Tahun politik 2014 dijejali dengan hiruk pikuk masalah korupsi dan bencana, namun satu hal yang seakan lepas dari sorotan, separatisme Papua terus berkembang. Vanuatu, negara di pasifik selatan ternyata diam-diam mendukung gerakan memisahkan diri Papua dari Indonesia.
Kita semua tentu suatu saat nanti akan ada calon presiden dari tanah Papua, namun bila masalah separatisme di Papua tak juga usai tentu itu harapan itu masih jauh.
Berbagai upaya kelompok atau golongan masyarakat dalam bentuk gerakan separatisme dengan tujuan untuk memisahkan diri dari republik ini merupakan masalah bersama yang harus dirampungkan. Penyelesaian kasus separatisme di Papua (Papua dan Papua Barat) secara simultan dan intensif harus terus dilakukan.
Sepanjang tahun 2013, menurut data Indonesia Police Watch (IPW penembakan oleh kelompok sipil bersenjata di Papua meningkat hingga menewaskan 19 orang. Kelompok bersenjata ini menyerang pos polisi di Kulirik, Puncak Jaya, Papua. Dua Brimob yang bertugas di pos melarikan diri saat diserang.
IPW juga mencatat sejak 2009 hingga awal 2014 terjadi aksi kekerasan bersenjata di Papua, yang menewaskan 41 orang, baik sipil maupun aparat keamanan. Sedangkan pada 2011 hingga 2012, sebanyak 26 sipil dan 14 aparat tewas.
Hal ini tentu mengganggu kemanan dan ketertiban serta proses pembangunan di Papua, Polri dibantu TNI giat melaksanakan patroli dan pengamanan di daerah-daerah di mana OPM beraksi. Semakin terdesak, kelompok separatis ini memindahkan basis ke hutan dan gunung, terutama di daerah Puncak Jaya.
Tak cukup dengan perjuangan fisik, bentuk manuver perjuangan dengan mendukung asing asing agar Papua lepas dari Indonesia dilakukan di kota-kota besar. Sebuah LSM di Jakarta baru-baru ini menggelar jumpa pers yang dihadiri Wenas Kobagau, Samuel Nawipa, Oktavianus Pogau, Sonny Wanimbo, Yulan Karima dan Marthen Goo, mereka adalah tokoh-tokoh yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.
Mereka mendukung sikap delegasi Vanuatu yang tidak ikut dalam rombongan Menteri Luar Negeri Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Jakarta dan Papua beberapa waktu lalu. Meraka juga memberikan apresiasi atas komitmen Vanuatu yang terus mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi rakpat Papua Barat, sesama rumpun Melanesia.
Aspirasi mereka kepada para Menlu MSG adalah agar menolak dengan tegas joint statement yang ditawarkan pemerintah Indonesia, sebab dalam joint statement terkesan membatasi hak rakyat Papua Barat menjadi anggota MSG.
Vanuatu adalah sebuah negara kecil di Pasifik selatan, yang pernah disokong Indonesia ketika mengalami kekurangan pangan, serta mendidik petani Vanuatu sekaligus hibah bantuan sarana dan prasarana pertanian.
Namun sekarang Vanuatu berbeda sikap dengan Indonesia dalam masalah Papua, bahkan cenderung mendiskreditkan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia perlu mencatat bahwa “Vanuatu bukan tetangga yang baik, bagaikan air susu dibalas dengan air tuba”.
Rakyat Papua juga perlu bertanya, apakah Vanuatu dapat dipercaya ? Lalu bagaimana makna strategis kasus Papua dan apa keuntungannya bagi negara-negara lain seperti Commenwealth, Australia, USA dan Perancis termasuk Vanuatu jika Papua “lepas” dari Indonesia?
Sesungguhnya kita semua tidak ingin melihat saudara kita di Papua menderita, namun kita lebih tidak ingin berpisah dari saudara kita…
Menjelang dan selepas tahun Politik 2014 para stake holder harus dapat menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan cerdas yang mampu menciptakan masa depan Papua yang sejahtera dan nantinya bakal ada Presiden Republik Indonesia dari tanah Papua.
Yohanes Wawengkang
Jalan Margonda Raya, Nomor 46, Depok, Jawa Barat
joewawengkang@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H