Mohon tunggu...
Ipung Jogjangler
Ipung Jogjangler Mohon Tunggu... Wiraswasta - Fasilitator ketangguhan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

menikmati hidup dan merayakan cinta

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Surat Terbuka Untuk Teman-Teman Facebook

7 April 2016   20:01 Diperbarui: 7 April 2016   20:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakabar kawan(s) Facebook? Sebagian dari Anda saya kenal di dunia nyata. Sebagian lagi pernah bertemu.  Teman lainnya saya tidak kenal sama sekali tetapi kita berinteraksi dengan sangat baik di facebook, comment positif, share satus, sekedar like, atau saling melempar guyonan. Saya juga berteman dengan beberapa orang di facebook karena  punya hobi dan minat pada persoalan sama.

Facebook mempertemukan kita. Tidak masalah teman jenis apa pun Anda. Saya menghormati Anda sebagaimana layaknya berteman di dunia nyata. Pada dasarnya saya ingin berteman dengan siapa pun, sebanyak mungkin. Bagi saya setiap orang punya pengalaman tersendiri. Saya ingin belajar dari pengalaman Anda. Tidak masalah ketika Anda tidak menyampaikan pengalaman untuk saya pelajari. Mungkin belum saatnya saja.

Menjadi masalah bagi saya ketika Anda menulis status pedas tanpa dasar jelas. Menebarkan kebencian. Kampanye rasisme. Men-share link berita dari situs abal-abal untuk menyudutkan kelompok lain. Menyalahkan pihak lain padahal tidak jelas Anda dirugikan di bagian mana. Berarti Anda termasuk keyboard warrior tidak bermoral. Mohon maaf, akun Anda akan saya hilangkan dari daftar teman. Supaya adil, silakan simak semua status atau note saya. Jika ada salah satunya sama atau dapat diartikan dengan hal-hal saya sebutkan di atas, silakan un-friend saya. Ikhlas saya.

Kawan(s) Facebooker. Face itu wajah, booker itu buang air. Jadi faceboooker itu wajah orang lagi buang air. Njaprut, cemberut. Saya
juga tidak menganggap masalah ketika ada teman facebook  memasukkan akun saya ke group atau fan page apa pun itu. Saya sadar memang itu salah satu kelemahan Facebook diantara sekian keunggulannya. Kita bisa memasukkan akun siapa pun ke group tanpa permisi ke pemiliknya. Toh tersedia pilihan 'Leave Group'. Menurut saya itu fair. Saya berjanji tidak akan meng-klik 'Leave Group' asal materi-materi di group itu informatif, bisa dipertanggungjawabkan secara sosial maupun nalar, tidak menganjurkan perpecahan, membuat saya nyaman, terhibur, tertawa ngakak, bisa ikut melempar guyonan meski saya tidak pandai melucu.

Kawan(s) pada dasarnya semua manusia menyelesaikan masalahnya denga tiga cara. Pertama, meniru pengalaman orang lain. Kedua, mengadaptasi pengalaman orang lain. Ketiga, berkreasi mencari cara sendiri. Saya berteman di Facebook untuk mencari pembelajaran dari teman-teman saya. Bonusnya kalau ada status lucu, link menghibur, berita mendidik, foto indah, cerita atau tulisan inspiratif. Di luar itu saya tidak mau. Silakan hapus saya dari daftar teman sebelum saya menghapus duluan.

Permasalahan manusia di dunia ini pada dasarnya disebabkan karena tidak enak hati melihat orang lain punya cara atau pilihan berbeda. Sependek pengetahuan saya, sikap nyinyir dan mulut pedas tanpa diikuti usul konstruktif asalnya dari situ itu. Jadi kalau Anda gusar melihat orang lain punya pilihan cara beribadah, afiliasi politik, suku bangsa berbeda dengan Anda, silakan hapus akun saya sebelum saya melakukan sebaliknya.

Saya bukan penganjur toleransi karena saya tidak mengerti sepenuhnya makna toleransi. Saya hanya tahu sedikit kebaikan tentang hidup berdampingan dengan saling menghormati pilihan masing-masing. Saya lahir dan dibesarkan di Yogyakarta di tengah lingkungan rakyat jelata dengan beragam agama, suku, budaya. Saya masih ingat ketika ibu saya meminjam beras ke tetangga begitu juga sebaliknya. Saling tergantung antar tetangga, itulah daya hidup saya rasakan di papan bawah sana. Karena Anda dibesarkan di lingkungan elit, sekarang hidup nyaman, tidak perlu tetangga, bisa mengubur diri sendiri kalau mati, silakan hapus saya dari daftar teman.

Silakan tanya perbandingan pengeluaran dengan penghasilan rumahtangga di kampung-kampung seluruh Indonesia. Jawabannya pasti minus atau lebih besar pengeluaran. Tetapi kenapa masih bisa hidup? Bisa menyekolahkan anak? Bisa kredit motor? Ada sistem sosial, gotong royong, menopang kehidupan di akar rumput. Kalau sistem sosial itu hancur karena perpecahan, kira-kira bisa diperbaiki atau tidak? Kalau saya terdengar menggurui padahal Anda ahli sosiologi, silakan remove saya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun