Polemik dekadensi moral remaja seakan tidak pernah habis dibahas, selesai satu masalah timbul masalah lain yang tak kalah mencengangkan. Seolah remaja sekarang adalah sumber dari segala masalah. Tak perlu memandang jauh, perhatikan saja problema remaja yang terjadi disekitar kita saat ini.
Secara kasat mata, siapapun tidak akan menafikan hal itu.Tetapi betapa sangat disayangkan generasi yang seharusnya dididik dengan baik, mereka yang akan memegang peranan suatu saat nanti, telah rusak dari sekarang. Apa jadinya sebuah bangsa jika pemuda-pemudinya hanya bisa mabuk-mabukan dan hilang kendali dari keagungan moral yang seharusnya dilindungi dan diselamatkan keutuhannya?
Siapa yang sepatutnya disalahkan? Mari sama-sama berasumsi. Tapi satu hal, jangan dulu gegabah menyalahkan remaja kita atas tindak-tanduknya di zaman modernisasi ini. Terus siapa? Beri feedback pada diri sendiri.
Orang tua adalah keran pertama remaja yang harus kita selidiki. Sejauh mana filtrasi orang tua dirumah terhadap pola pergaulan remaja diluar. Adakah saling komunikasi? Atau miscomunication sehingga menyembabkan remaja kita terjerembab pada budaya westernisasi tanpa filter yang mumpuni.
Peran orang tua sangat diperlukan, dan merupakan hal pertama yang yang dikonsumsi remaja saat membuka mata di pagi hari. Kiranya perlu peranan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan moral remaja saat ini.
Tanggung jawab orang tua bukan hanya sebatas memberi remajanya makan, tempat tinggal, atau kebutuhan lahiriah saja. Tetapi jauh dari itu, nilai-nilai spritual perlu ditanam agar mendarah daging dalam dirinya dan dalam pergaulannya sehari-hari. Nilai-nilai spritual inilah yang akan menghalau remaja dari kebablakan pergaulan bebas dewasa ini. Tanpa modal dasar spritual, rasanya akan sulit mengajak remaja untuk berdamai dengan zaman yang menyeretnya untuk terus berpartisipasi dalam belenggu pergaulan bebas masa kini.
Kita tidak perlu mengelak, anda sebagai orang tua, saya, dan kita semua dapat melihat realita yang terjadi sekarang ini. Hura-hura ala remaja, malam mingguan yang sangat diminati, konsumsi obat-obatan terlarang, kebebasan yang menyebabkan tak kenal sopan-santun, bahkan freesex sebagai implementasi liberalisme yang sangat kita takuti telah menjalar dalam kehidupan remaja kita saat ini. Inilah hal yang perlu kita tangisi, mengingat remaja-remaja kita yang tak punya harga diri (lagi).
Setelah orang tua, kita beranjak pada lingkungan. Lingkungan ini luas, didalamnya mencakup pendidikan, baik formal maupun nonformal, baru kemudian lingkungan bergaulnya.
Sekolah dan rumah harus ada saling keterkaitan. Keterkaitan itu misalnya, harus ada kerja sama yang baik antara orang tua dirumah dengan orang tua asuh disekolah. Pada kerja sama ini, saling menguatkan, saling memberi kabar, dan saling keterbukaan informasi sangatlah dibutuhkan. Istilahnya, orang tua dirumah jangan lepas tangan setelah anaknya berangkat ke sekolah, begitupun guru di sekolah jangan lepas tanggung jawab setelah muridnya keluar dari pekarangan sekolah. Hal tersebut merupakan tanggung jawab sebenarnya bagi orang tua, dan guru sebagai pendidik untuk mengawasi tingkah laku remaja sehari-hari.
Disamping itu, orang tua dan guru harus bisa menampilkan citra yang baik. Contohnya begini, jika orang tua melarang anak untuk tidak merokok, maka orang tua-pun harus bersinergi dengan aturan yang ditetapkannya itu, tidak boleh merokok juga. Jika guru menerapkan pola disiplin di sekolah, maka guru-pun harus bisa memberi contoh yang baik bagaimana seharusnya berdisiplin. Jangan lain di mulut, lain pula pada tindakan.
Proses penempaan remaja pada tahapan setelah rumah ini, remaja juga harus diberi asupan gizi yang baik untuk pertumbuhan jati diri, karena pada lingkungan inilah remaja mulai mengenal interaksi sosial yang bukan tidak mungkin bisa menyeretnya pada tindakan-tindakan asusila.
Masa remaja merupakan masa pancaroba, masa dimana anak mengawali kiprah pendewasaan. Pada masa ini, masa pencarian jati diri yang kerap salah arah, remaja cenderung menghalalkan segala cara agar diakui dalam kelompoknya. Ini adalah usia paling rentan, masa dimana rasa penasaran pada beragam hal sebegitu membuncah, sehingga membuat remaja senantiasa mencari jawaban dari apa yang membuatnya penasaran.
Pada masa ini pula, ketertarikan pada lawan jenis mulai bermunculan, rasa yang tidak terbendung (boleh jadi karena spritualnya minim) harus terjadi dengan aktifitas nyata demi mengungkapkan kasih sayang dan pengakuan 'status'.
Pacaran menjadi hal yang sangat lumrah dimana didalamnya dibumbui oleh kontak antar pasangan, mulai dari berpegangan tangan, rangkulan, pelukan, cipika-cipiki, hingga ciuman di bibir sekalipun. Tidak sampai disitu, ada juga yang berakhir dengan getir dimana bisa membuat malu keluarga, dikeluarkan dari sekolah karena hamil pada masa yang belum lumrah, apalagi di luar nikah.
Pengenalan lingkungan yang baik, pembelajaran yang tepat sasaran, pengawasan yang bijak adalah langkah bagus untuk mendapati remaja yang siap memikul beban bangsa di masa depan. Sekolah dan rumah harus sinergi, kemudian lingkungan bergaulnya-pun diberi proteksi. Minimalisir keruwetan moral ini sedini mungkin, atau kita akan menyesal sepanjang masa.
Sejatinya ide tulisan ini muncul ketika saya membuka dan membaca aceh.tribunnews.com kemaren hari (19/10), sungguh saya tercengang melihat kolom berita populer di website Serambi itu yang judul beritanya begini, "Sekitar 46 Persen Remaja Sudah Melakukan Seks Bebas di luar Nikah". Sebuah ironi atau parah lagi, ini adalah sebuah aib bagi bangsa kita yang gebyar spritualnya begitu diagungkan. Bangsa kita telah jauh tertinggal dari budaya dan norma ketimuran, dan condong pada budaya kebaratan. Kapan kondisi ini akan pulih?
Temuan ini turut memperparah dekadensi moral yang dalami remaja kita. Sekali lagi, jangan salahkan remaja, karena kewajiban orang tua-lah mendidik anak untuk taat beragama, taat berbangsa dan taat berbudaya. Kita tidak mungkin meletakkan tanggung jawab pada orang lain untuk kebaikan remaja kita sendiri. Mari saling menjaga, saling mengayomi agar keutuhan agama, adat, istiadat, dan budaya kita tetap lestari di persada pertiwi ini. Mari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H