Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Let Go dan Move On dari Musibah 2001

3 Mei 2021   07:25 Diperbarui: 3 Mei 2021   09:21 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

e-library Johan Japardi.

Pada 10 September 2001 waktu Jakarta, saya hendak berangkat berangkat ke Boston, Massachusetts, AS, dengan menumpang sebuah pesawat KLM, tetapi bukannya destinasi ini yang kami capai, melainkan digrounded di Vancouver, British Columbia, Kanada, pada 12 September 2001 waktu Jakarta (11 September 2001 waktu AS). Kelanjutan ceritanya bisa dibaca dari artikel saya: Lempengan Tembok Berlin di Portland, Maine, AS.

Sebelum berangkat dari Medan ke Jakarta, saya mempercayakan koleksi buku saya sebanyak 32 meter kepada seorang teman. Buku-buku ini saya koleksi sejak masih berada di SD sampai dengan tamat kuliah dst s/d 2001. Sepulangnya saya ke Medan menjelang akhir November 2001, saya mendapati semua buku saya itu dalam keadaan hancur lebur. Saya tidak bisa menahan airmata saya! Apa hal? Ternyata teman saya itu menyimpan buku-buku tersebut di tempat yang lembap dan semuanya sudah habis digerogoti rayap setelah 3 bulan.

Apa saya harus menyalahkan teman saya ini?
Harus saya pukul dia?
Suruh dia ganti rugi senilai lebih dari Rp. 45.000.000 di tahun 2001 itu?

Nah, secara automatik, pikiran saya pun mengingatkan saya akan pembelajaran yang sudah saya dapatkan melalui Kursus YA (YES Course) Ivan Burnell bahwa di saat menghadapi "musibah," katakanlah kepada batinmu: "Inilah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku" ("This is the greatest thing that ever happened to me"), yang dengan serta merta mengalihkan sakelar pikiran dari "negatif" ke "positif," walaupun sebagai manusia, saya perlu waktu beberapa tahun untuk bisa benar-benar let go dan move on.

Lalu apa tujuan saya menuliskan artikel ini?
Tak lain tak bukan untuk memberi contoh kepada para pembaca berdasar apa yang saya telah alami itu. Kemudian, saya juga mengingat sebuah cerita terkait musibah dan hoki sbb:

Seorang Pria Tua tinggal bersama putranya di sebuah benteng kosong di puncak bukit, dan suatu hari dia kehilangan seekor kuda. Para tetangga datang untuk mengungkapkan simpati mereka atas musibah ini, dan Pak Tua bertanya "Bagaimana kalian tahu ini musibah?" Beberapa hari kemudian, kudanya kembali dengan sejumlah kuda liar, dan tetangganya datang lagi untuk memberi selamat kepadanya atas hoki ini, dan Pak Tua itu menjawab, "Bagaimana kalian tahu ini hoki?" 

Dengan begitu banyak kuda di sekelilingnya, putra Pak Tua mulai menunggangi kuda, dan suatu hari kakinya patah. Sekali lagi tetangga datang untuk mengungkapkan simpati mereka, dan Pak Tua menjawab, "Bagaimana kalian tahu ini musibah?" Tahun berikutnya, terjadi perang, dan karena putra Pak Tua itu lumpuh, dia pun tidak diwajibkan ikut maju ke medan peperangan, dst.

Pembelajaran yang bisa diambil dari semua yang di atas adalah:
1. Jika engkau menganggap sesuatu itu berharga, taruhlah hatimu di sana.
2. Semua benda materialistik eksternal trivial adalah titipan Ilahi belaka, suatu saat ia akan pindah atau bahkan hilang dari kepemilikan kita. Lihat artikel saya: Kepuasan Hidup, atau versi Inggrisnya: Life Satisfaction.
3. Kejadian lenyapnya semua buku saya itu malah memberikan saya semangat baru untuk mulai dari nol mengumpulkan lagi benda yang menurut saya sangat berharga bagi saya selama hidup saya, tapi kali ini dengan menaruh hati saya yang sepenuhnya ke sana.

Alhasil, sejak akhir 2001 s/d sekarang, saya sudah mengumpulkan lagi sekitar 50 meter buku, sebagian yang hilang itu sudah tergantikan, ditambah dengan lebih dari 34.000 e-book dalam e-library saya (lihat Gambar Judul). Dan sejak bertempat tinggal menetap di daerah Jonggol, saya telah membangun lantai 2 seluas 30 meter persegi khusus untuk perpustakaan saya, yang sebagiannya bisa dilihat dari foto pada artikel saya: Seni Membaca, atau versi Inggrisnya: The Art of Reading.

Segala sesuatu dimulai dengan angan-angan yang kita kejar sedaya upaya kita. Setelah mencapai semua, punya cukup waktukah kita untuk menikmatinya?

Jonggol, 3 Mei 2021
Salam hangat buat semua Kompasianer,

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun