Versi Inggris: Hidden Kartinis.
Bulan Ramadhan 1442 H (2021 M) sudah semakin dekat, dan sebagai anak Tanjungbalai Asahan, saya, seorang non-Muslim, tiba-tiba merindukan sesuatu yang hanya tersedia selama bulan puasa di kampungku, bubur pedas!
Namun bukan bubur pedas ini yang hendak saya ulas, melainkan sebuah naratif terkait Hari Kartini yang juga sudah semakin dekat (21 April 2021), yang bertepatan pula dengan hari meninggalnya seorang di antara dua ibu angkat saya 3 tahun yang lalu.
Keagungan seorang R.A. Kartini sudah tidak perlu lagi saya tuangkan dalam artikel ini, dan di sini saya hanya akan share tentang 5 Kartini lain dari zaman-zaman yang berbeda, sbb:
Mulai 1930-an:
Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, dan Mary Jackson adalah tiga Matematikawan Wanita Amerika berkulit hitam yang bekerja di NASA.
Biografi mereka bisa dibaca dalam buku Hidden Figures: The American Dream and the Untold Story of the Black Women Who Helped Win the Space Race (Tokoh-tokoh Tersembunyi: Impian Amerika dan Kisah yang Tak Diceritakan dari Para Wanita Berkulit Hitam yang Membantu Memenangi Persaingan Antariksa), yang ditulis oleh Margot Lee Shetterly (yang juga seorang minoritas wanita berkulit hitam). Buku ini mulai ditulis sejak 2010 dan terbit pada 2016.
Pada tahun 2016 juga, kisah dalam buku ini dituangkan dalam sebuah film dengan judul yang sama.
Perjuangan dan pengorbanan ketiga Kartini ini berlangsung sejak 1930-an s/d 1960-an ketika para wanita masih dipandang inferior ketimbang para pria oleh segelintir orang.
Saya menonton film ini beberapa tahun yang lalu dan hal yang paling membuat saya terkesan adalah bahwa pada masa itu, dalam menghadapi begitu banyak diskriminasi warga kulit hitam, Katherine Johnson berjuang keras dan berhasil menghapuskan setidaknya segregasi rasial dalam menggunakan peralatan minum dan toilet di NASA!
Perjuangan ketiga Kartini ini memberikan kontribusi yang sangat besar bagi keberhasilan NASA apa adanya hari ini.
Terimakasih Bu Katherine Johnson, terimakasih Bu Dorothy Vaughan, dan terimakasih Bu Mary Jackson!
Superioritas mereka: Kejeniusan yang tak dimiliki oleh para staf NASA lainnya, baik yang pria maupun yang berkulit putih, maupun dua-duanya, dan kegigihan memperjuangkan persamaan hak kaum dobel-minoritas.
Beralih ke tahun 1955:
Rice cooker elektrik otomatis yang kita gunakan dengan penuh keniscayaan di rumah setiap hari pertama kali dibuat pada tahun ini oleh sebuah perusahaan di Jepang. Sejak saat itu, berjuta-juta unit telah terjual ke seluruh dunia. Rice cooker masa kini tidaklah begitu berbeda dengan model-model semula.
Rice cooker elektrik praktis pertama diinvensi oleh Yoshitada Minami.
Di balik sukses seorang pria, ada seorang wanita yang mendukungnya.
Eksperimen panjang dan luar biasa melelahkan dilakukan oleh Yoshitada dengan bantuan sang istri tercinta, Fumiko Minami (atau tepatnya oleh Bu Fumiko dibantu sang suami): "Begin Japanology - Rice Cookers".
Bu Fumiko melakukan 20 uji setiap hari, termasuk di tengah musim salju dengan dingin yang sangat menyengat, sampai akhirnya harus kehilangan nyawanya sendiri agar orang-orang, termasuk kita hari ini, tidak usah repot-repot memasak nasi enak dan pulen yang kita santap setiap hari.
Terimakasih Bu Fumiko!
Superioritas Bu Fumiko: Kasih sayang kepada umat manusia sedunia (dengan nasi sebagai bahan makanan pokok), dan kegigihan luar biasa yang bahkan tidak dimiliki oleh pria mana pun!
Zaman Now:
Berbicara tentang "tersembunyi" atau "disembunyikan," seorang Yayuk Ciayo sangat patut mendapat perhatian dan penghargaan kita di tengah dunia kita yang sibuk tak menentu ini.
Yayuk adalah seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Taiwan dan sudah 3 tahun lebih bekerja di sana. Salah sebuah tugas harian Yayuk adalah menyiapkan makanan buat rumahtangga tempat dia bekerja.
Seorang Kartini muda asal Jawa yang amat sederhana, yang harus jauh-jauh merantau ke negeri orang demi membantu menghidupi keluarganya di Indonesia. Dilanda banyak kontroversi, bahkan dari orang Indonesia sendiri, Dik Yayuk maju terus dan kadang-kadang harus cuek dengan komentar tak enak yang dia harus terima.
Di sela-sela rutinitasnya, Dik Yayuk masih bisa meluangkan waktunya menjadi seorang Youtuber.
Menyimak salah sebuah video Dik Yayuk, saya mendapatkan pembelajaran berharga sbb:
1. Di atas segalanya, kita harus bersyukur bahwa kita masih diberi hidup dan kewarasan (kesehatan), hasil refleksi yang sangat arif setelah menyaksikan seorang gadis dengan autisme di Taiwan, yang setiap hari harus didampingi dan diawasi oleh ibunya.
2. Kita harus bersyukur bahwa kita masih bisa makan.
Dik Yayuk mengisahkan tentang hidup keluarganya di desa yang penuh dengan keprihatinan.
Bagian dari kisah ini yang sangat menyentuh rasa kemanusiaan dan simpati saya adalah tatkala ibunda Yayuk memasak nasi kering, namun beliau sendiri tidak makan karena kuatir anak-anak beliau tidak cukup makan.
Kata Dik Yayuk, nasi kering yang dimasak ulang oleh sang ibunda itulah makanan paling enak yang pernah dia rasakan!
Yayuk terus berjuang di negeri yang nun jauh di sana, untuk memastikan bahwa setidaknya keluarganya di desa tidak lagi makan nasi kering.
Bravo Dik Yayuk, 加油 jiayou, 頑張って下さい ganbatte kudasai, tetap semangat, dan jangan pernah menyerah!
Superioritas Dik Yayuk: Semangat yang sangat tinggi yang sedikit pun tidak mengalah dengan kemiskinan maupun kekurangan makan, walau semua itu harus dia tukar dengan kebahagiaan "Mangan ora mangan asal ngumpul."
Dipersembahkan buat ibu kandungku almarhumah Lim Siucu, kedua ibu angkatku, almarhumah Ny. H. Pasaribu/br. Panjaitan dan Umi Roslina Siregar di Tanjungbalai Asahan, kelima Kartini di atas (enam bersama Bu Margot, saya tidak mau membuat ibu tersembunyi maupun disembunyikan), dan para Kartini lain yang tak kalah luar biasa, di mana pun kalian berada.
Jonggol, 7 April
Salam penuh hormat,
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H