"hai... Jangan takut. Aku Maria. "
Suara ramah itu membuat rasa takut Rumi sedikit berkurang. Ia memutar badannya pelan. Dengan malu malu ia mengangkat muka. Dan suara tawa renyah menggema seantero taman.
" Ya ampun, muka kamu kotor, penuh lumpur. Ayo sini aku bantu bersihkan. " suara itu datang dari anak kecil seumuran dengannya. Ia berwajah bulat dan ramah. Rambutnya lebat dipotong poni. dengan masih menahan senyum jenakanya ia mengulurkan tangan untuk membantu Rumi menaiki parit.
"papaku kerja di rumah sakit ini. Mama sedang keluar. Kak Tira dan Kak Josef ikut mama. Aku sama bibi saja. " Celoteh anak itu seperti sudah kenal Rumi lama. Rumi sendiri masih kikuk, apalagi ketika ia disuruh mandi oleh seorang perempaun tua yang dipanggil bibi oleh Maria.
Selesai mandi Maria mengajak Rumi ke kamarnya di lantai atas. Dan di sana Rumi mulai merasa bebas, ia pun dengan polosnya menceritakan semua. Tentang Agus dan Obud serta tempat sampah yang ternyata tak ada itu. Ketika ia selesai bercerita, dilihatnya mata Maria berkaca kaca . Gadis kecil Nan manis itu kemudian memeluk Rumi dengan haru.
Keesokan harinya, di sekolah Rumi kedatangan tamu istimewa. Ia seorang kepala Dokter yang terhormat. Ia datang membawa berkardus kardus alat tulis dan buku sekolah. Maria, menggandeng tangan Dokter itu sambil tersenyum riang.
"ini papaku. " Katanya bangga.
Dokter berwajah teduh itu menatap putrinya dengan bangga . Ada bening air di kedua matanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H