Mohon tunggu...
Minar Juang
Minar Juang Mohon Tunggu... -

Be cool, wise n strong

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perasaan Kami Unlimited

22 Januari 2015   12:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:37 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama aku mengenalnya. Kami sering bersama, kami bersahabat. Tetapi dia tidak pernah tau aku sangat menyayanginya lebih dari sahabat. Dia hanya tahu aku sayang sebagai teman atau saudara. "Iya aku tahu kamu sayang sama aku, mejanggaku sebagai adikmu dan aku senang punya kakak sepertimu" itulah kata-kata nya yang selalu ku jaga hingga saat ini. Tepatnya sudah lima tahun aku menyimpan perasaan yang sesungguhnya. Aku tau dengan siapa ia berusaha menjalin hubungan. Di kala perasaannya sedih ia selalu datang padaku. Aku tidak pernah tega melihatnya menangis. Cintanya terhadap seseorang itu begitu tulus, padahal aku tahu perasaannya itu tidak pernah terbalas. Satu kali dia datang dengan segala kekesalanya, "aku capek seperti ini terus, dia tidak pernah seserius aku" keluhnya kepadaku. Lalu aku bertanya " seperti apa yang kamu cari, tidakkah kamu tahu bahwa ada orang yang sangat setia menunggumu, kenapa kamu tidak bisa belajar mencintainya?". Dia memandangiku lama sekali. Aku tidak tahan melihat tatapannya itu. " aku ingin perasaan itu datang bukan belajar!" ketus nadanya dan pergi meninggalkanku. Hal seperti itu sering terjadi, berdebat, kesal, marah lalu baik lagi. Dalam banyak hal dia sering berbagi cerita denganku. Terkadang aku ingin pergi dari kenyataan ini, aku ingin tahu apa dia merasa kehilanganku. Tetapi aku salah, dia tetap biasa saja, jika aku tidak ada juga di carinya, jika telponnya ku abaikan juga marah. Ini menyiksaku. Kerinduanku tak pernah tersampaikan.  Yang membuatku bertahan adalah karena aku benar-benar menyayanginya. Hingga pada saat ia jatuh sakit, aku utarakan niatku untuk menjaga dan merawatnya menjalani kehidupan beraama. Dia menolakku, jelas tersirat dalam kata-katanya itu. "Aku tidak ingin merusak yang sudah ada, ini akan berbeda, aku selalu menganggapmu bagian dari keluargaku". Perih rasanya mendengar itu. Tapi itu kenyataan yang harus ku  terima. Aku pun bertanya "Siapa kah dia yang sangat kamu harapkan itu?". Diapun menangis, memelukku sangat erat, dia tumpahkan segala kegelisahan hatinya itu. Dia ceritakan semua yang menjadi ganjaan hatinya.Dan selama itu juga mereka telah menjain komunikasi yang intensif. Aku semakin trenyuh melihatnya, karena aku tahu betul pria itu sudah bertunangan. Selama ini aku memilih diam karena aku takut dikira mau ambil bagian dari masalah ini. Aku semakin sedih melihat kenyataan itu. Kenapa bisa kami memiliki perasaan yang sedemikian itu? Kenapa perasaan kami masing-masing tidak terjawab? Kenapa juga kami tidak berusaha menghentikan perasaan itu, justru kami semakin memupuk perasaan itu karena rasa kagum dan rasa sayang yang begitu besarnya. "Kenapa aku mencintainya dan kamu mencintaiku?, kenapa bukan kita berdua yang sama-sama merasakan itu?". Tidak pernah disangka tangisan dalam pelukanku itu menjadi tangisan terakhir. Dia berhasil membawa perasaannya hingga nafas terakhirnya, dan aku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun