Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Marga dan Nama: Mana Depan Mana Belakang?

18 April 2021   17:20 Diperbarui: 23 April 2021   06:02 6690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diadaptasi dari: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c4/Airsupply.jpg

Graham Russell dan Russell Hitchcock, softrock duo Air Supply.

Marga digunakan sebagai tanda menghormati dan mengingat para leluhur yang telah menurunkan generasi demi generasi sampai dengan yang sekarang. Melalui marga, orang bahkan bisa menelusuri silsilah atau pohon keluarga atau tarombo dalam bahasa Batak (Inggris: family tree), sampai ke generasi paling terdahulu. Contoh paling menarik adalah pohon keluarga Konfusius yang sampai dengan tahun 2006 sudah generasi ke-80 (Kong Youren)

Sudah selayaknyalah, sebagai penghormatan kepada para leluhur itu, marga juga dihormati dan diletakkan di depan. Ini adalah sebuah tradisi China, Jepang, Korea dan bangsa-bangsa Timur lainnya. Sayang, orang Batak meletakkan marganya di belakang. Bagi orang-orang yang tidak menggunakan marga, tentu pohon keluarga itu sudah tidak bisa dilacak.

Dalam buku terjemahan saya, Mitos dan Legenda China (Gramedia Pustaka Utama, 2008), terdapat sebuah lampiran berjudul: Pengejaan dan Pelafalan Nama orang China.

Bagaimana dengan tradisi Barat tertentu?* Mereka meletakkan "marga" mereka di belakang dan menamakannya surname/family name (nama belakang/nama keluarga) dan nama mereka di depan dan menamakannya forename/first name/given name (nama depan/nama pertama/nama pemberian).

*Di sini saya gunakan kata "tertentu" karena dulunya, sebelum negaranya diduduki oleh Napoleon Boneparte, orang Belanda hanya punya nama tunggal.

Dokpri.
Dokpri.
Dua sistem peletakan nama yang bertolak belakang ini tentunya berdampak menimbulkan carut-marut, mau ikut yang mana?

Carut marut ini terlihat pada contoh nama China: Zhu Jin Zhou, mau disapa sebagai Tn. Zhu-kah atau Tn. Zhou? Hanya "Jin" yang jelas-jelas adalah nama tengah.

Yang lebih menarik lagi, dalam bahasa Indonesia, walaupun mengikuti cara bahasa Inggris dalam menuliskan nama, orang lebih lazim menyapa seseorang dengan nama depannya, misalnya Ali Musri Syam disapa dengan Pak Ali, ketimbang Pak Syam, dan Hennie Triana disapa dengan Bu Hennie ketimbang Bu Triana, dll.

Malahan orang Batak, misalnya Lambok Pasaribu, yang jelas-jelas memiliki nama belakang atau marga Pasaribu, lebih lazim disapa dengan Pak Lambok ketimbang Pak Pasaribu, kecuali mungkin oleh orang Batak sendiri.

Namun, dalam bahasa Indonesia tidak timbul kerancuan seperti dalam bahasa China, yang setiap aksaranya merupakan suku kata sekaligus kata.

Carut-marut yang ditimbulkan oleh orang Barat sendiri juga ada, yang paling menarik yang bisa saya sajikan di sini adalah nama softrock duo Air Supply:
Graham Russell, dan
Russell Hitchcock.
Ini yang mana marga yang mana nama, yang mana depan yang mana belakang? Dua-duanya (Russell).

Usulan Lin Yutang (1895-1976) dalam bukunya: The Importance of Living (Makna Hidup):
Kesulitan pengejaan nama orang China bisa diatasi dengan secara konsisten mengeja lebih dahulu marga atau nama belakang (cara bahasa China), kemudian baru mengeja nama depan atau nama sebutannya, sehingga seseorang pun disapa dengan nama belakangnya seperti cara bahasa Inggris (Liu Bei disapa sebagai Tn. Liu).

Jika nama depan orang itu terdiri dari dua suku kata (memiliki nama tengah), kedua suku kata itu disatukan sebagai sebuah kata bersuku kata dua (Ye Yi Feng menjadi Ye Yifeng dan disapa sebagai Tn. Ye). Ini juga berlaku untuk nama belakang atau marga bersuku kata dua, misalnya Si Ma Qian menjadi Sima Qian dan disapa sebagai Tn. Sima) dan nama sekaligus marga bersuku kata dua, Sang Guan Ling Fong menjadi Shangguan Lingfong dan disapa sebagai Nn. Shangguan.

Catatan saya:
1. Seperti yang saya sebutkan dalam artikel saya: Bunga Tak Sebanding Wanita, penulisan nama Jepang sudah ditertibkan oleh pemerintah Jepang, dan saya mengikuti aturan ini (nama belakang di depan karena ini adalah marga, dan nama depan di bela kang, setelah marga).

2. Kaidah ini tentunya tidak berlaku pada orang China tertentu yang juga sudah mengadopsi nama Barat, misalnya: Mui Yinfong (dialek Kantonis) menjadi Anita Mui.

3. Dalam hal penggunaan penyambungan ini, tak ada yang bisa menyamai orang Jerman. Sfigmomanometer atau tensimeter mereka sebut Blutdruckmessgerät (alat pengukur tekanan darah), sebuah gabungan dari 4 kata sekaligus!

Sebagai tambahan, suku-suku kata dari nama julukan, nama kependetaan, nama pena, dsb. (entah menyebutkan marga atau) juga disatukan pengejaannya, misalnya Wenchang (Dewa Kesastraan), Xuanzhuang, Laozi, dsb.

Saya menggunakan nama Konfusius dan Mensius (ketimbang Kong Fuzi dan Mengzi) mengingat kedua nama itu sudah sangat lazim karena sudah "dibaratkan” (dalam bahasa Inggris: Confucius dan Mencius).

Menurut Hanyu Pinyin, jika penyatuan suku-suku kata menimbulkan kerancuan dalam mengeja, maka di antara suku-suku kata tersebut diselipkan tanda kutip tunggal, misalnya Xi’an (nama kota), kata bersuku kata dua, dibedakan dengan Xian (manusia dewa) yang bersuku kata satu. Contoh lain:
Heng’o, supaya tidak dibaca “Hen Go”.

Pengejaan kata selain nama orang tidak menimbulkan masalah, misalnya kota Beijing, gunung Kunlun, danau Dongting. Namun penerapan aturan ini pada pengejaan kata bersuku kata lebih dari dua selain nama orang masih menimbulkan kerancuan. 

Jika diperhatikan, pengejaan yang benar misalnya adalah Daodejing, tetapi ada orang yang mengeja Dao Dejing atau Dao De Jing. Demikian juga kata Kunlunshan secara bervariasi masih ditulis Kunlun Shan (untuk menghilangkan kerancuan, saya secara konsisten menyebutkan Gunung Kunlun atau Kunlunshan, Danau Dongting atau Dongtinghu, Sanguanmiao atau Wihara Sanguan, dsb.)

Untuk nama-nama gelar Raja atau Kaisar, biasanya dituliskan dulu nama dinastinya kemudian baru nama gelar, misalnya Qin Shihuangdi, Zhou Wuwang, Han Gaozu, dsb. Penyebutan nama dinasti disebabkan karena banyak Kaisar yang menggunakan nama gelar yang sama, misalnya gelar Gaozu dan Taizu. Jadi harus dituliskan Kaisar Han Gaozu atau Kaisar Gaozu dari Dinasti Han, untuk membedakannya dengan Kaisar Gaozu dari Dinasti Tang (Tang Gaozu).

Jonggol, 18 April 2021

Johan Japardi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun