Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mencapai Target Hidup: JJC Prasyaratnya

1 Mei 2021   01:16 Diperbarui: 6 Mei 2021   13:19 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpose bersama Ivan Burnell di sebuah kota di Negara Bagian New Hampshire, AS, September 2001.

Singkatan pada judul artikel ini sudah benar, JJC (Jujur, Jelas dan Cepat), bukan JCC (Jakarta Convention Center). Saya sudah sedikit membahas tentang kejujuran dalam artikel: Parenting a la Johan Japardi dan kebenaran dan kebaikan dalam artikel: Benar dan Baik: Sebuah Renungan Pribadi.

Sekarang saya lanjutkan dengan JJC, apa itu?
JJC (Jujur, Jelas dan Cepat) adalah sebuah prinsip yang saya sepakati dengan putri saya, dan ini ada kaitannya dengan sebuah metode yang telah saya kembangkan, yang saya namakan Metode Sim-ak (Simplifikasi- akselerasi) Johan Japardi dengan Aplikasi dalam Pembelajaran Apa Saja, karena pembelajaran dibutuhkan untuk sampai pada sesuatu yang kita inginkan, termasuk JJC ini. Singkatan ini disusun berdasarkan urutan kesulitan yang semakin menurun, artinya yang paling utama sekaligus paling sulit adalah kejujuran, lalu kejelasan dan kecepatan.

Saya katakan dalam artikel tentang parenting di atas bahwa kejujuran berkaitan dengan keterbukaan, anak harus takut berbohong walau sekali pun, alih-alih mulai berbohong karena takut. Kejujuran paling sulit dicapai, jadi harus ditanamkan paling awal kepada anak. Tentunya, sebagai orangtua, saya juga harus melakukan apa yang saya katakan dan mengatakan apa yang saya lakukan. Saya tidak bisa berkata apa-apa setiap kali melihat seorang anak yang dengan entengnya berkata kepada orangtuanya, "Bohong."

Kejujuran tidak bisa ditawar-tawar, jadi jangan "memulai" sebuah ketidakjujuran bahkan dalam pikiran. Inilah yang dinamakan dengan kejujuran mutlak (absolute honesty) oleh Ivan Burnell dalam bukunya, Power of Positive Doing. Saya menerjemahkan buku ini dan menerbitkannya via Gramedia Pustaka Utama pada 2001.

Kejujuran adalah kejujuran dan kebohongan adalah kebohongan, tidak ada yang namanya berbohong untuk kebaikan atau kebohongan putih (white lies). Itu hanya istilah yang dibuat oleh orang yang sudah berkompromi dengan ketidakjujuran. "Kebenaran akan membebaskanmu" sama dan sebangun dengan "kebohongan akan memperbudakmu."

Ivan mencakupkan 2 aturan dalam buku ini dan juga dalam Kursus YA (YES Course) yang dia berikan sebelum meninggal dunia pada 13 Januari 2013:
1. Aturan No. 1: Makna Diri
Aku penting, orang lain juga penting.
Aku tidak akan menggunakan pentingnya diriku untuk menjatuhkan siapa pun, dan aku tidak - tidak - tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan pentingnya diri mereka untuk menjatuhkan aku.

2. Aturan No. 2: Kejujuran Mutlak.

Jika kita hayati kedua aturan ini, kejujuran kita mulai dari diri sendiri karena diri kita bermakna (penting), kemudian dengan juga menghargai pentingnya diri orang lain, maka kita tidak akan menjatuhkan mereka, yang antara lain bisa dilakukan dengan sebuah ketidakjujuran.

Saya amati, sudah sangat banyak jurnal ilmiah yang mempublikasikan keterkaitan Alzheimer dan Senile Dementia (Kepikunan karena Usia Tua) dengan kurangnya membaca, tetapi belum saya temukan jurnal yang membahas keterkaitan tersebut dengan ketidakjujuran. Menurut saya, orang jujur itu tidak mengalami atau sangat jarang mengalami kepikunan, karena kapan pun dia ditanyai dengan sebuah pertanyaan yang sama, jawabannya selalu cuma satu, dan ini membebaskan otaknya dari beban yang tidak perlu.

Kesimpulannya, dari JJC itu, kejujuran adalah yang paling sulit dicapai, tetapi tidak boleh tidak harus dicapai, secara mutlak!

Sekarang kita ke "J" yang kedua, Jelas. Dibandingkan dengan kejujuran, kejelasan lebih mudah dicapai melalui pembelajaran dan perbaikan diri yang berkesinambungan, dengan meninjau ulang akibat yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan kepada diri sendiri maupun orang lain. Pengalaman hidup saya banyak menunjukkan bahwa satu ketidakjelasan, sekecil apapun itu, yang dilakukan seseorang, bisa berakibat sangat buruk terhadap dirinya maupun orang lain. Anda bisa merenungkan dari pengalaman Anda sendiri tentang ketidakjelasan ini.

Sampai di sini saya tegaskan, saya masih bisa bertoleransi untuk sebuah ketidakjelasan, tapi tidak untuk sebuah ketidakjujuran.

Terakhir, "C" (Cepat). Jika kejujuran sudah diterapkan secara mutlak, dan kejelasan ditingkatkan dari waktu ke waktu, kita memerlukan kecepatan dalam melakukan apa saja, dan ini memerlukan latihan.

Dengan dibekali JJC ini, sekarang mari kita masuk ke Target Hidup. Berbicara tentang target berarti kita mulai dari sebuah titik, katakanlah A, dan hendak menuju ke Z. Jika kita sudah sampai ke Z, artinya kita sudah sukses? Tujuan, sasaran, atau target itu sudah tercapai? Kurang tepat, karena, menurut Ivan Burnell juga, "Success is a journey, not a destination" ("Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan sebuah destinasi"), karena begitu kita mencapai sebuah target, kita akan menetapkan sebuah target lain untuk dicapai.

Sederhananya, target hidup itu mencakup target-target yang akan kita capai sesuai dengan pencapaian usia. Lulus SD, kita buat target baru untuk lulus SMP, lalu SMA, lalu kuliah, lalu bekerja atau buka usaha sendiri, lalu menikah, lalu membesarkan anak, lalu menikmati masa tua, dst dst.

Di sini saya tidak akan merinci bagaimana cara menetapkan target dan mencapainya, karena target itu ada dalam rencana pribadi yang dibuat masing-masing orang. Sesuai judul, saya hanya akan membicarakan JJC sebagai prasyarat dalam mencapai target-target hidup.

Jika Anda jujur mutlak, jelas dalam mengerjakan apa pun, cepat pula (karena sudah terlatih dan didasari oleh pengetahuan yang targetnya sudah Anda capai sebelum mulai bekerja), lantas, selesaikah pembicaraan kita? Oh belum, dan izinkan saya meneruskan sedikit.

Lalu, sekarang, kita mulai membicarakan target yang akan dicapai setelah kita bekerja. Ada banyak hasil penelitian juga yang menunjukkan bahwa yang paling diinginkan oleh seorang bos dari seorang pelamar kerja adalah kejujuran. Benarkah keinginan seperti ini? Bagaimana kalau bos ini mencapai targetnya dan mendapat seorang pekerja yang jujurnya luar biasa, namun tidak memiliki kompetensi yang layak dalam melaksanakan pekerjaannya, apakah dia tidak menyesal?

Putri saya yang masih di SMA sudah sejak lama saya ajari untuk berpikir dan bertindak dengan tertib, dan saya tidak heran ketika dia menyampaikan pendapatnya (sekiranya dialah bos itu), bahwa atas dasar JJC, dia akan menerima karyawan yang berkompetensi tinggi sekaligus jujur. Bukankah kejujuran itu seharusnya sudah melekat pada diri seseorang sebelum dia mempelajari pengetahuan apa pun yang pada gilirannya akan memberikan kompetensi kepadanya?

Saya menanggapi penjelasan putri saya dengan mengatakan bahwa dalam bekerja, seseorang pasti harus menggunakan tenaga, pikiran, tanggungjawab, dan ide dalam porsi yang bervariasi. Di sini bedakan ide dengan pikiran. Pikiran digunakan untuk memahami lalu melaksanakan tugas yang diberikan oleh perusahaan kepadanya, sedangkan ide adalah pikiran yang dia sumbangkan bagi perusahaan agar menjadi lebih baik.

Lalu saya bercerita tentang masukan yang pernah saya dapatkan dari seseorang yang sepuh, bahwa dalam kehidupan seseorang, penting bagi dia untuk: mengasihi diri sendiri, berwawasan luas, mendapat kesempatan, dan bisa dipercaya, yang menurut saya tidak luput dari JJC.

Terakhir, saya pernah mendengar analogi bahwa pencapaian sebuah target itu seperti yang dialami oleh seorang pemain bola voli. Dia harus melatih diri agar punya kemampuan bermain dengan baik, mendapat kesempatan baik (bola berada di tangannya) entah dengan menunggu maupun mengejar bola itu, dan terakhir adalah faktor hoki, karena dia harus bisa melewati hambatan dari lawan mainnya untuk membuat bola itu.... GOL.

Jonggol, 1 Mei 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun