Ketika masih ada sampan kita, hendak memperbaiki bagian yang rusak pun aku tak mampu karena tak berduit. Terpaksalah kujual murah sampan itu.
Berhenti ke laut kucoba menarik becak,
tapi tak berpendapatan karena sewanya cekak,
setelah itu kucoba jadi kuli bangunan,
badan pun bersakitan semuanya kutahankan.
Masa,
Kerja seharian limabelaslah kudapat,
sembilan bahan pokok naiknya merambat-rambat,
rokok union palpal alias lima jahanam pun tak terbeliku lagi, bah... gawat
karena harganya sekarang sudah berlipat-lipat.
Apalagi,
Pas anak sedang sakit tak bisa kubawa pergi berobat,
itulah yang membuat dunia terasa kiamat.
Untunglah si Munah biniku itu tabah menghadapi cobaan hidup. Kalau tidak, mungkin dia sudah menempuh langkah seperti si Azlina, adik sepupunya, 'ceraikan aku, ceraikan.'
Keadaan waktu itu bak kata pepatah:
Buah kedekak
buah kedekik,
dimakan ayah pekak,
tak dimakan ibu bertungkik.
Atau, meminjam istilah si Pii (Syafii Panjaitan Wak Uteh Group) dalam lagu "Angin Kencang":
Balik ke rumah tak ada belanja,
ditengok sange ikan tinggal tulangnya,
singkap periuk nasi tinggal keraknya.
Untunglah lagi mertuaku tak galak dan suka membentak-bentak macam mertua si Pii yang menuangkan kesedihannya dalam lagu 'Badocak' yang liriknya diciptakan oleh Syamsul Rizal (Tok Laut zaman now). Untunglah lagi lagi (dua kali laginya) ada kawan kita Zulhasan, sempat biniku dibaginya kerja menjadi pemain dalam videoclip lagu 'Terkapar' yang diciptakannya.
Singkat cerita, lengkaplah penderitaan itu wak. Sekarang uwak tanyakan pula masalah peningkatan, INILAH HAH."
Sambil menjawab, si Udin pun tegak berdiri dan mencilakkan* punggungnya dengan menyingkap bagian belakang baju kaosnya yang sobek di sana-sini.
*Mencilakkan (kata dasarnya cilak, bedakan dengan celak) belum masuk dalam KBBI, artinya menyingkapkan sesuatu dan menampakkan isinya, tercilak artinya tersingkap dan nampak isinya.
"PENINGKATAN kata uwak, ini dia: Panu yang di punggung itu sudah MENINGKAT ke tengkuk."
Bukannya ikan yang aku dapat,
terik matahari itu yang terus menyengat.
Untung bukan teritip yang tumbuh di badan hayat,
yang semakin lama semakin penat.
Udin pun menurunkan bagian belakang baju kaosnya dan menunjuk ke tengkuknya lalu duduk kembali dan melanjutkan menyeruput kofinya.
Orang-orang di warung kofi itu, termasuk wak Anzahari, terdiam sepuluh ribu bahasa, hendak tertawa habis, mereka takut mengamuk pula si Udin nanti, tidak tertawa, geli rasa hati mereka.
Wak Anzahari pun bergumam: "Wah wah wah, sudah salah ngomong aku. Mestinya, tadi lebih baik saya jangan memakai kata PENINGKATAN, KEMAJUANÂ saja."
Wahai Udin keponakan uwak tercinta
Maafkan uwak atas tak berkenannya kata
Ayolah anakda kita balik ke rumah
Sambil menunggu menyantap gulai lomak si Munah.
"Mainkan teyus* wak," sahut Udin.
*teyus = terus.
SELESAI
Jonggol, 13 April 2021
Mengenang teman-teman sekampung,
Johan Japardi