Mohon tunggu...
Joeni Hartanto
Joeni Hartanto Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja Bebas,sementara ini tinggal di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Menitik rangkaian kesadaran untuk kembali saling berkesadaran dan ber-laku atas fungsi, posisi, tugas dalam kesetimbangan dan harmoni sesama titah mahkluk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rokok, dan Indikator Kebugaran

20 November 2011   05:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_144651" align="alignleft" width="256" caption="Obama berhenti merokok, karena Anak dan Istri. Itu Haknya."][/caption] Semenjak dua minggu lalu, saya sebenarnya sudah merasakan penurunan kondisi fisik dan psikis. Salah satu indikator penurunan fisik yang saya percaya dan selama ini memang terbukti kebenarannya pada diri saya adalah dimana saya sudah tidak merasakan enaknya merokok, tetapi tetap memaksa untuk merokok karena kondisi psikis yang juga sedang tidak sehat. Jika dalam keadaan normal dan bugar, satu batang rokok bisa saya hisap sampai pangkal filternya, dan merokok jika butuh. Dua minggu ini saya hanya mampu 3-5 hisapan sudah saya matikan, berhenti sejenak, mengambil rokok lagi meskipun tahu pasti hanya 1/3 batang yang akan habis terhisap.

Saya yakin dan pasti akan dibilang “goblog” oleh orang-orang yang tidak merokok atau anti rokok/tembakau,..bahkan hampir pasti mereka akan mengatakan gunakan momment itu untuk berhenti merokok! Apakah kamu ingin mati gara-gara rokok! Dan juga “serapah” lainnya yang selalu dengan kata-kata perumpamaan yang menakutkan.

Orang ndak waras,..rokok malah digunakan sebagai indikator kebugaran fisik dan psikis! Ndak logis! Kemplu!

Logis dan tidak logis biasanya memang diukur secara obyektif menurut penguasaan nalar ilmu pengetahuan. Tetapi sebenarnya dibalik obyektifitasnya, tersimpan subyektifitas yang tergantung dari penguasaan nalar keilmuan dan wawasan penguasan keilmuan yang dikuasai seorang ilmuwan, dokter, dukun, orang awan dan lain sebagainya. Contoh sederhana dari obyektifitas subyektif misalnya: Listrik, TV, Radio, Internet bagi anda yang bisa membaca tulisan ini tentu akan mengatakan bukan hal yang logis alias “ghoib” tetapi sesuatu yang logis, nyata, ada dan tidak menakutkan karena memang anda sudah tahu cara kerja dan proses bagaimana listrik bisa menyalakan lampu, TV, Radio, Internet dan juga bagaimana alat-alat tersebut bisa bergambar, berbunyi dan lain sebaginya. Menjadi nyata dan logis atau tidak “ghoib” lagi karena anda tahu dan paham bagaimana prosesnya karena penguasaan pengetahuan anda.

Jika anda tidak paham bagaimana proses dan keilmuannya, tentu anda akan terheran-heran bagaimana lampu bisa menyala tanpa api dan minyak,..bagaimana TV bisa ada orang di dalamnya dan bersuara, padahal tidak ada orang didalam TV dan tidak mungkin orang bisa hidup didalamnya. Pasti anda akan mengatak Listrik, TV itu hal yang tidak logis atau “Ghoib” dan mungkin menakutkan bagi anda sebagaimana ketika Nixau dalam God Must be Crazy I kejatuhan botol coca-cola dan menganggap sebagai dewa dan harus dikembalikan ke ujung dunia. Jika anda yang kejatuhan botol coca-cola, pasti anda akan berteriak,..Amerika sialan! sudah menangguk banyak untung dari produksi minumannya, masih buang botolnya se-enaknya! Atau,..alhamdulillah dapat botol,..bisa dijual!

[caption id="attachment_144652" align="alignright" width="300" caption="Perang Dagang Tembakau-Produksi Rokok"][/caption] Jadi,...logis, tidak logis atau “ghoib” dan tidak “ghoib” seringkali sebenarnya hanyalah “label” perbedaan pemahaman atas suatu hal karena perbedaan/keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan yang terkuasai.  Sama dengan hantu atau setan,..meskipun sudah jelas didalam kitab disebutkan memang ada dan nyata,..dan banyak orang mempercayainya, tetapi tetap masih dalam tataran ghoib bagi mereka yang tidak bisa melihatnya, meskipun sebenarnya tingkatannya sama dengan listrik di kehidupan kita. Hanya bisa “merasakan” gejalanya/akibatnya tanpa bisa melihat listrik itu wujudnya seperti apa.

Artinya,..tidak logis atau “ghoib” itu tidak selalu tidak logis atau tidak “ghoib” tergantung obyektifitas subyektifnya, atau penilaian obyektif yang didasarkan subyektifitas yang melakukan penilaian. Ukuran subyektifitasnya adalah penguasaan wawasan keilmuan, pemahaman proses keilmuan yang melakukan penilaian, atau dalam dunia modern saat ini dinamakan kredibilitas dari si penilai, peneliti atau yang melakukan judgment. Anda tentu ingat tentang postulat mekanika klasik dan mekanika kuantum, kelihatan berlawanan, tetapi sebenarnya semua postulat itu “logis” pada kondisi dan posisi masing-masing.

Disamping itu semua, suatu hal yang perlu disadari oleh kita semua, realitas ilmu pengetahuan dan realitas kenyataan tidak selalu sama. Dua realitas tersebut dalam dunia pengetahuan manusia dijembatani oleh ilmu statistik. Keilmuan yang berusaha menunjukan indikator ligitimasi  apakah realitas ilmu pengetahuan mendekati realitas kenyataan yang sebenarnya, dan memang pasti selalu berbeda dengan kenyataannya (apalagi dalam kenyataan tidak ada namanya rerata), prosentase perbedaanya bisa ditunjukan dari galat statistiknya. Dengan dasar pengetahuannya, pemahaman galat statistikpun bisa berbeda sesuai konteknya. Di dalam kenyataan kehidupan,..galat statistik saya gunakan sebagai katup pengaman atas apa yang saya lakukan, bukan alat legitimasi,..he3x

Anda masih terus membaca tulisan ini? Memang anda segila saya.

Dalam kontek manusia, obyektifitas itu subyektif tergantung penguasaan keilmuan, proses dan wawasan yang dikuasainya kecuali obyektifitas alam dan penciptaNYA. Lebih lanjut lagi tidak ada kebenaran yang mutlak dalam pikiran manusia, dan jika saya merasa pikiran dalam tulisan diatas saya anggap  paling benar pada saat ini juga pikiran saya salah.

[caption id="attachment_144653" align="alignleft" width="300" caption="60 Trilyun Pajak, dari industri tembakau"][/caption] Saya hanya ingin mengatakan, saat ini saya merasakan obyektifitas subyektif saya sejalan dengan kenyataan yang saya alami,..rokok bisa menjadi indikator kebugaran fisik dan psikis saya! Sangat berlainan dengan perang tembakau, anti rokok yang saat ini ramai dibicarakan. Pertempurannya bukan lagi pada obyektifitas subyektif, karena sebenarnya jelas obyektif dan subyektifnyapun berbeda! Obyektif kesehatan dan perang dagang tembakau/produksi rokok dicampur-adukan, lebih parah lagi subyektifitasnya bukan hanya penguasaan pengetahuan tetapi lebih pada pertarungan kepentingan penguasaan aset ekonomi dan modal.

Ini perang dagang Mbak/Bung,..bukan masalah kesehatan lagi!

Alhamdulillah sudah bisa merokok dengan enak dan bisa menulis!

Gazebo, 20 November 2011

JH

Sumber Foto: Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun