Sikap saya setiap kali berziarah ke makam hanya cukup kepala bertunduk ke bawah dan tidak pernah sikap dari tubuh saya dalam keadaan bersimpuh. Bahkan kepada kedua orangtua saya yang sudah meninggal dunia ketika saya berziarah ke makamnya hanya cukup sikap dari tubuh saya dalam keadaan jongkok dan posisi kepala tunduk ke bawah. Kecuali hanya di pusara Gus Dur sikap dari tubuh saya dalam keadaan bersimpuh.
Alasan krusial mengapa saya harus bersimpuh setiapkali ziarah ke pusara Gus Dur? Sebab tidak ada sosok manusia Indonesia dari dulu sampai sekarang yang saya kagumi kecuali kekaguman saya kepada Gus Dur. Inilah penalaran dari kejujuran saya.
Tentunya saya percaya bahwa tidak saya saja sebagai anak bangsa yang sangat mengagumi Gus Dur, tentunya masih banyak dari jutaan anak bangsa sendiri yang dilahirkan dan dibesarkan sebagai minoritas di negeri sendiri yang sangat mengagumi Gus Dur.
Meskipun Gus Dur sebagai tokoh ulama besar tapi keulamaanya ternyata mampu sebagai Father of the Nation yang sudah teruji mengayomi semua anak bangsa Indonesia dengan keanekaragaman budaya, agama, etnis, ras, ideologi dan aliran kepercayaan lainnya tanpa ada yang diperkecualikan.Â
Pada sebagian dari anak bangsa yang lahir dan dibesarkan sebagai kaum minoritas di negeri sendiri betapa Gus Dur adalah satu-satunya berada di garda terdepan sebagai penyambung lidah kaum minoritas sebab Gus Dur sudah sangat teruji akan selalu hadir melakukan sikap pembelaan kepada kaum minoritas ketika pelangi yang bernama Indonesia dipisahkan dari keindahan warna-warninya. Betapa hanya Gus Dur yang hanya sanggup membingkai Islam menjadi nilai akidah paling universal dalam setiap aksi tindakannya.
Hanya kalimat ini yang terlintas dalam benak pikiran saya ketika saya melihat sosok seorang Gus Dur, "Betapa damai dan indahnya Islam." Â Hanya Gus Dur satu-satunya di mata saya yang dapat menerima segala perbedaan meskipun perbedaan itu bertentangan dengan keyakinannya.
Saya berani berandai jika Gus Dur masih hidup dan masih survive berada di sekitar kita, maka tidak akan pernah ada aksi pernyataan protes mengejek yang keluar dari mulut salah satu anak bangsa minoritas bernama Joseph Paul Zhang alias Shindy Paul Soerjomoelyono.
Kalau kita ikuti jejak alur pernyataan Paul secara utuh maka Paul secara psikologis tidak bisa memendam dan membendung lagi terhadap perilaku diskriminasi hukum dan sosial yang dia rasakan selama ini sehingga secara frontal dia ingin menyuarakan protes dari pesan unek-uneknya betapa hukum penistaan agama ternyata hanya berlaku untuk agama minoritas tapi tidak akan berlaku untuk agama mayoritas..
Untuk membuktikan thesis kegelisahannya, Paul mencoba membuktikan melalui jebakan betmennya dengan mengorbankan dirinya sendiri sebagai martir delik penistaan agama. Paul yang dari ras dan agama minoritas sudah meyakini bahwa pernyataan yang mengejek arogansi agama mayoritas pasti akan diproses menjadi delik penistaan agama, sebaliknya kalau saja Paul seandainya mewakili dari agama mayoritas melakukan penghinaan terhadap agama minoritas tentunya tidak akan mungkin diproses menjadi delik penistaan agama.
Jika kita mengikuti wawancara antara Paul dengan Dinarsa Kurniawan sang jurnalis Jawa Pos melalui aplikasi Zoom Meeting yang disiarkan secara live di saluran Youtube channel: Hagios Europe pada tanggal 20 april 2021 sesungguhnya tersirat substansi dari gejolak pernyataan terpendam yang dirasakan Paul selama ini di negeri tempat dia dilahirkan dan dibesarkan betapa delik penistaan agama hanya berlaku untuk anak bangsa sendirei yang menganut asgama minoritas.
Selanjutnya Paul kepada Dinarsa Kurniawan mengungkapkan bahwa sejak dia masih anak-anak dan mungkin sampai hari ini dirinya pernah dijadikan bulan-bulanan dan sangat rentan dibully secara rasial oleh superior anak-anak bangsanya sendiri yang menyandang sebagai bangsa mayoritas. Â