epikur? Bagaimana mungkin dia masih bisa mengucapkan keluhannya?
Sayang, Li Liweng tidak berada di tengah-tengah kita sekarang ini, kalau ya, mungkin beberapa teman saya akan menyarankan kepadanya: "Bagaimana kalau pak Li ikut berpuasa?"
Jonggol, 4 Mei 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H