Mohon tunggu...
Joe Sekigawa
Joe Sekigawa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pemuda bergelar Sarjana Sains Terapan (S.ST.) dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung pada bulan Oktober 2012 ini merupakan kader KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) STKS Bandung yang hijrah ke Kalimantan Timur sejak Mei 2013 dan kemudian menjadi bagian dari keluarga besar KAMMI Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Saat ini bekerja sebagai Community Investment Staff perusahaan Hutan Tanaman Industri Distrik Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara-KALTIM.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku (Bukan) Teroris*

27 Januari 2014   06:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku (bukan) Teroris*

*Oleh Muhammad Joe Sekigawa, A Social Worker, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman

Saya menjadi gemas dan prihatin ketika mendengar berita santernya kasus terorisme yang kembali mencuat ke permukaan di awal tahun 2014. Kasus penangkapan yang menurut Densus 88 dan kepolisian sebagai terorisme di Ciputat berakhir dengan dramatis dengan ditembak mati-nya lima orang terduga teroris. Entah apa yang ada di benak para tim gegana tersebut, nyawa manusia semakin tidak dihargai dan ditembak mati tanpa sempat diadili..

Dan yang lebih membuat gregetan, terutama mengenai pelabelan kaum muslimin sebagai teroris. Kalau muslim yang tidak taat dan gemar bermaksiat, mungkin saya masih bisa terima, namun ketika yang diidentikkan sebagai teroris adalah mereka yang berjanggut tipis, jidat hitam, gemar sholat berjama’ah dan isterinya berjilbab lebar hingga bercadar, ini yang membuat miris dan hati sakit berkali-kali. Sebuah penyesatan opini yang akan mendorong semakin lemahnya keimanan seseorang dengan menjauhkannya dari ilmu dan amal Islami..

Terjadi berkali-kali dan selalu saja berulang kembali. Dulu salah satu stasiun TV swasta di negeri kita pernah mendapat kecaman dari para aktivis Rohis (rohani Islam) dan masyarakat Islam secara luas. Rohis adalah anak-anak pecinta mushola di kalangan usia SMP dan SMA. Stasiun TV tersebut menyatakan bahwa Rohis adalah tempat bermulanya teroris muda dididik, pendapat seperti ini kan menyesatkan, multitafsir dan rentan disalahartikan..

Kemudian, beberapa waktu kemarin, sewaktu makan di kantin kantor selepas sholat Isya’, sempat nonton acara DEBAT yang digelar oleh TV One. DEBAT ini menghadirkan Ustad dari JAT (Jamaah Anshory Tauhid) dan Pengacara Muslim versus mantan Anggota JI (Jamaah Islamiyah) dan Humas Kepolisian Republik Indonesia. Untungnya, DEBAT kali ini memang cukup berimbang dan tanpa tendensi timpang dari salah satu pihak..

Yang dipermasalahkan dari JAT dan Pengacara Muslim adalah terkait pelabelan terhadap pelaku teroris adalah selalu dari kalangan umat muslim yang taat dan rajin sholat berjamaah di masjid, kemudian yang kedua adalah terkait kecerobohan kepolisian untuk menembak mati terduga teroris dengan dalih mereka melakukan perlawanan. Hal ini dirasa oleh Pengacara Muslim sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dan lebih banyak dugaan konspirasi..

Di sisi lain, pihak Kepolisian mengemukakan bahwa mereka telah melaksanakan tugas sesuai prosedur dan semua bukti telah jelas. Sedangkan satu orang lagi yang mengaku sebagai mantan anggota JI mempermasalahkan buku karangan Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang berisi provokasi-provokasi untuk menolak Pancasila dan mengkafirkan pengikut paham Demokrasi. Narasumber tersebut juga mengungkapkan bahwa buku itu berbahaya bagi generasi muda yang emosinya tengah meluap-luap untuk menjalankan Islam secara kaffah..

Untuk aktivis yang telah paham akan pemikiran kaum pengikut SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme) akan menggeleng-gelengkan kepala atas penafsiran sepihak dari narasumber mantan JI tersebut. Kekhawatiran beliau begitu berlebihan dan mengada-ada sesuatu yang tidak semestinya demikian. Bahkan, pendapat beliau tersebut dibantah secara tidak langsung atas penjelasan dari MUI Pusat yang menerangkan bahwa substansi dari buku Ustad Abu tersebut tidak ada yang salah atau menyimpang dari khasanah pengetahuan Islam..

Hal menarik lainnya juga diungkapkan oleh salah satu pemerhati isu terorisme yang duduk di bangku penonton namun diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan berdialog langsung dengan para narasumber. Beliau dengan runtut dan jelas menerangkan terkait keganjalan terhadap tim Densus 88 yang menembak mati terduga teroris dengan alur yang dapat dikenali. Artinya, tokoh pemerhati terorisme ini mencium bau ketidakjujuran pihak BNPT dalam menjalankan tugasnya. Tentu, tanpa saya harus paparkan seluruhnya, pemerhati terorisme ini telah memegang data-data yang dapat dipertanggungjawabkan atas kasus terorisme yang diikutinya sejak tahun 2000 sampai sekarang..

Hal lain yang dikaburkan maknanya adalah tentang JIHAD. Orang yang mengartikan jihad sebagai perang dianggap sebagai muslim fundamentalis, seakan-akan opini masyarakat luas digiring untuk mengamini bahwa jihad dalam artian perang telah usai dan usang untuk dikemukakan. Mereka menganggap bahwa makna jihad itu luas dan diartikan sebagai “sungguh-sungguh”, dalam hal apapun. Memang tidak ada yang salah dengan pendapat tersebut. Namun yang menjadi titik pembeda adalah bahwa kaum SEPILIS tersebut memisahkan secara mutlak dari kehidupan, bahwa JIHAD dengan artian angkat senjata atau perang fi sabilillah sudah tidak ada lagi. Padahal, kita tidak bisa menutup mata, bahwa JIHAD di Palestina, Suriah, dan beberapa negara lain yang kondisinya serupa, JIHAD perang adalah suatu kewajiban..

Saya seorang aktivis Islam, saya gemar pergi ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah, juga gemar mengkaji Islam dalam lingkaran-lingkaran kecil maupun dalam bentuk tabligh, menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, senantiasa tilawah al Qur’an secara rutin disertai pembacaan hadist dari Rasulullah secara bertahap, di samping itu semua, saya memahami bahwa makna JIHAD tidak pernah bergeser dari makna aslinya. Bahwa ketika seorang muslim diperangi dengan senjata, maka wajib hukumnya untuk melakukan perlawanan dengan segenap harta, jiwa dan raga..

Lalu, apakah dengan pemahaman ini, kemudian saya dikatakan sebagai teroris? Sungguh sebuah penarikan kesimpulan secara sesat dan tidak logis. Dengan lantang dan tegas kukatakan pada dunia, bahwa “Aku BUKAN Teroris”..!!

Dan untuk para sekalian pembaca, saya anggap sebagai kaum terdidik dan rasional untuk secara matang dan proporsional dalam mengambil pandangan, sikap dan keputusan. Diskusi yang berisi tanya jawab saya rasa mampu menjadi solusi untuk menemukan jalan terang solusi, atau paling tidak ya berupa jawaban yang tidak bisa dijawab sendiri dengan asumsi-asumsi dan praduga semaunya sendiri..

Semoga tukar pendapat ini dapat mencerahkan, segala kata yang benar datangnya dari Allah, dan yang salah dari saya pribadi..

Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah

Kembang Janggut-Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
Jum’at sore, 08 Rabiul Awal 1435 H/10 Januari 2014 pukul 17.30 wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun