Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Memasuk-akalkan Makna "Puak Labu"

12 April 2021   23:15 Diperbarui: 24 April 2021   10:01 2933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buah Puak, diadaptasi dari: Dangau Inspirasi Lubai.
Buah Labu, diadaptasi dari: Manfaat Labu Kuning yang Sangat Berguna untuk Kesehatan.

Dari Catatan Harian 24 November 2020
Sebelum saya mulai, saya ingin memberitahukan bahwa di dalam artikel ini terdapat "sedikit" bahasa khas Tanjungbalai,* kampung kebanggaan saya. Saya ingin mencapai 2 tujuan sekaligus dalam 1 artikel ini, yakni menjangkau para pembaca yang tidak familiar dengan bahasa Tanjungbalai dan tidak mengurangi keindahan bahasa aslinya, yang hanya bisa diapresiasi oleh orang-orang yang berasal Tanjungbalai (teman-teman saya sekampung). Jalan keluar yang saya tempuh adalah mengikutsertakan kalimat asli berbahasa Tanjungbalai dalam bentuk gambar JPG.

*Tanjungbalai Asahan, bedakan dengan Tanjungbalai Karimun. Saya lebih suka menempatkan tanda catatan kaki langsung di bawah kalimat yang relevan agar pembaca tidak usah scroll ke bawah.

Baiklah!
Seperti halnya hewan, tumbuhan (termasuk buahan-buahan) banyak yang dijadikan bagian peribahasa kita, antara lain: "Bagaikan buah simalakama, dimakan ayah mati, tak dimakan ibu mati."

Orang Melayu, termasuk Tanjungbalai, punya pendekatan yang lebih manusiawi dalam membuat peribahasa serupa, tanpa harus melibatkan pilihan "mati," yakni:

dokpri
dokpri
 "Buah kedekak, buah kedekik. Dimakan ayah pekak, tak dimakan ibu bertungkik."

Pekak, asal tidak permanen, dan tungkik, adalah kondisi yang masih bisa disembuhkan.

Bagaimana pula dengan istilah "puak labu" yang akrab di telinga orang Melayu Asahan, antara lain Tanjungbalai dan Tinggi Raja, dan ber-evolusi menjadi "wak labu" di Batu Bara melalui proses penyingkatan bunyi "puak" menjadi "uak" menjadi "wak"? Saya amati, mungkin hanya istilah "katik" (artinya "tidak ada") atau bentuk hiperkorektifnya, "ndak katik" di Palembang yang bisa mengimbangi kekerapan penggunaan "puak labu" di Tanjungbalai (entah kalau melebihi).

Jika penggunaan kata "puak" merujuk ke KBBI dengan beberapa definisi terkait kelompok orang atau suku, tampaknya istilah "puak labu" kurang masuk akal, yang satu orang dan satu lagi buah.

Sudah sejak lama logika saya merayu untuk mencari keberlindanan kedua kata ini. Ihwal ini sempat tidak saya ambil serius sampai kemarin, ketika saya meng-Google kata "puak," salah satu definisi yang muncul adalah sebagai nama buah, dengan banyak istilah menurut daerah-daerah di Indonesia, salah satunya "buah menteng."

Ini bagaikan sebuah momen Eureka! bagi saya, dan saya pun mencoba menerapkan urutan berpikir ilmiah, yakni OHET (Observasi-Hipotesis- Eksperimen-Teori) untuk istilah puak labu ini.

Pikiran saya yang melayang ke mana-mana saya panggil balik dan saya sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
1. Puak dan labu sama-sama buah.
2. Pada suatu titik dalam sejarah, mestinya ada orang Melayu (mungkin dari Tanjungbalai, katakanlah demikian) yang merantau ke suatu tempat di Kalimantan, tempat dimana buah Menteng disebut buah Puak.
3. Orang Melayu itu kembali ke kampungnya dan mendapat inspirasi untuk membuat istilah baru, kemungkinan dalam bentuk peribahasa atau bahkan pantun.
4. Bertambahlah perbendaharaan kata di Tanjungbalai tatkala temuan orang tersebut sudah dipopulerkan ke mana-mana, maka, ini imajinasi saya belaka, di sebuah kedai kofi (bukan kopi, lihat Yuk Minum Kofi) yang ramai di Jalan Imam Bonjol dekat Jalan Asahan, terdengar bagian kombur (percakapan) berikut:

dokpri
dokpri
"Wah, lama-lama capek juga saya melihat gaya anak si Lokot yang sudah lama menganggur itu."
"Memangnya kenapa?"
"Kalau kulihat dia itu orang yang:
     'Angan-angannya macam katak hendak menjadi lembu.
       Kelakuannya macam buah puak hendak menjadi buah labu.'
Tak sadar diri dia."

Dalam pantun ini terdapat pula rima sempurna antara "katak" dengan "puak" dan "lombu" ("lembu") dengan "labu."

Demikianlah rekonstruksi asal muasal istilah puak labu yang perlu diusulkan agar masuk dalam KBBI, dan sebaiknya, meminjam istilah alm. Chairil Anwar, supaya lebih "memagut," digabungkan saja menjadi satu kata, puaklabu, dengan definisi:
Seseorang yang karena angan-angannya terlalu tinggi (hampir mustahil), bertingkah laku berlebihan (banyak gaya) dan berkata sombong dan tidak realistis.

Jonggol, 12 April 2020

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun