Mohon tunggu...
Rainer Jeftanatha Benardhy
Rainer Jeftanatha Benardhy Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transportasi Umum pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia

9 Maret 2023   19:54 Diperbarui: 9 Maret 2023   20:02 2390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah terlintas di benakmu suatu pemikiran bahwa ada kemajuan sebagai hasil dari suatu penjajahan? Nyatanya, hal demikian memang benar apa adanya. Salah satunya terjadi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1942-1945. Sebagian besar dari kita memahami bahwa masa penjajahan Jepang di Indonesia telah meninggalkan kenangan buruk dan kesengsaraan di benak rakyat Indonesia. Di sisi lain, Jepang telah meninggalkan pembangunan di sektor transportasi yang dampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Dalam artikel ini, kita akan bersama-sama mempelajari apa saja pembangunan di sektor transportasi yang dilakukan Jepang pada masa penjajahannya di Indonesia.

Jepang pada masa penjajahannya di Indonesia mengandalkan dua jenis transportasi, yaitu transportasi darat dan air. Transportasi darat yang digunakan antara lain kereta api dan truk, sedangkan untuk transportasi air adalah kapal-kapal kecil dari kayu sederhana yang diperuntukkan untuk transportasi di sungai-sungai besar. Pada masa itu, kereta api adalah jenis transportasi yang paling dominan karena sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda. Pembangunan transportasi umum ini mayoritas bertujuan untuk distribusi hasil bumi seperti beras dan gula, dan kepentingan militer Jepang seperti minyak bumi dan batu bara untuk bahan bakar kereta api dan alat perang mereka. Sistem transportasi air Jepang di Indonesia tidak berpengaruh sebesar sistem transportasi daratnya karena hanya berfungsi untuk meningkatkan intensitas transportasi.

Pada masa itu, Jepang mengalami kelangkaan bahan bakar. Oleh karena itu, untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar, pemerintah Jepang mendirikan tambang batu bara di Bayah (daerah pantai utara Banten). Mereka mematok target produksi tiga juta ton batu bara untuk proyek ini karena mereka sangat membutuhkan banyak bahan bakar untuk kereta mereka. Lalu, Jepang bermaksud untuk membangun jalur kereta api baru yang menghubungkan wilayah ini dengan jalur kereta api yang sudah ada. Proyek jalur kereta api baru ini diperkirakan membentang sepanjang 100 kilometer yang menghubungkan Saketi dan Bayah. Tujuan pembangunan jalur kereta api baru ini adalah untuk memudahkan pengangkutan hasil tambang batu bara ke daerah lain sesuai kehendak pemerintah Jepang. Akan tetapi, proyek ini sangat berat karena harus diselesaikan dalam waktu singkat. Hasilnya, proyek ini banyak menggunakan tenaga romusha. Rata-rata romusha yang dipekerjakan setiap hari berjumlah 25.000-50.000 orang. Jumlah keseluruhannya mencapai 120.000 orang pada April 1944. Sementara itu, sekitar 15.000 romusha dipekerjakan di tambang Bayah itu sendiri, dan dari mereka, 400-500 orang meninggal setiap harinya akibat proyek ini. Sayangnya, produksi batu bara Bayah jauh di bawah ekspektasi. Kondisi semakin memburuk karena rel kereta api yang dibangun di daerah tersebut rusak setelah perang. Untuk meningkatkan intensitas transportasi yang mengalami gangguan parah, pemerintah Jepang menerapkan penggunaan perahu kayu kecil. Moda transportasi ini dimaksudkan untuk transportasi air.

Jepang terlihat sangat ambisius dalam hal kemajuan transportasi. Keseriusan Jepang dalam hal ini terbukti melalui banyaknya reformasi yang dilakukan, dan secara bersamaan menghabiskan banyak tenaga, sumber daya, dan biaya. Namun, pada akhirnya hasil dari ambisi Jepang tersebut sangat tidak efektif karena semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa dan secara paksa menggunakan banyak tenaga kerja dari penduduk setempat. Apalagi, sistem transportasi umum yang dibangun Jepang di Indonesia pada masa penjajahan tidak terpelihara bahkan sudah terbengkalai selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini tentu tidak sebanding dengan penderitaan rakyat Indonesia yang telah menjadi tenaga romusha dalam membangun dan mengoperasikan sistem tersebut. Jadi, pembangunan Jepang di sektor transportasi, baik transportasi darat maupun air, adalah sebuah kenyataan yang ironis dan memilukan bagi bangsa Indonesia.

Referensi:

Amandasani. (2011, October 4). Transportasi dan Perputaran Hasil Bumi (Jaman Penjajahan Jepang di Indonesia). Mandawibisono. https://mandawibisono.wordpress.com/2011/10/04/transportasi-dan-perputaran-hasil-bumi-jaman-penjajahan-jepang-di-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun