Kemarin sore, ketika membuka Facebook di menu event ada undangan Pentas Trilogi Sepatu dan Mahkota di Taman Budaya Yogyakarta dari Mas Fajar Suharno; langsung saya accept untuk join! Kangen dengan pentas teater! [caption id="attachment_187069" align="alignleft" width="240" caption="Fajar Suharno"][/caption] Mas Fajar Suharno, saya tidak kenal secara personal dengan beliau, pertama kali bertemu pada tahun 2007 ketika Mas Harno "ngendangi" latihan "reuni Teater Dynasti" untuk pagelaran peringatan 1 tahun gempa "Repertoar Gempa bukan Sembarang Gempa" di markas Kiai Kanjeng. Sepak terjang beliau di dunia teater, dan silat lebih banyak saya dengar dari cerita beberapa muridnya di PGB Bangau Putih yang saya kenal secara pribadi (Joko Kobong, IBK Yoga Atmadja). Baru kemarin sore saya merasa mengenal dan paham lebih jauh tentang beliau setelah kawan IBK Yoga Atmaja memberikan draft buku yang rencananya akan dipublish bersamaan pementasan Trilogi Mahkota dan Sepatu. Kiprah hidup Mas Harno dan dedikasinya di dunia teater, persilatan PGB Bangau Putih memang tidak bisa dipungkiri lagi, 45 tahun hidupnya telah menjadi saksi penting sejarah timbul tenggelamnya teater di Yogyakarta dan Indonesia. Terus terang, mungkin banyak kalangan muda atau kalangan se-usia Mas Harno yang berada diluar dunia teater dan persilatan PGB Bangau Putih tidak banyak mengenal lebih jauh siapakah Mas Harno, karena memang Mas Harno bukan seniman yang flamboyan dan bukan pesohor sebagaimana yang dikemukakan IBK Yoga Atmaja dalam pengantar bukunya. Tidak seperti Rendra atau yang lainnya yang memang flamboyan dan pesohor, padahal beliau termasuk angkatan awal di dunia Teater "modern". Pada tahun 1967, sudah ber teater dibawah bimbingan C. Bakdi Sumanto, tahun 1970 mulai ikut Bengkel Teater Rendra, dan sekaligus se-angkatan Rendra menjadi murid Subur Raharja di perguruan PGB Bangau Putih. Pada tahun 1977, setelah keluar dari Bengkel Teater, Mas Harno bersama RM Gadjah Abiyoso dan Tertib Suratmo kawan alumni Bengkel Teater yang ada di Jogjakarta membidani lahirnya group Teater Dinasti, bertiga "hangabehi" sebagai penulis naskah, sutradara, pemain dan mengurus tetek bengek Dinasti, bahkan juga masih memegang peran sebagai "keranjang sampah" sebagaimana ketika masih di Bengkel Teater. Jika melihat yang telah dihasilkan dan diperankan Mas Harno selama ini, dapat dikatakan Mas Harno termasuk seorang penulis sekaligus seniman yang produktif, puluhan karya dan penyutradaraan telah dilakoni sebagai tersebut dalam draft buku yang saya cantumkan dibawah ini: [caption id="attachment_187070" align="alignright" width="300" caption="Ketika Pentas"]
[/caption] Naskah dramanya meliputi: Dinasti Mataram (1977),Palagan Palagan (1977) Jendral Mas Galak, di tulis bersama Gajah Abiyoso (1978), Raden Gendrek Sapu Jagat, ditulis bersama Gajah Abiyoso (1979), Geger wong Ngoyak Macan, ditulis bersama Gajah Abiyoso (1979), Gambar (1983) dipentaskan Teater Gandrik. Kesandung (1984) dipentaskan Teater Gandrik, Sosok Diam Di Kandung Bobrok (1984), Patung Kekasih, ditulis bersama Emha Ainun Nadjib, Simon HT. (1985), Kidung Bawono Balik, ditulis bersama Gajah Abiyoso (1996). Karya penyutradaraaannya antara lain: Pengembara Dari Sorga,bersama Lingkaran Sastra & Budaya Mahasiswa Fakultas sastra UGM(1969), Dinasti Mataram,dipentaskan Teater Dinasti (1977), Palagan Palagan,dipentaskan Teater Dinasti (1977), Jendral Mas Galak, dipentaskan Teater Dinasti (1978). Raden Gendrik Sapu Jagad, dipentaskan Teater Dinasti (1980), Sosok Diam Di Kandung Macan, dipentaskan Teater Dinasti (1984), Patung Kekasih, dipentaskan HIMATEATER ISI Yogyakarta (1985), Griya Prabesh,dipentaskan Kelompok Keseratus (1990), Kota Kita, dipentaskan Kelompok Keseratus (1992) Kidung Bawono Balik,dipentaskan Lingkaran Teaterawan Yogya (1996), Masa Baru atau Duta Masa Depan, dipentaskan Gelar Budaya Rakyat (1996). Mas Harno juga adalah salah satu bidan kelahiran Teater Gandrik, salah satu group Teater yang saya sukai semenjak SMP, bahkan sampai sekarang saya masih ingat salah satu nukilan adegan Teater Gandrik yang disiarkan TVRI Nasional. Judul pementasannya sudah lupa, yang masih saya ingat adalah adegan yang berkonotasi "nakal", sebagai salah satu ciri khas "Gandrik"! sebuah adegan yang menggambarkan sepasang suami istri sepuh, sang suami membawa tongkat, dimana ujung tongkat satunya dipegang oleh istrinya yang mengekor dibelakang,.. ketika sang suami hampir jatuh, tertariklah tongkatnya ke depan tapi pegangan sang istri tidak lepas,..kemudian sang suami dengan tersenyum mengatakan,.."Bune-Bune,..ternyata daya cengkeramanmu masih kuat,..... Imagi "nakal", penuh dengan kritik sosial dan penentangan atas ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa dan atau tragedi kemanusiaan selalui mewarnai benang merah tema-tema naskah, dengan gaya penyutradaraan yang masih sangat kental dengan gaya teater tradisional Jawa, khususnya Mentaraman. Menurut pengamatan saya, unsur, ketoprak, wayang orang selalu masih kelihatan, bahkan dialog gaya Basio banyak muncul,..gaya "nylekete" se-enaknya. Gaya bertutur kata Basio tampaknya sampai sekarangpun masih disuka banyak orang, jika tidak salah pengamatan saya Monolog Butet dan atau bahkan stand-up komedi yang sedang trend di TV saat ini, yang dianggap berasal dan berakar dari luar, sesungguhnya di tanah airpun sudah ada dan berkembang sejak dulu, dengan Maestro sepanjang jaman Basio. Mungkin, pada tanggal 15 Juni 2019, besok kita akan melihat dan mendengar dari salah satu Trilogi Sepatu dan Mahkota akan dibawakan secara "stand-up komedi" Jawa ala Fajar Suharno. Pada tahun 2007, pada saat saya didapuk ngurusi manajemen pementasan "Repertoar Gempa Bukan Sembarang GEMPA", saya sempat mengamati dan berinteraksi tanpa suara dengan Mas Harno, ketika beliuanya ngendangi latihan yang dilakoni oleh beberapa mantan murid dan anggota Dinasti di markas Kiai Kanjeng. Diam, menyimak, hanya mata yang bergerak mengamati semua gerak, dan mendengarkan semua dialog, hanya bersuara ketika evaluasi latihan. Semua diam, mencerna apa yang dikatakan, evaluasi seorang guru kepada mantan murid-muridnya di Teater Dinasti. [caption id="attachment_187071" align="alignleft" width="300" caption="PGB Bangau Putih"]
[/caption] Silat dan sastra saling membuka katub-katub keilmuan yang sulit dijangkau oleh orang yang hanya menekuni silat saja atau sastra ansih. Dengan sastra, seseorang akan semakin maju silatnya, demikian juga dengan silat, potensi seorang sastrawan akan terbuka lebar dalam menemukan wilayah kajian yang lebih mendalam yang sulit dijangkau. Pertemuan dengan Rendra dan selanjutnya pertemuan mereka dengan suhu Subur Raharja Bangau Putih ketika masa muda tampaknya sangat membekas, filsafat dan gerak dari Silat Bangau Putih tampaknya juga telah menjadi jalan hidupnya untuk membuka lebar khasanah ke-teateran dan pikirannya lebih jauh sebagai sikap hidup untuk menjalani kesetiannya sebagai seniman & pendekar selama 45 tahun ini. Jika boleh saya memahami Mas Harno dengan berbekal minim sentuhan langsung hanya berbekal dari cerita; pemahaman sedikit saya tentang filsafat Bangau Putih ketika berdiskusi sejenak dengan Kakak Guru Besar PGB Bangau Putih (Irwan Raharja); dan draft buku yang baru saja saya baca kemarin sore, tampaknya memang Mas Harno benar-benar melakukan dan menjalani ber-teater dan berkesenian menggunakan filsafat sang guru silatnya di Bangau Putih, sebagaimana syair yang dibuat oleh Sang Guru Subur Raharja yang dinyanyikan oleh Iwan Fals berikut ini:
Suhu Kekerasan ada batasnya Keluwesan tak ada batasnya Tak ada kuda-kuda yang tak bisa dijatuhkan Karena itu geseran lebih utama Keunggulan geseran terletak pada keseimbangan Rahasia keseimbangan adalah kewajaran Wajar itu kosong Membentur dapat diukur Menempel sukar dikira Mundur satu langkah maju ke delapan penjuru Kosong dan isi bergantian Menuruti keadaan Lebih jauh lagi, jika diperbolehkan melihat (semoga tidak salah). Mas Harno tampaknya bukan hanya berhenti menggunakan "keseimbangan" sebagai gerak hidupnya sehari-hari, tapi sudah jauh berkembang bukan hanya "keseimbangan" tetapi menjadi "kesetimbangan" ketika telah menjadi laku hidup . Sebagai bahasa, banyak orang belum bisa membedakan "kesimbangan" dan "kesetimbangan", jika anda memiliki latar belakang fisika/kimia tentu anda paham bedanya.
Kesetimbangan adalah suatu keadaan dimana dua buah keadaan mengalami kesamaan dalam besaran, namun bisa berbeda wujud maupun jenisnya. Contoh, jumlah energi baik di ruas kiri maupun ruas kanan sama besarnya, misalnya baik ruas kiri maupun ruas kanan sama-sama bernilai 1000 Joule, namun berbeda jenis, ruas kiri energi kalor sedangkan ruas kanan energi kinetik. Sementara
keseimbangan adalah suatu keadaan di mana dua buah keadaan mengalami kesamaan dalam hal besaran, wujud maupun jenis. Contoh, suatu timbangan berisi dua buah sistem, sistem tersebut dikatakan seimbang apabila ruas kiri dan kanan memiliki jumlah besaran yang sama serta jenis bendanya sama, misalnya telur ayam memiliki besaran yang sama yaitu 2 kg, baik ruas kiri maupun ruas kanan.
KESETIMBANGAN sebagai KELUWESAN LAKU HIDUPNYA! Selamat Mas Fajar Suharno, semoga pentas Trilogi Sepatu dan Mahkota sukses! Mangga kanca-kanca pada tanggal 15-16 Juni 2012 semua hadir di Societet Taman Budaya Yogyakarta! Salam, Joeni Hartanto Bahan bacaan& Foto: Draft Buku Sepatu dan Mahkota; 65 Tahun Fajar Suharno (AP Sujito & Ikun Sri Kuncoro)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya