Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Seni Membaca

3 April 2021   11:00 Diperbarui: 24 April 2021   06:27 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpustakaan Pribadi Johan Japardi.

Versi Inggris.

Dari Catatan Harian 6 Juli 2019,
Membaca atau menikmati buku-buku selalu dianggap sebagai salah sebuah pesona hidup berbudaya yang disegani dan dicemburui oleh orang-orang yang sangat jarang memberikan diri mereka hak istimewa ini. Ini mudah dimaknai jika kita membandingkan perbedaan hidup seseorang yang tidak membaca dengan seseorang yang membaca. Orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca terkungkung dalam dunianya yang serta-merta terhadap waktu dan ruang. Hidupnya terdiri dari serangkaian rutin; kontak dan percakapannya terbatas pada beberapa teman dan kenalan, dan dia hanya melihat apa yang terjadi dalam lingkungannya yang serta-merta. 

Dia tidak bisa melarikan diri dari penjara ini. Tetapi begitu dia mengambil sebuah buku, dia dengan serta-merta memasuki sebuah dunia yang berbeda, dan jika yang diambilnya adalah sebuah buku yang bagus, dia dengan serta-merta berhubungan dengan salah seorang tukang bicara terbaik dunia. Tukang bicara ini menuntun dan membawa dia ke dalam sebuah negeri yang berbeda atau sebuah era yang berbeda, atau mencurahkan isi hati kepada dia tentang beberapa penyesalan pribadinya, atau membahas dengan dia beberapa kalimat khusus atau aspek hidupnya yang tidak diketahui oleh si pembaca. Seorang pengarang kuno menyatukan dia dengan arwah yang sudah lama meninggal dunia, dan ketika dia meneruskan membaca, dia pun mulai membayangkan bagaimana rupa si pengarang kuno dan tipe orang seperti apa dia.

Baik Mensius dan Sima Qian, sejarawan terbesar China, pernah menyampaikan gagasan yang sama. Sudah barang tentu, mendapatkan kesempatan selama dua jam dari dua belas jam untuk berada di dunia yang berbeda dan menjauhkan pikiran dari kekinian yang serta-merta merupakan hak istimewa yang dicemburui oleh orang-orang yang terkungkung dalam penjara lahiriahnya. Perubahan lingkungan yang demikian memiliki efek psikologis yang serupa dengan bepergian.

Tetapi ada yang lebih dari ini. Si pembaca selalu terhanyut ke dalam sebuah dunia pemikiran dan perenungan. Bahkan jika buku yang dibacanya berisi peristiwa-peristiwa fisik, ada perbedaan di antara melihat peristiwa-peristiwa tersebut atau mengalaminya, dengan membaca tentang peristiwa-peristiwa itu dalam buku, karena peristiwa-peristiwa itu selalu menyerap kualitas pengamatan dan si pembaca pun menjadi seorang pengamat lepas. Oleh karena itu, pembacaan yang terbaik adalah yang menuntun kita ke dalam suasana hati yang penuh pemahaman ini, dan bukan melulu berisi laporan peristiwa-peristiwa. Bagi saya, waktu yang luar biasa banyak yang digunakan untuk membaca surat kabar sama sekali bukan membaca, karena utamanya yang dipedulikan oleh kebanyakan pembaca surat kabar adalah mendapatkan laporan tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian tanpa nilai pemahaman.

Menurut pendapat saya, rumusan terbaik untuk bahan bacaan, dinyatakan oleh Huang Shangu, seorang penyair dari dinasti Song dan sahabat Su Dongpo. Dia mengatakan, "Seorang cendekiawan yang sudah tidak membaca apapun selama tiga hari merasakan bahwa perkataannya tidak punya citarasa (menjadi hambar), dan wajahnya sendiri menjadi dibenci untuk dilihat (di cermin)." Tentu saja, yang dia maksudkan adalah bahwa membaca memberikan seseorang pesona dan citarasa tertentu, yang merupakan keseluruhan bahan bacaan, dan hanya membaca dengan bahan ini bisa disebut seni. Orang tidak membaca untuk "meningkatkan pikirannya," karena jika seseorang mulai berpikir untuk meningkatkan pikirannya, seluruh kenikmatan membaca pun lenyap. 

Orang seperti ini adalah tipe orang yang berkata kepada dirinya sendiri: "Aku harus membaca karya Shakespeare, dan aku harus membaca karya Sophocles, dan aku harus membaca semua buku koleksi Rak Buku Lima Kaki dari Dr. Eliot, supaya aku menjadi orang yang terpelajar." Saya yakin orang tersebut tidak akan menjadi terpelajar. Dia akan memaksa dirinya pada suatu malam untuk membaca Hamlet Shakespeare dan seakan beranjak dari sebuah mimpi buruk, dengan manfaat yang tidak lebih besar dari sekadar bisa mengatakan bahwa dia telah "membaca" Hamlet. Siapa saja yang membaca sebuah buku dengan perasaan wajib, tidak memahami seni membaca. Jenis pembacaan dengan tujuan bisnis ini tidak ubahnya seperti seorang senator yang membaca arsip-arsip dan laporan-laporan sebelum menyampaikan pidato. Itu adalah mencari saran dan informasi bisnis, dan sama sekali bukan membaca.

Dengan demikian, membaca untuk mengolah pesona pribadi berupa penampilan dan citarasa dalam perkataan, menurut Huang, merupakan jenis pembacaan yang bisa diterima. Pesona penampilan ini harus dengan nyata ditafsirkan sebagai sesuatu yang bukan kecantikan fisik. Apa yang dimaksudkan oleh Huang dengan "dibenci untuk dilihat" bukanlah kejelekan fisik. Ada wajah-wajah jelek yang memiliki pesona yang sangat menarik dan ada pula wajah-wajah cantik yang kelihatan hambar.  

Ada di antara teman-teman China saya yang kepalanya berbentuk seperti sebuah bom, namun sangat enak dipandang mata. Wajah paling cantik di antara para pengarang Barat, sejauh yang saya lihat dalam gambar-gambar, adalah wajah G.K. Chesterton. Ada penggerombolan seperti hantu dari kumis, kacamata, alis mata yang lumayan lebat dan garis-garis rajutan di mana alis-alis mata bertemu! 

Orang akan merasakan adanya banyak gagasan yang sedang bermain-main di dalam kening itu, yang sewaktu-waktu siap diledakkan dari mata-mata dengan tatapan tajam yang penuh selidik. Itulah apa yang disebut Huang sebagai wajah yang cantik, bukan wajah yang dirias dengan bedak dan gincu, tapi dengan kekuatan berpikir yang dahsyat. Sedangkan untuk citarasa dari perkataan, semuanya bergantung pada cara seseorang membaca. Dalam perkataannya, apakah seseorang memiliki "citarasa" atau tidak, bergantung metode membacanya. Jika seorang pembaca memperoleh citarasa dari buku-buku, citarasa itu akan kelihatan dalam percakapannya, dan jika dia tidak memiliki citarasa dalam percakapannya, pastilah dia juga tidak memiliki citarasa dalam tulisannya.

Oleh karena itu, saya pikir citarasa atau rasa adalah kunci bagi semua pembacaan. Selanjutnya, rasa selalu selektif dan individual, seperti rasa akan makanan. Walau bagaimana pun, cara makan yang paling higienis adalah memakan apa yang disukai seseorang, karena dengan demikian dia yakin akan pencernaannya. 

Dalam membaca sebagaimana halnya dalam memakan, apa yang menjadi daging bagi seseorang bisa menjadi racun bagi orang lain. Seorang guru tidak bisa memaksa murid-muridnya untuk menyukai apa yang disukainya untuk dibaca, dan orangtua tidak bisa mengharapkan anak-anak mereka untuk memiliki rasa seperti dirinya. Dan jika si pembaca tidak memiliki rasa untuk apa yang dibacanya, dia hanya buang waktu. Seperti kata Yuan Zhonglang, "Tinggalkan buku yang kamu tidak suka baca, dan biarkan orang-orang lain membacanya."

Oleh karena itu, tidak ada buku yang mutlak harus dibaca seseorang. Karena minat intelektual tumbuh seperti sebuah pohon atau mengalir seperti sebuah sungai. Selama ada bahan makanan yang sesuai, pohon itu tetap akan tumbuh, dan selama ada aliran baru dari mata air, air itu akan mengalir. Ketika air menabrak tebing granit, ia mengalir melalui sekelilingnya; ketika ia sampai di lembah rendah yang menyenangkan, ia berhenti dan berkelak-kelok sebentar di sana; ketika ia sampai di kolam pegunungan yang dalam, ia puas tinggal di sana; ketika ia menempuh perjalanan melalui jeram, ia bergegas ke depan. Jadi, tanpa upaya apapun atau tujuan yang pasti, suatu hari ia pasti akan sampai ke laut.

Tidak ada buku di dunia ini yang harus dibaca setiap orang, tetapi hanya ada buku-buku yang yang dibaca seseorang pada waktu tertentu dan tempat tertentu di bawah kondisi tertentu dan pada periode tertentu dari hidupnya. Saya lebih suka berpikir bahwa membaca, seperti halnya ikatan pernikahan, ditentukan oleh jodoh atau yinyuan.

Bahkan jika ada buku tertentu yang harus dibaca orang, misalnya Alkitab, ada waktu untuk itu. Ketika pikiran dan pengalaman seseorang belum mencapai titik tertentu untuk membaca sebuah karya agung, karya agung tersebut hanya akan meninggalkan rasa yang jelek pada indera perasanya. Konfusius mengatakan, "Ketika seseorang berusia lima puluh tahun, dia boleh membaca Yijing (Kitab Perubahan)," yang berarti bahwa seseorang tidak boleh membaca kitab ini pada usia empat puluh lima tahun (saya tidak setuju dengan ini - penerj.). Rasa yang sangat ringan dari ucapan-ucapan Konfusius sendiri dalam Lunyu (Analek) dan kearifannya yang matang tidak akan bisa diapresiasi sebelum seseorang itu sendiri menjadi matang.

Lebih lanjut, si pembaca yang sama yang membaca buku yang sama pada periode waktu yang berbeda, mendapatkan rasa yang berbeda dari buku tersebut. Sebagai contoh, kita lebih menikmati sebuah buku setelah melakukan percakapan pribadi dengan si pengarang, atau bahkan setelah melihat sebuah gambar wajahnya, dan seseorang kembali mendapatkan rasa yang berbeda setelah dia memutuskan persahabatannya dengan si pengarang. Seseorang mendapatkan rasa tertentu ketika membaca Kitab Perubahan pada usia empat puluh tahun, dan mendapatkan rasa yang berbeda ketika membaca kitab ini pada usia lima puluh tahun, setelah dia melihat lebih banyak dari kehidupan. 

Oleh karena itu, semua buku yang bagus bisa memberikan manfaat dan kenikmatan baru ketika dibaca untuk kedua kalinya. Saya disuruh membaca Westward Ho! dan Henry Esmond selama masa kuliah saya, tetapi walaupun saya bisa mengapresiasi Westward, Ho! ketika berusia belasan tahun, rasa yang sebenarnya dari Henry Esmond tidak bisa saya nikmati sebelum saya merenungkannya kemudian, dan saya mencurigai adanya pesona dalam buku itu yang lebih banyak daripada yang bisa saya apresiasi.

Oleh karena itu, membaca merupakan sebuah tindakan yang terdiri dari dua pihak, yaitu si pengarang dengan si pembaca. Hasil nettonya berasal dari sebanyak apa kontribusi si pembaca melalui pemahaman dan pengalamannya sendiri dan sebanyak apa kontribusi si pengarang. Berbicara mengenai Analek Konfusian, Konfusianis dari Dinasti Song,  Cheng Yichuan, mengatakan, "Ada banyak pembaca. Beberapa pembaca membaca Analek dan tidak merasakan sesuatu terjadi, beberapa pembaca senang dengan satu atau dua kalimat dalam kitab ini, dan beberapa pembaca tanpa sadar mulai melambaikan tangan mereka dan menari-nari di atas kaki mereka."

Saya menganggap penemuan pengarang favorit seseorang merupakan peristiwa paling kritis dalam perkembangan intelektualnya. Ada sesuatu berupa afinitas para roh, dan di antara para pengarang kuno dan masa kini, seseorang harus mencoba menemukan seorang pengarang dengan roh/semangat yang dekat dengan roh/semangatnya sendiri. Hanya dengan cara ini seseorang bisa benar-benar mendapatkan manfaat membaca. Seseorang harus independen dan mencari guru-gurunya. Siapa yang menjadi pengarang favorit seseorang, tak seorang pun yang tahu, bahkan mungkin dia (si pembaca) sendiri tidak tahu. Itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Si pembaca tidak bisa disuruh menyukai pengarang ini atau pengarang itu, tetapi ketika dia telah menemukan pengarang yang dia sukai, dia dengan sendirinya akan tahu berdasarkan sejenis naluri. Ada banyak contoh yang terkenal dari diketemukannya pengarang. Para cendekiawan hidup dalam zaman-zaman yang berbeda, terpisah berabad-abad, namun pola pikir mereka begitu dekat sehingga pertemuan mereka melalui halaman-halaman sebuah buku bagaikan seseorang yang menemukan citranya sendiri. Dalam fraseologi China, kita berbicara tentang para roh yang berkerabat ini sebagai reinkarnasi jiwa yang sama, seperti Su Dongpo disebut sebagai reinkarnasi dari Zhuangzi atau Tao Yuanming dan Yuan Zhonglang disebut sebagai reinkarnasi dari Su Dongpo.

Su Dongpo mengatakan bahwa ketika dia pertama kali dia membaca Zhuangzi, dia merasa seakan-akan setiap saat sejak masa kanak-kanaknya dia telah memikirkan hal yang sama dan memiliki cara pandang yang sama. Ketika pada suatu malam Yuan Zhonglang menemukan karya Xu Wenchang, rekan sezaman yang tak dikenalinya, dalam sebuah buku kecil berisi puisi-puisi, dia melompat turun dari ranjang dan berteriak kepada temannya, dan temannya pun mulai membaca buku itu dan pada gilirannya juga berteriak, dan kemudian mereka berdua membaca dan berteriak lagi sampai pelayan mereka terheran-heran. George Eliot menguraikan pembacaannya yang pertama dari Rousseau sebagai sengatan listrik. Nietzsche merasakan hal yang sama tentang Schopenhauer, tetapi Schopenhauer adalah seorang guru yang penggusar dan Nietzsche adalah seorang murid bertemperamen kasar, dan wajar jika sang murid kemudian memberontak terhadap sang guru.

Hanya jenis pembacaan ini, penemuan pengarang favorit seseorang ini, yang memberikan manfaat setiap saat. Seperti seorang pria yang jatuh cinta dengan kekasihnya pada pandangan pertama, semuanya cocok. Sang kekasih punya tinggi badan yang cocok, wajah yang cocok, warna rambut yang cocok, kualitas suara yang cocok dan cara berbicara dan cara senyum yang cocok pula. Pengarang ini bukanlah sesuatu yang perlu diberitahukan kepada seorang anak muda oleh gurunya. 

Pengarang ini cocok saja bagi dia; gayanya, rasanya, sudut pandangnya, pola pikirnya, semuanya cocok. Dan kemudian si pembaca melanjutkan untuk melahap setiap kata dan setiap kalimat yang ditulis si pengarang, dan karena mereka memiliki afinitas semangat, dia pun menyerap dan dengan mudah mencerna semuanya. Si pengarang telah mengguna-gunai dia, dan dia senang diguna-gunai, dan selanjutnya suara, cara senyum dan cara berjalannya pun menjadi seperti suara, cara senyum dan cara berjalan si pengarang. 

Jadi dia benar-benar merendamkan dirinya dalam kekasih sastranya dan dari buku-buku ini dia pun mendapatkan makanan dan minuman bagi jiwanya. Setelah beberapa tahun, guna-guna itu pun berakhir dan dia menjadi sedikit lelah dengan sang kekasih ini dan mencari kekasih sastra yang baru, dan setelah dia memiliki tiga atau empat kekasih dan sudah melahap mereka semua, dia sendiri pun menjadi seorang pengarang. Ada banyak pembaca yang tidak pernah jatuh cinta, seperti banyak pemuda dan pemudi yang menggoda ke-sana ke-mari dan tidak mampu membentuk kemelekatan yang mendalam dengan seseorang. Mereka bisa membaca buku apapun dari pengarang manapun, dan mereka tidak pernah mencapai apa-apa.

Konsep yang demikian mengenai seni membaca sepenuhnya sudah mencakupkan gagasan tentang membaca sebagai sebuah kewajiban atau keharusan. Di China, orang sering menganjurkan para murid untuk "belajar dengan getir." Ada seorang siswa yang belajar dengan getir dan menusukkan jarum ke batok kepalanya ketika dia mengantuk pada saat belajar di malam hari. Ada pula seorang siswa yang menyuruh seorang pelayan berdiri di sampingnya ketika dia sedang belajar di malam hari, untuk membangunkan dia ketika dia mengantuk. Ini omong kosong. 

Jika ada sebuah buku di hadapan seseorang dan dia mengantuk ketika sang pengarang kuno yang bijaksana sedang berkata-kata kepadanya, sebaiknya dia pergi tidur saja. Tusukan jarum ke batok kepala atau dibangunkan oleh pelayan tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Orang seperti itu telah kehilangan seluruh perasaan nikmat membaca. Para cendekiawan yang terkenal tidak pernah tahu apa yang disebut dengan "belajar giat dan lama" atau "belajar getir". Mereka cuma menyukai buku-buku dan terus membaca karena tidak bisa menahan diri mereka.

Dengan pertanyaan yang sudah terjawab ini, terjawab juga pertanyaan mengenai waktu dan tempat membaca. Tidak ada waktu dan tempat yang tepat untuk membaca. Jika  timbul suasana hati untuk membaca, orang bisa membaca di mana saja. Jika seseorang tahu menikmati pembacaan, dia akan membaca di sekolah atau di luar sekolah, atau di luar sekolah manapun. Dia bahkan bisa belajar di sekolah-sekolah terbaik. Ceng Guofan, dalam salah sebuah surat kepada keluarganya tentang hasrat salah seorang adiknya untuk datang ke ibukota dan belajar di sekolah yang lebih baik, menjawab demikian:

"Jika seseorang memiliki hasrat belajar, dia bisa belajar di sekolah desa, atau bahkan di padang pasir atau jalanan yang padat, dan bahkan bisa sambil memotong kayu atau menggembalakan ternak. Tetapi jika seseorang tidak memiliki hasrat belajar, bahkan rumah yang tenang di desa atau pulau yang menyenangkan sekali pun bukan tempat yang tepat baginya untuk belajar." 

Ada orang-orang yang mengambil postur diri-penting di meja ketika mereka akan mulai membaca, dan kemudian mengeluh mereka tidak bisa membaca karena ruangannya terlalu dingin, atau kursinya terlalu keras, atau cahaya lampunya terlalu kuat. Dan ada para penulis yang mengeluh mereka tidak bisa menulis karena banyak nyamuk, atau kertas tulisnya terlalu mengkilap, atau bunyi dari jalanan terlalu bising. 

Cendekiawan besar dari Dinasti Song, Ouyang Xiu, mengaku ada "tiga di atas" untuk melakukan penulisannya yang terbaik: di atas bantal, di atas punggung kuda dan di atas toilet. Cendekiawan terkenal lainnya dari Dinasti Qing, Gu Qianli, terkenal dengan kebiasaan "membaca kitab klasik Konfusian sambil bertelanjang" di musim panas. Sebaliknya, ada alasan yang baik untuk tidak membaca sama sekali dalam musim apapun dalam setahun, jika seseorang tidak suka membaca:

Belajar di musim semi adalah pengkhianatan,
Dan musim panas adalah alasan terbaik untuk tidur,
Jika musim dingin bergegas menggantikan musim gugur,
Berhentilah membaca sampai musim semi berikutnya.

Jadi, apa seni membaca yang sejati? Jawaban yang sederhana adalah ambil saja sebuah buku dan baca buku itu selagi ada suasana hati. Untuk bisa dinikmati sepenuhnya, pembacaan harus benar-benar spontan. Seseorang mengambil tumpukan buku karya Lisao, atau karya Omar Khayyam, dan pergi bergandengan tangan dengan kekasihnya itu untuk membaca buku di tepi sungai.

Jika ada awan yang bagus di atas kepala seseorang, biarkan dia membaca awan dan melupakan buku-buku, atau membaca buku-buku dan awan sekaligus. Di sela-sela waktu membaca, sebuah cangklong dengan tembakau yang bagus atau secangkir teh yang bagus akan membuatnya lebih sempurna. Atau mungkin pada malam bersalju, ketika seseorang sedang duduk di depan perapian, dan ada sebuah ketel yang sedang bernyanyi di atas tungku dan sebungkus tembakau yang bagus di sampingnya, orang itu mengumpulkan sepuluh atau selusin buku tentang filsafat, ekonomi, puisi, biografi dan menumpuk buku-buku itu di atas sofa, dan kemudian dengan santai membolak-balik buku dan dengan lemah lembut menandai bagian-bagian yang menimbulkan imajinasinya pada suatu ketika. 

Zhin Zhengtan menganggap bahwa membaca sebuah buku yang dibredel di balik pintu yang tertutup pada malam bersalju merupakan kenikmatan terbesar dalam hidup. Suasana hati untuk membaca diuraikan dengan sempurna oleh Chen Zhiru (Meigong): "Orang-orang kuno menamakan buku-buku dan lukisan-lukisan sebagai ‘jilidan lemas' dan ‘jilidan lembut'; oleh karena itu, gaya terbaik untuk membaca sebuah buku atau membuka sebuah album adalah gaya santai." Dalam suasana hati ini, seseorang mengembangkan kesabaran untuk segala sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh pengarang yang sama,

"Guru sejati menoleransi kesalahan cetak ketika membaca sejarah, seperti pengelana yang baik menoleransi jalan yang jelek ketika mendaki gunung, seseorang yang pergi melihat pemandangan bersalju menoleransi jembatan yang mudah patah, seseorang yang memilih hidup di desa menoleransi orang-orang yang vulgar, dan seseorang yang membungkukkan badan untuk melihat bunga-bunga menoleransi arak yang jelek."

Uraian terbaik tentang kenikmatan membaca saya temukan dalam otobiografi penyair wanita terbesar China, Li Qingzhao (Yi-an, 1081-1141). Dia dan suaminya pergi ke kelenteng, di mana buku-buku bekas dan gosokan dari inskripsi batu dijual, pada hari suaminya menerima gaji bulanan sebagai siswa di Akademi Kerajaan. Kemudian mereka membeli sedikit buah-buahan dalam perjalanan pulang, dan sesampainya di rumah, mereka pun mulai mengupas buah dan bersama-sama meneliti gosokan yang baru dibeli, atau meminum teh dan membandingkan varian-varian dalam berbagai edisi. Sebagaimana yang diuraikan dalam catatan otobiografinya yang dikenal sebagai Poskrip terhadap Zhinshilu (sebuah kitab tentang inskripsi perunggu dan batu):

Saya memiliki ingatan yang tajam, dan sambil duduk dengan tenang setelah makan malam di Aula Kepulangan, kami mendidihkan sepoci teh dan, menunjuk ke tumpukan buku di rak-rak, menerka pada baris ke berapa dari halaman ke berapa terdapat sebuah kalimat dan melihat siapa yang benar, yang membuat terkaan yang benar mendapat hak istimewa untuk lebih dulu meminum secangkir teh yang pertama. Ketika terkaannya benar, kami mengangkat cangkir kami tinggi-tinggi dan tertawa keras, kadang-kadang sampai teh itu tertumpah pada baju kami dan kami pun tidak bisa minum. Saat itu kami puas dengan hidup dan menua dalam dunia yang demikian! Oleh karena itu, kami mengangkat kepala kami tinggi-tinggi, walaupun kami hidup dalam kemiskinan dan kenestapaan...

Semakin lama koleksi kami semakin banyak dan buku-buku dan benda-benda seni menumpuk di atas meja dan kursi dan ranjang, dan kami menikmati semuanya dengan mata dan pikiran kami dan merencanakan dan membahas buku-buku dan benda-benda seni itu, merasakan sebuah kebahagiaan di atas kebahagiaan orang-orang yang menikmati anjing dan kuda dan musik dan dansa....

Catatan ini ditulis Li Qingzhao pada masa tuanya setelah suaminya meninggal dunia, ketika dia menjadi seorang wanita tua yang kesepian dan pergi dari satu tempat ke tempat lainnya selama pendudukan China Utara oleh suku Jin.

Disari dan diterjemahkan dari: The Importance of Living karya Lin Yutang. Sengaja diformat tanpa nomor halaman. Toh, ini hanya satu kalimat.

Jonggol, 3 April 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun