Mohon tunggu...
Jefferson Pardede
Jefferson Pardede Mohon Tunggu... -

Just to be useful to another..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sejenak Melihat Kondisi Pendidikan Guru (Kini)

14 Juli 2014   19:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:21 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN)"][/caption] Guru yang selanjutnya dalam bahasa Inggris disebut Teacher atau yang sering dianalogikan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, konon berdasarkan bahasa Sansekerta memiliki arti yang mendalam, yaitu pengusir kegelapan; Gu berarti Kegelapan, dan Ru berarti Menghilangkan. Arti tersebut sejalan dengan tugas mulia yang diemban guru, yaitu membantu siswa menemukan potensi-potensi yang ada pada dirinya  dan kemudian mendidiknya menjadi manusia berguna dan bermoral yang kelak dapat memberikan sumbangsih untuk kemajuan suatu bangsa. Sejenak aku terpikir, "Kenapa ya, guru-guru pada jaman dulu lebih dihormati, disegani, dan lebih memberikan dampak pada kemajuan intelek dan pribadi siswanya? Padahal pada masa itu banyak terjadi tekanan ekonomi dan politik dan keadaan serbasulit, tetapi muridnya pintar-pintar."  Nah, keadaan ini jauh berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Sebagai calon guru aku pun sedikit menguak kisahku mengajar siswa pada masa Program Pengalaman Lapangan  Terpadu (PPLT). Seorang siswaku laki-laki, sangat tidak menghargai keberadaanku sebagai guru praktek di sekolah tempatku mengabdi selama 5 bulan. Bayangkan saja, ketika kuingatkan dia  tentang tingkahnya yang sering keluar diam-diam pada saat kami sedang berdoa sebelum memulai pelajaran, ia pun memelototi saya dan memberikan kesan untuk siap beradu jotos dengan saya. Hal  ini sungguh menusuk hatiku sebagai guru. Ternyata profesi sebagai guru itu tidak se-simple yang kubayangkan, akar masalah kondisi siswa tidak cukup dilihat dengan kedua bola mata saja, tetapi guru harus mampu memahami kondisi siswa dari segala aspek. Sejenak saya ingin berbagi hal mengenai sejarah pendidikan guru dan perkembangannya di negara kita; Indonesia tercinta ini, berdasarkan beberapa sumber dan (mungkin) bisa diperbaiki di  kemudian hari kalau ada kekurangan. Sejak era kemerdekaan sampai dengan era 1960-an, kebutuhan guru di Indonesia sangat mendesak dalam upaya pencerdasan bangsa, sesuai dengan amanat UUD 1945. Kondisi tersebut mendesak pemerintah untuk segera melengkapi kebutuhan guru di daerah dan membentuk institusi pencetak guru. SGB (Sekolah Guru B) dan SGA (Sekolah Guru Atas) sangat dikenal sebagai institusi pendidikan calon guru Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD) pada masa itu. Yang dapat memasuki SGB adalah lulusan terbaik dari SR. Calon guru tersebut akan dididik selama 4 tahun di SGB dan akan mendapatkan Tunjangan Ikatan Dinas (TID). Mereka (red: Calon Guru) harus tinggal di asrama yang diasuh oleh guru yang mengajar di SGB. Mereka digembleng sedemikian rupa dari segi sikap, kepribadian, kedisiplinan, bahkan dari segi penampilan juga sangat diperhatikan. Makanya pada jaman dulu jarang kita lihat calon guru berambut gondrong atau (mungkin) memakai celana jeans ketat seperti sekarang ini. Dengan demikian 4 tahun dijadikan waktu yang sangat berarti bagi sekolah untuk menggodok dan menghasilkan calon guru yang berkarakter dan cakap intelek. Selanjutnya pemerintah membentuk SGA untuk calon guru yang berlatar belakang pendidikan dari pendidikan menengah atas. Dengan semakin mapannya SGA, SGB pun ditutup. Dan kemudian SGA berubah nama menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dengan jurusan SD dan TK yang bertahan sampai era 1990-an. Karena makin menjamurnya SPG maka program asrama dan TID mulai dihilangkan pada awal 1970-an. Untuk memenuhi kebutuhan guru SMP sederajat dibentuklah pendidikan guru dengan program B-I, dan B-II untuk guru SLA yang berbasis bidang studi. Program ini kemudian berganti nama menjadi PGSLP dan PGSLA (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama/Atas). Perkembangan selanjutnya, muncullah peraturan pemerintah yang baru dan mengharuskan bahwa guru TK dan SD harus lulusan Diploma II (D-II). Hal ini memaksa semua guru SD dan TK yang sudah mapan dengan ijasah SPG-nya, terpaksa harus sekolah lagi untuk memperoleh ijasah tersebut dan guru dibebaskan untuk sekolah lagi dan memilih sekolah PTN dan PTS  tanpa dikendalikan lagi dari dinas maupun pusat. Di sini pemerintah mulai tidak dapat mengontrol lagi akses pendidikan guru dan program D-II tersebut pun hanya berjalan beberapa tahun. Seiring berjalannya waktu, dengan keluarnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka ada ketentuan baru bahwa guru harus berpendidikan minimal S-1 dan Dosen harus berpendidikan S-2. Pendidikan guru semakin runyam dikarenakan peraturan yang senantiasa berubah dari tahun ke tahun tanpa menyentuh hal-hal yang substansial di tengah perubahan jaman yang semakin cepat. Bisa kita bayangkan ke mana semua guru akan memperoleh ijasah tersebut di tengah keterbatasan setiap daerah yang belum tentu memiliki perguruan tinggi yang memiliki program studi sesuai dengan bidang studi yang diajarkan guru. Akhirnya polemik baru pun muncul banyak ijasah yang jadi-jadian dan pendidikan di sekolah pun terabaikan karena banyaknya syarat administrasi yang harus dikerjakan guru sebagai kelengkapan guru untuk mengikuti pendidikan profesi (PLPG) lagi. Hal ini bisa menjadi cerminan (juga) bagi perkembangan pendidikan kita yang masih berada di posisi stagnan-belum ada kemajuan yang berarti secara merata. Mungkin ada beberapa hal yang menurut hemat saya terabaikan, sehingga guru semakin kalang kabut; tidak hanya terhadap perkembangan intelek siswa tetapi terhadap karakter siswa. 1. LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan pemerintah bersinergi menjaring calon guru yang berkualitas dari setiap daerah dan menyesuaikan dengan kebutuhan guru tiap daerah, sehingga LPTK tidak sembarangan memperbanyak kelas perluasan (ekstensi) dengan alasan subsidi silang biaya pendidikan di kampus dsb. begitu juga dengan pendirian sekolah-sekolah swasta akan lebih terawasi. 2. Pemerataan guru di setiap daerah. Mungkin hal yang dilakukan Surya University bisa menjadi contoh. Pemerintah menjaring siswa terbaik di masing-masing daerah untuk disekolahkan. Setelah menyelesaikan pendidikannya, siswa tersebut kembali mengabdi di daerahnya masing-masing (mungkin) dengan memberikan TID dan sertifikat profesi. Karena tidak dapat dipungkiri faktor geografis dan demografis daerah juga turut mempengaruhi mental guru yang menjamur di kota untuk mengabdi di daerah yang mungkin tergolong terpencil. Ini juga turut mendorong cita-cita otonomi daerah. 3. Model pendidikan untuk para calon guru juga harus diperhatikan. Saya sangat setuju, model pendidikan untuk para calon guru pada era tahun 1960-an diterapkan kembali. Mahasiswa diasramakan dan digembleng sikap dan kepribadiannya selama di asrama dan dosen Penasehat Akademik (PA) bertanggung jawab terhadap mahasiswa yang dibimbingnya, seperti model kepembimbingan dosen yang berlaku dewasa ini di setiap kampus. Jadi dosen tidak hanya secara tersurat saja menjadi PA tetapi tidak pernah memberikan nasehat kepada mahasiswa yang dibimbingnya atau hanya sebatas alat administrasi penandatangan KRS saja. Saya rasa hal ini tidak sulit karena rata-rata kampus sudah mempunyai asrama untuk mahasiswa, asal kebutuhan guru bisa terdata. 4. Saya lebih setuju dengan diferensiasi produk dalam ekonomi juga diterapkan untuk pendidikan calon guru. Guru itu unik tugasnya tidak hanya membekali pengetahuan murid saja tetapi sangat kompleks, jika calon pegawai pajak saja disekolahkan di pendidikan khusus, kenapa model pendidikan guru yang notabene merupakan tonggak dasar kemajuan bangsa juga tidak diberlakukan seperti itu? Oleh karena itu saya lebih setuju dengan istilah LPTK atau IKIP bukan malah direstruktur menjadi universitas seolah menunjukkan Lembaga Pendidikan kita tidak percaya diri dengan namanya. 5. Mahasiswa diwajibkan membaca buku dan membuat tulisan sesuai bidang atau fokusnya. Seperti yang dikemukakan budayawan Taufik Ismail (dalam kompas 16/1/2014) siswa AMS-B (setara SMA) wajib membaca 15 buku sastra, AMS-A 25 judul karya sastra. Selain itu, mahasiswa juga dituntut membuat 1 buah karangan (tulisan) per minggu, 18 karangan per semester dan 36 karangan per tahun. Di AS, siswa diwajibkan membaca 32 judul buku per tahun, Jepang 15, Brunei 7, tetangga kita: Singapura dan Malaysia 6, dan Thailand 5. Pertanyaannya simpel saja, sudah seberapa mampu mahasiswa (calon guru) atau guru mampu memberikan argumen dan solusinya tentang masalah-masalah pendidikan yang terjadi dewasa ini? Hal ini dimulai dari kegemaran guru membaca buku-buku beraroma pendidikan yang jelas lebih mempertajam analisanya tentang pendidikan dan mampu memecahkan kesulitan-kesulitan yang (mungkin) dihadapinya di kelas. Pendidikan harus ditangani secara tepat, keadaan bukan dijawab dengan kebijakan belaka, tantangan jaman menuntut pendidikan kita mempunyai pondasi dan kiblat pendidikan yang jelas, watak guru juga harus diperbaiki. Masih ingatkah kita pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari?". Segera menjadi teladan dan menginspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun