Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Logika Belajar Apa Saja

9 April 2021   13:00 Diperbarui: 30 April 2021   05:18 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu masih berkuliah di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA USU dulu, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang dosen saya, kakanda Prof. Apt. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., tentang spesialisasi yang tidak cocok dengan budaya dan watak orang Indonesia, dan kami sepakat akan satu hal:

Orang Indonesia bisa sambil menyelam minum air tangkap ikan cari mutiara cabut rumput laut dan lain-lain, tapi tidak tenggelam! (Isi kalimat ini sudah saya modifikasi sedikit).

Coba simak lagu Doel Sumbang, Dosen Kucluk: Bapakku yang tulen lahir di Cililin Kota Wajik, bekerja sebagai: wartawan pengarang penyiar mubaligh dan...... juga pegawai negeri.

Kita bisa berasumsi bahwa orang Barat mendapat inspirasi dari kegiatan menyelam orang Indonesia di atas dan terkoinlah istilah multitasking. Untuk makna kata "koin" lihat Pojok Koin Johan Japardi, Bagian 1 (Bilingual).

Jika diperhatikan, berbicara dari segi intelektualitas, hanya segelintir orang Barat yang "pintar berpikir," selebihnya "dipikirnya dia pintar." Yang bikin kesal, yang merasa "pintar berpikir" ini cenderung jadi sombong dan menyombongkan kepintarannya dengan menggunakan orang lain. Biar jelas, ini contohnya:

Seorang pendeta tamu dari Amerika yang pernah saya dengar khotbahnya memulai dengan memamerkan hasil penelitiannya tentang manuskrip salah sebuah kitab dalam Perjanjian Baru dan membacakan satu ayat dalam bahasa Yunani (yang menurut saya dengan mendapatkan kepuasan yang tidak lebih dari hanya bisa menunjukkan bahwa dia bisa membaca satu ayat itu dalam bahasa Yunani, yang lain-lain belum tentu). Kasihan sekali.

Lebih aneh lagi, seorang pendeta Indonesia yang duduk di samping saya, yang lumayan sering mengajarkan bahwa kita tidak boleh sombong, membisikkan "Johan, kalau si anu ini belajar satu bahasa baru, dia hanya butuh waktu 6 bulan."

Saya langsung mencerna perkataannya. Oh, orang-orang tertentu boleh sombong ya? Siapa yang memberi hak kepada mereka untuk sombong? Buat apa mereka sombong?, dan saya berikan sebuah jawaban yang mengagetkan sang pendeta: "Kalau saya cukup 3 minggu."

Seberapa cepat seseorang memahami bahasa baru yang dia pelajari itu tidak penting, yang penting dia paham. Gitu aja kok repot (pinjam istilah dari Gus Dur).

Atas dasar tanggungjawab terhadap ucapan saya, akhirnya saya berhasil membuktikan bahwa untuk belajar bahasa baru, dalam hal ini bahasa Jepang (baca-tulis-ngomong), cukup 20 jam saja! Ada caranya (saya namai Metode Sim-ak (Simplifikasi Akselerasi dalam Pembelajaran Apa Saja). Tentunya sekarang saya belum bisa share metode ini secara detail kepada para pembaca, tapi di sini saya mau share sedikit tentang kunci-kuncinya.

Aplikasi Sim-ak dalam Pembelajaran Bahasa Baru
1. Keluarlah dari asumsi bahwa belajar percakapan butuh teman bicara. In nonsensical. Bacalah dengan bersuara keras dan dengarkan dengan cermat apa yang Anda baca, lalu bandingkan dengan cara baca native speaker. Anda sendirilah teman bicara Anda.

2. Saya membuat sebuah analogi dari ucapan para audiofil, "Jika sistem loudspeaker Anda sudah cukup canggih, dan Anda masih tidak puas dengan bunyinya, perbaikilah.............. telinga Anda." Analogi yang saya maksud adalah "Jika Anda merasa Anda berjalan di tempat dengan kemampuan berbicara bahasa asing Anda, perbaiki dulu pendengaran Anda." Tertibkan dulu cara pengucapan Anda dalam bahasa Indonesia sendiri. Saya akan menayangkan artikel saya yang membahas tentang hal ini.

3. Bawa kamus sendiri ke mana-mana.
Kamus? Ya, kamus itu adalah orang asing yang Anda temui. Anda tidak mesti selalu memeriksa kamus aktual atau buku-buku lain untuk mencari makna sebuah kata. "Kata" tersebut cukup Anda ganti dengan "ini," misalnya mancis (korek api) menjadi "ini" dalam bahasa baru yang sedang Anda pelajari.

Beberapa contoh:
Bayangkan Anda sedang belajar bahasa Indonesia.
"Ini bahasa Indonesianya apa?"
Kuasailah cara mengucapkan kalimat sakti ini. Kamus (orang yang Anda tanya) dengan segera memberitahu Anda: "mancis."

Dalam bahasa lain:
Melayu Tanjungbalai Asahan: "Ini apo bahaso Tanjungbalenyo?"
Jawa: "Iki boso Jowone opo?"
Batak: "Ai aha do hata Batak ni bonda on?"
Inggris: "How do you say this in English?"
Jerman: "Wie sagt man dies auf Deutsch?"
Jepang: "Kore wa nihongo de nan to desu ka?"
Italia: "Come si dice questo in Italiano?"
Tamil: "Adhai inta thamizhil eppadi solluveergal?"

Kalimat ini dalam banyak bahasa bisa dilihat di laman Poliglot. Laman ini sudah tersedia dalam versi bahasa Indonesia.
(Terlebih dulu terjemahkan kata "ini" ke dalam bahasa yang sedang Anda pelajari)

4. Banyak berlatih dengan sukacita
Dalam dunia persilatan, yang paling ditakuti bukan 10.000 jurus yang masing-masing dilatih 1 kali, tapi 1 jurus yang dilatih 10.000 kali (maksudnya sampai mahir).

Tentang hal ini ada ceritanya dalam cersil Jin Yong, Shediao Yingxiongzhuan (Kisah Pendekar Pemanah Burung Rajawali), ketika Guo Jing masih baru menguasai jurus pertama dari Xianglong shibazhang (18 Tapak Penakluk Naga), dan film Bollywood Chandni Chowk to China, ketika Sidhu, yang diperankan oleh Akshay Kumar  berhasil mengembangkan satu jurus sakti berdasar kelebihan pribadi yang sehari-harinya mengangkat dan memindahkan berkarung-karung kentang. Dengan hanya satu jurus ini dia bisa mengalahkan Gordon Liu.

Sebagai penutup, karena belajar bahasa adalah bagian dari pembelajaran  dan pembelajaran selalu melibatkan kegiatan menghafal, saya mau share beberapa ihwal berikut, yang telah diaplikasikan selama bertahun-tahun oleh putri saya:

1. Jam belajar yang tertib
Putri saya (namanya Putri Natalia) saya belikan HP setelah dia di SMP dan sebelumnya Putri sudah punya kebiasaan membaca (sekarang Putri sudah memiliki 500 buku lebih dalam perpustakaan pribadinya). Putri menetapkan sendiri jam belajarnya setiap hari pada pukul 18.00 s/d 22.00. Dalam jam belajar ini, siapa pun yang mengontak dia tidak dia ladeni, kecuali saya sendiri.

Manusia adalah makhluk kebiasaan dan kebiasaan bisa diubah.

2. Selalu mempersiapkan diri untuk hari esok.

3. Menerapkan metode Sim-ak Johan Japardi dalam menghafal.

Dalam belajar, yang penting bukan hanya menghafal, tapi anak harus tahu bergaul. Ini jangan dimaknai secara keliru bahwa menghafal tidak penting. Temukanlah caranya!

Tambahan:
Seorang pujangga China pernah mengatakan: "Dalam hidup hanya 1/10 bagian yang mengenakkan, fokuslah ke situ."
Amalkanlah yang essensial dan abaikan yang non-essensial!

Jonggol, 9 April 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun