Mohon tunggu...
Djodi Sambodo
Djodi Sambodo Mohon Tunggu... Penulis - Writing is for fun.

Just imagine one day meet Forrest Gum and run together...keep goin' run.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Opera Stasiun di Musim Salju

4 Juli 2017   16:36 Diperbarui: 4 Juli 2017   16:41 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opera Stasiun Di Musim Salju
 Oleh: Djodi B. Sambodo

Entah siapa yang membawaku. Aku hanya tahu, telah duduk di dalam stasiun ini. Satu jam, satu hari, satu malam? Juga tak kutahu. Time, Ive been passing time watching trains go by1), berulang-ulang mengalun bersama jatuhnya butir-butir salju di luar. Bagai dinyanyikan awan kelabu Desember di langit Flagstaff.

 Menggema dan merasuk di telingaku. Mungkin pula di telinga-telinga manusia yang beraneka hati lainnya di bangsal ruang tunggu bersamaku. Beberapa tubuh berayun-ayun. Entah mengantuk atau menikmati senandung lembut di benakku. Aku tak pasti. Irama itu masih membius. Meninakan. Tidak dengan berbaring di atas pasir putih, menatap tarian burung-burung laut. Tetapi tetap sama. Berharap pada sebuah kedatangan.

Sebetulnya bukanlah karena Patroclus, Hector harus mati, seorang tua berjenggot putih dengan mata buta yang tanpa diminta siapa pun, memecah sunyi lewat suara yang janggal. Seperti orang yang mengoceh. Tetapi tidak. Ia lebih tepat bersyair dengan suara yang mengayun-ayun. Layaknya pendongeng keliling yang bicaranya seperti membaca buku kumpulan puisi.

Dan bukan pula salah siapa-siapa bila syair-syair ini jadi hapalan wajib Alexander sebelum menggempur Persia. Juga tidaklah ingin meniru Achilles ketika ia memilih Hephaestion, sahabat lelaki yang teramat dekat.

 "Uno, dos, tres, cuatro, cinco.... veinte....ochenta....uno cien2). Mama, ada seratus, Ma!", suara si kecil di tengah bisingnya kereta lewat dengan empat lokomotif berwarna kombinasi kuning dan hitam, semuanya bertuliskan Santa Fe, menarik seratus gerbong bermuatan peti kemas Evergreen, Lloyd, Maersk, Hyundai dan HJ. Bunt. Tapi sang mama berwajah mirip Frida Kahlo cantiknya wanita latin berdarah Jerman dengan alis bersambung melukisi wajah menjawab pelan dan lebih asyik mendengar bait-bait syair pendongeng tua.

 
 "S. Usted tiene razn, Carlos3)", berbisik ia membenarkan jumlah hitungan sang anak dengan tangan mengusap lembut kepalanya, sementara matanya melihat ke orang tua itu bicara.

 Aku sendiri seperti tidak mengenal lagi akan sinar. Sinarnya mentari atau rembulan. Karena tidak sedikit pun cahaya yang mampu menembus selimut kelabu yang menyembunyikan langit, bahkan tak ada yang bisa menahan tumpahan salju. Entah berapa kereta lalu lalang. Berhenti, berangkat atau berlalu begitu saja. Bahkan wajah-wajah telah silih berganti tak ada yang kutahu.

 "Pak Tua, bila syairmu bercerita tentang kejamnya rezim Rusia membantai umatnya Muhammad di Chechnya, kau sudah lama diam membisu dengan tubuh membujur kaku", ujar tiba-tiba seorang lelaki beraksen Rusia dan berwajah keras mirip Ivan Drago sebelum bertarung dengan Rocky.

 "Hmmm... Maksudmu aku akan bernasib sama seperti Anna? Anna  Politkovskaya.... Anna Mazepa?" matanya mencorong ke muka lelaki yang memberanikan diri menjadi lawan bicaranya.

"Ya. Dia  memang bukan Anna Kerenina isteri seorang pejabat, Alexei Alexandrovich Karenin, yang dibiarkan Tolstoy mati dilindas kereta api hanya karena konflik perselingkuhannya dengan lelaki lain", Alexei Kirillovich Vronsky. Lelaki tua yang buta itu seperti serba tahu. Dan terus saja menyerocos seperti asap yang mengepul-ngepul dari cerobong lokomotif tanpa henti.

Bukunya tentang Chechnya  dan rezim Vladimir serta tulisannya tentang penyanderaan sekolah di Beslan membuatnya semakin akrab dengan maut.
Politkovskaya menulis tajam seperti pedang. Mungkin lebih tajam dari pedangnya Joan of Arc saat  mengusir Inggris dari negerinya. Walau keduanya sama-sama terbunuh oleh lawannya di tengah pertempuran yang belum selesai dan memang tak akan pernah selesai.

Dan mereka tidaklah mati. Mereka masih hidup. Karena mereka telah menjadi syair-syair sejarah peradaban manusia. Sebagaimana Iliad yang tak pernah mati selama ribuan tahun. Sehabis bicara begini, orang tua yang serba tahu dan mungkin sok ini, tiba-tiba menghilang bersama lelaki berwajah Rusia, di balik taburan salju yang semakin deras. Mungkin ia telah lelah. Atau mereka  ingin beradu dongeng secara ekslusif.

Tinggallah aku, perempuan berwajah Frida dan anak lelakinya yang telah tertidur di pangkuannya. Entah siapa yang ditunggu, dan berapa lama berada, aku tak tahu. Yang kutahu dari bibirnya mendesis kata-kata penuh rima. Sayup-sayup kutangkap kata-katanya. Ada nafasnya Paz.

Escrito con Tinta Verde4)
Tinta hijau menulis kebun, hutan, ladang,
Dedaunan dimana menembangkan surat,
Kata-katanya adalah pepohonan,
Frasenya adalah gugusan bintang...

O, dinginnya salju penghujung tahun! Putihnya telah melenyapkan semua yang hijau. Perempuan itu sungguh penuh kerinduan. Aku meraba akan kesetiaan. Walau probabilitasnya di antara angka nol dan satu. Dia menunggu seseorang. Seseorang yang dikasihi di tengah butiran salju. Tiba-tiba matanya menerawang tajam seiring daun telingaku yang berdiri tegak.

 
 Tuut..Tuut..Tuut Peluit kereta membahana.
 Sebuah kereta datang dan berhenti di stasiun Flagstaff. Entah mengapa kedatangan kereta kali ini menjadi perhatianku. Penumpang satu-satu berhamburan keluar. Perempuan itu bersama anak lelakinya menyambut seorang lelaki gagah berwajah latin yang berjalan mendekat dengan seorang perempuan muda mirip Maite Perroni pemeran telenovela Rebelde.

 
 "Feliz navidad, mi amor!5)"  dari kejauhan bibirnya terbaca mengucapkan selamat natal. Tetapi lelaki itu sedikitpun tidak memeluknya atau memberikan kecupan. Dia hanya memandang perempuan berwajah Frida dan anaknya, lalu menoleh ke arah perempuan muda di sampingnya sambil mengucapkan sesuatu, seakan ingin memperkenalkan ada pendamping baru yang kelak jadi temannya dan sekaligus pengasuhnya Carlos.

 
"No... Yo no quiero ninguna poligamia! Nuncaaaa!6) Tak ayal lagi perempuan itu berteriak histeris sambil menarik tangan anak lelakinya, membalikkan badannya, lalu setengah berlari menjauh dengan air mata berderai di antara taburan salju. Drama kehidupan singkat yang tidak menggoyahkan diriku untuk berbuat sesuatu. Misalnya, menenangkan dirinya dari kekecewaan. Aku hanya berharap, agar dia dan anaknya berhati-hati saat berlarian di atas jalanan yang penuh salju. Aku tak beranjak dari tempatku berdiri selain menyapu pandangan ke semua penumpang yang telah turun semuanya. Nihil!

Kereta berangkat kembali, tetapi yang kutunggu-tunggu tidak datang. Entah ini penantian yang ke berapa. Dingin dan lapar sudah tak kuperdulikan lagi.  Sampai terlihat kembali lelaki buta tua berjenggot putih, sendiri berjalan menyusuri rel kereta dengan tongkatnya. Dia bukan Santa Claus, karena tubuhnya hanya berjubah ihram putih tanpa mantel dingin. Ia masih terlihat sebelum benar-benar ditelan kabut dan butiran salju. Gila! Ia bisa mati kedinginan atau tertabrak kereta api! Pemandangan kali ini mampu membuat tubuhku bergerak dan bahkan mengejarnya.

Berlari aku. Kencang, di lintasan rel yang licin, melawan dingin dan membelah tirai salju yang bisa membekukan tubuh. Hampir kuraih jubahnya. Tetapi lebih dulu aku terpeleset dan terjerembab karena licinnya bantalan rel bersalju. Aku terkapar di atas rel dan di belakang, suara kereta datang menderu. Aku ingin bangkit menyelamatkan tubuhku. Tapi tak mampu. Kereta makin mendekat. Aaaahh!!! Tubuhku menggelepar dan tanganku berontak menolak ajal.

Brak! Tiba-tiba kurasakan wajah, tubuhku dingin dan kuyup. Kuraba dengan tanganku. Basah oleh cairan putih seperti salju. Oh! Silk soy milk rasa vanila-ku tumpah! Aku yang tertidur dengan wajah tertelungkup di atas meja komputer, telah tertumpah susu. Tanganku tak sengaja telah menyenggolnya.****(Flagstaff, AZ, Dec 25th 2006)

Keterangan:
 1)      Waktu, kuhabiskan waktu memandang kereta berlalu... (lagu It Might Be You-Stephen Bishop)
 2)      Satu, dua, tiga, empat, lima...duapuluh...delapanpuluh....seratus (bhs. Spanyol)
 3)      Ya. Kamu benar, Carlos.
 4)      Mereka Menulis Dengan Tinta Hijau (Judul puisi karya Oktavio Paz)
 5)      Selamat Natal, sayangku.
 6)      Tidak... Aku tidak ingin ada  poligami!  Jangan sampai!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun