Efek Kupu-kupu: Kupu-kupu dan Tornado.
Tentang cara berpikir, sudah banyak kategorisasi yang bisa kita akses secara daring, antara lain:
1. Berpikir Kritis (Critical Thinking).
2. Berpikir Analitis (Analytical Thinking)
3. Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
4. Berpikir Pragmatis (Pragmatic Thinking).
5. Berpikir Asosiatif  (Associative Thinking).
6. Dan lain-lain (jika ada lagi).
Binus menguraikan perbedaan berpikir kritis vs. berpikir analitis vs. berpikir  kreatif.
Universitas Negara Bagian Chicago mencirikan berpikir analitis sebagai kemampuan dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah, mengekstrak informasi kunci dari data dan mengembangkan solusi yang bisa diterapkan untuk masalah  teridentifikasi, agar bisa menguji dan memverifikasi penyebab masalah dan mengembangkan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Quora menguraikan tentang berpikir pragmatis bahwa dalam penggunaan umum, bersikap pragmatis berarti rasional (logis dan realistis), dan juga mempertimbangkan realitas praktis - termasuk perasaan. Dan seseorang tidak benar-benar pragmatis jika hanya berpikir. Seseorang memikirkan segala sesuatunya dengan semua cara ini - secara logis, realistis, dan emosional - memutuskan suatu tindakan, lalu melakukannya.
Lalu apa itu berpikir asosiatif?
Chintanzalani menjelaskan bahwa berpikir asosiatif adalah kemampuan untuk membentuk asosiasi antara ide-ide yang tampaknya tidak berhubungan.
Definisi Johan Japardi:
Berpikir asosiatif adalah kemampuan untuk mencari keberkelindanan (interconnectedness) di antara satu hal dengan hal lainnya, yang tidak dilihat atau tidak bisa dilihat orang kebanyakan orang, karena keberlindanan ini boleh jadi "sangat jauh" sehingga cenderung luput dari perhatian orang.
Bagaimana membangun pemikiran asosiatif ini?
Dari pengalaman saya, saya mengamati, misalnya pembelajaran di SMA disusun berdasarkan kematangan usia dan kemampuan komprehensif para siswa. Jadi pembelajaran kelas 1 disusun berdasarkan kematangan usia dan kemampuan komprehensif siswa kelas 1, dst. Sampai seorang siswa menyelesaikan kelas 3, semua pembelajaran selama 3 tahun itu bertumpuk di dalam otaknya, dan dia sama sekali tidak terlatih untuk melihat keberlindanan yang saya sebutkan di atas.
Contoh aplikasi berpikir asosiatif atau mencari keberlindanan ini bisa dibaca antara lain dari artikel saya:
1. Utak-atik Persamaan Kuadrat untuk Mempercepat Perkalian, dimana sewaktu di SMA saya membolak-balik persamaan kuadrat yang ada dan menemukan keberkelindanan persamaan yang sudah dibolak-balik itu dengan aplikasinya, yang salah satunya bisa digunakan untuk siswa SD:
2. Matematika SD: Membuktikan Hasil Perkalian 2 Bilangan dari 6 ke Atas.
3. Keberlindanan Matematika dengan Bahasa: Metode Si-mak Johan Japardi, dimana saya menemukan keberkelindanan antara koefisien polinomial dengan palindroma.
Saya sangat menyukai istilah keberkenlindanan (interconnectedness) ini, karena memiliki nilai rasa yang jauh lebih "enak" ketimbang jika interconnectedness diterjemahkan menjadi "kesalingterkaitan"). Masing-masing dari ketiga artikel ini menunjukkan "jarak keberkelindanan" yang bervariasi.
Sebuah keberkelindanan yang sangat jauh bisa kita lihat dari apa yang disebut dengan Efek Kupu-kupu (Butterfly Effect), yang menyebutkan bahwa istilah ini terkait erat dengan karya Edward Lorenz, seorang matematikawan dan ahli meteorologi Amerika. Lorenz mencatat bahwa efek kupu-kupu ini berasal dari contoh metaforik rincian sebuah tornado (waktu pasti dari pembentukan tornado, jalur pasti yang diambil), yang dipengaruhi oleh perturbasi (gangguan) kecil seperti kupu-kupu di kejauhan yang mengepakkan sayapnya, beberapa minggu sebelumnya.
Percaya atau tidak?
KEBERKELINDANAN ITU NYATA ADANYA.
Jonggol, 29 April 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H