Mohon tunggu...
Joel Alta
Joel Alta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cantik bukan untuk dipuji; Jelek bukan untuk di hina; Miskin bukan untuk di caci; Kaya bukan untuk di bangga; Kita disini: jitucell.com // habatekno.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelangi setelah Hujan

17 September 2014   03:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Hari hampir hujan, awan pekat tampak menyelimuti langit, orang-orang mulai sibuk sendiri; dari mengangkat jemuran, memanggil bocah-bocah mereka untuk pulang, hingga mengandangkan ayam-ayam agar tidak lagi berkeliaran. Terlihat juga domba dan kambing yang sedu-sedan saat gemiris mulai berjatuhan, sibuk mencari perlindungan agar bulunya tidak basah kena hujan.

Jalanan tampak lengang, rintik hujan mulai lebat. Tali-temali air kian kencang menghentak daratan, menghujam dedaunan hingga tengkurap berbalik arah; atas ke bawah, bawah ke atas. Pada sudut-sudut atap rumah, air bercucuran, penuh ember tempat penampungan. Air terlihat merah kecoklatan. Hujan pertama setelah setahun dilanda kekeringan.

Bapak berpesan agar tidak bermain hujan jika itu adalah hujan pertama setelah sekian lama tidak hujan, bisa timbul penyakit. Entah darimana Bapak dapat pengetahuan begitu. Walau demikian kami tidak berani melanggarkan. Kami segan sama Bapak, selalu mematuhi kata-katanya. Jangankan kami anaknya, orang sekampung-pun tidak berani melanggar jika Bapak sudah berucap batasan-batasan.

Dua jam sudah hujan mengairi sawah, ladang, pekarangan, rerumputan, ilalang hingga ternak-ternak kami, hingga terpuas dahaganya. Kering setahun hilang dengan hujan walau baru sebentar. Tanah menggeliat menyerap banyak sisa-sisa hujan, seakan menyimpannya sebagai cadangan siapa tau hujan seharian sepanjang tahun kemudian kemarau yang tak berkesudahan; semoga saja tidak. Sayang tempat bercocok tanam kami telah lama jadi pengangguran, persawahan tidak ada kegiatan yang menguntungkan, selain anak-anak yang berleha-leha dengan bola sepak tanpa penjaga gawang.

Bapak tampak sibuk mengairi air agar tidak tergenang di pinggiran rumah. Bapak membuat semacam drainase mini agar air turun ke persawahan. Ibuk yang dari tadi tidak kelihatan ternyata lagi didapur menyiapkan makan malam. Diluar gerimis belum juga reda, masih saja terdengar dari atap rumah kami yang terbuat dari seng, tidak teralu lebat, tapi cukup membuat badan terasa kedinginan.

Jam tidurpun dipercepat, dingin menyungsup ke sum-sum tulang membuat badan menggigil tak karuan, bagai tinggal dipegunungan. Malam kian sunyi, semua mati suri. Jangkrik tidak bergeming hanya ada kodok terdengar ngorok girang bukan kepalang.

***

Lama mata terpejam, aku mendapati diri di tenda darurat pengungsian dengan selang infus ditangan dan kedua kaki terperban. Apa yang terjadi pikirku. Kepala terasa pusing pikiran begitu hening. Lamat-lamat aku membuka mata seakan bumi hentak bergoyang. Kemudian seorang perempuan berbaju putih masuk, berdiri pas disamping ranjang aku dibaringkan.

Senyumnya tersungging mendapatiku telah membuka mata, dia memeriksa tekanan jantungku, menyenter kedalam bola mataku, dan menyuntik cairan ke dalam botol infus yang selangnya tembus ke rongga nadiku.

Tidak berkata apa-apa dan aku tidak menanyakan apa-apa. Aku hanya melihat laku dan gerak-geriknya saja. Padahal ingin sekali berucap dan bertanya apa yang terjadi, saat kucoba dada terasa sakit dan suara enggan keluar. Sungguh sangat tersiksa.

"Dik telah sadar rupanya" perempuan itu berucap. Terus kucoba menyahutinya, tetap tidak bisa. Aku tergagap-gagap. " Jangan dipaksakan dik, nanti akan normal kembali. Hanya butuh waktu dan perawatan beberapa hari lagi saja". Suaranya begitu merdu dengan lakunya yang anggun.

"Jum'at malam kemarin, air bah datang. Akibat hujan semalaman, debit air naik dan sungai tidak bisa menampungnya lagi. Air tumpah ruah kepedesaan. Menghanyutkan apa saja, membawa semuanya ke kuala, semua tidak tersisa. Kamu ditemukan warga sekitar-aliran sungai tersangkut di dahan jati, dan mereka membawamu kemari, bersama beberapa orang yang berhasil diselamatkan" dia bercerita panjang lebar.

Air mata tak terasa mengalir membasahi wajah. Pikiran mulai menerawang, bagaimana Bapak, bagaimana Ibuk, bagaimana Shela, bagaimana Qadar. Aku sesunggukan, nangis tersedu-sedu.

Perempuan itu membasuh mukaku dengan air, terasa hangat. Mengelap pipiku, menggosok-gosok lembut di kepalaku, dan memegang erat tanganku, merebahkan wajahnya dan berbisik di telingaku "Sabar dik, ini cobaan bukan musibah. Kita orang mukmin jangan menganggapnya musibah, Iman kita sedang diuji. Semua akan sembuh, semua akan pulih, semua akan seperti sedia kala. Badai akan pergi, pahala dan rezeki akan kita dapati". Aku mengangguknya pelan. Kemudian dia minta diri, aku kembali sendiri.

***

Sebulan berlalu, aku sudah bisa bicara, kaki sudah bisa digerakkan. Aku mulai tertatih. Berjalan menggunakan alat bantu seperti kursi, punya empat kaki, terbuat dari besi putih dan tidak kuketahui namanya. Biasanya aku lihat di senetron-senetron. Buk Mela terlihat cantik hari ini. Dia mengunjungiku, tidak dengan berpakaian putih-putih, hari ini dia berbusana persis seperti Dian Pelangi, dan mereka hampir mirip seperti kakak adik. "Dik Lisa sudah bisa berjalan ya?" Sapa pertamanya padaku dan dengan senyum khasnya.

Kami berbincang-bincang di teras depan Rumah Sakit Pelita Hati. Iya; Aku sekarang menjalani pemulihan dirumah sakit ini. 15 hari sudah aku dirawat disini. Karena di Kecamatan kami sudah tidak sanggup menangani maka dirujuklah kemari. Disini aku hampir tiap hari ditemani Bu Mela, selain seorang dokter muda perempuan anggun itu juga merangkap Psikiater. Pandai, cantik, dan sangat berwibawa.

Setelah bisa menerima dan berbesar hati atas kepergian Bapak, Ibuk, Shela, dan Qadar yang baru genap berusia 5 tahun - aku adalah yang tertua, Shela umurnya 11 tahun, dan kami hanya terpaut 3 tahun. Aku mulai menjalani rutinitas hari-hari yang kadangkala sedikit membosankan. Makan-tidur-latihan berjalan, hampir itu-itu saja. Sesekali kusibukkan diri dengan membaca-apa saja, biasanya koran bekas yang kutemukan dipos satpam dekat loket pengambilan obat. Hampir seluruh pekarangan Rumah Sakit ini ku jelajahi walau tertatih-tatih.

Sesekali teringat Bapak, Ibuk, Adik-adik selalu air mata tidak dapat ku bendungi. Bapak pernah berucap "hujan sehari dahaga sepanjang tahun tidak akan terasa lagi" tapi hari ini dan mungkin kedepannya mulai berbalik "hujan sehari, dahaga kasih sayang seumur hidup harus ku tangisi".

Karenanya sekarang aku mulai membenci hujan tapi mengharapkan pelangi setelahnya, berharap pelangi membawa Bapak, Ibu, adik-adik bersama bidadari yang hendak turun mandi ke bumi.

Dulu, sewaktu kecil saat masih berseragam TK Bu Guru pernah bercerita pada kami, bahwa pelangi itu Bidadari yang sedang mandi di bumi. Membawa sertanya orang-orang pilihan yang berbudi luhur. Keluargaku pasti selalu serta mereka, pikirku seketika.




"Pelangi Setelah Hujan"

Tengah malam sepulang dari lembur kerja.
Bireuen, 16 Sep 14.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun