Ketika para anak bangsa meminta segera kepada Pemerintah agar bergegas tanggap untuk mengevakuasi para Warga Negara Indonesia yang masih bertahan di kota Wuhan ibukota Propinsi Hubei, Tiongkok, tapi ironisnya ketika para WNI sudah dievakuasi dan dipulangkan ke tanah air sendiri, yang terjadi justru malah sebaliknya. Kehadiran para WNI hasil upaya evakuasi justru malah mendapatkan penolakan oleh warga lokal di tanah airnya sendiri.
Padahal 238 WNI yang dievakuasi dari Wuhan ke tanah air sendiri sudah dinyatakan lolos dan bebas virus Corona, sementara 3 WNI lainnya harus tetap tinggal di Wuhan dan batal untuk dievakuasi ke tanah air. Tapi sesampai mereka di tanah air yang terjadi adalah tidak sedikit dari anak bangsa malah melakukan penolakan atau pengusiran jika wilayahnya dijadikan tempat penampungan observasi untuk 238 WNI dari Wuhan.
Penolakan masyarakat ini terjadi karena pers lah yang membesar-besarkan beritanya ke tengah khayalak. Tidak sedikit dari para pengguna media sosial justru turut memperkeruh keadaan secara lebay dengan menyebarkan berita hoax di sana-sini.
Bahkan ada sebagian dari para tokoh masyarakat malah berkoar-koar ke tengah khayalak mengaitkan secara politis kehadiran virus Corona sebagai azab. Kondisi brutal dan liar inilah yang menyebabkan sebagian dari psikologis masyarakat kita telah terjangkit demam sindrom Virus Phobia.
Boleh jadi di Indonesia tidak akan pernah ada epidemi wabah virus Corona, tapi yang terjadi justru telah memberi dampak ilusi psikologis berlebihan dari sebagian masyarakatnya yang mulai terjangkit sindrom Virus Phobia.
Tidak sedikit dari mereka yang terjangkit sindrom Virus Phobia mulai berhalusinasi seolah-olah keberadaan virus mulai mengintai setiap jengkal kehidupan mereka. Perpektif data yang dipakai adalah subyektifitas yang absurd dengan tolok ukur jangan-jangan, siapa tahu dan pokoknya.
Tolok ukur jangan-jangan, siapa tahu dan pokoknya dalam implementasinya akan selalu mencurigai, menuduh dan hingga sampai pengusiran yang semena-mena kepada siapa saja tanpa akurasi data medikal yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau kondisi sindrom Virus Phobia ini terus dalam pembiaran dan tidak segera distop maka interaksi sosial dalam semangat silahturahim akan menjadi terusik dan tertunda.
Meskipun kita sudah berada pada masyarakat modern, tetapi realitas yang terjadi sampai hari ini dalam setiap memperlakukan para penderita yang terjangkit penyakit akibat virus yang belum ditemukan vaksinnya selalu mendapat perlakuan di luar peradaban kemanusiaan seperti yang terjadi 3000 tahun lalu pada peradaban Mesir kuno ketika virus Varicella Zoster yang menimbulkan wabah penyakit cacar air belum ditemukan vaksinnya.
Sebagai studi kasus dapat dibayangkan betapa virus Varicella Zoster yang menimbulkan wabah penyakit cacar air sudah terjadi 3000 tahun yang lalu, tetapi vaksinnya baru disahkan secara global oleh WHO pada Desember 1979. Kalau dihitung dari rentang waktunya yang signifikan itu betapa virus Varicella Zoster yang menimbulkan wabah penyakit cacar air sudah membunuh puluhan juta penderita di dunia pada setiap tahunnya.
Kondisi ini belum ditambah dengan keparahan perlakuan masyarakat yang terjangkit sindrom Virus Phobia yang menganggap penyakit cacat air sebagai penyakit kutukan sehingga siapa saja yang dicurigai terjangkit virus Varicella Zoster akan mengalami perlakuan di luar nilai peradaban kemanusiaan seperti pengucilan, pembuangan hingga sampai pemusnahan.
Sindrom Virus Phobia yang mulai meradang di sebagian masyarakat kita tidak hanya mencurigai sesama anak bangsa sendiri, tetapi para wisatawan asal China pun, meskipun kehadiran mereka sudah dinyatakan aman dan bebas dari virus Corona tetap saja mendapat perlakuan pengusiran yang semena-mena oleh sebagian masyarakat setempat.
Dan ironisnya lagi otoritas Pemerintah Daerah Sumatera Barat justru malah melegalisasikan keinginan sebagian masyarakatnya yang melakukan pengusiran terhadap para wisatawan asal China .
Ternyata sentimen rasis mulai turut terlibat aktif ke dalam sindrom Virus Phobia untuk melakukan penolakan terhadap para wisatawan asal China. Muhammad Taufik, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang mengungkapkan betapa faktor utama penyebab di balik penolakan warga Sumatra Barat terhadap para wisatawan asal China bukan murni sepenuhnya karena faktor alasan virus Corona an sich.
Melainkan fenomenal virus Corona sudah dikemas dijadikan kedok sebagai senjata pamungkas untuk mewujudkan sentimen anti China yang selama ini sulit untuk diimplementasikan.
Akhirulkalam, apakah demam sindrom Virus Phobia akan bernasib sama seperti demam sindrom PKI Phobia ? Betapa akibat sindrom PKI Phobia selama 50 tahun lebih kita sesama anak bangsa selalu saling curiga mencurigai dan tuduh menuduh sesama anak bangsa sendiri dengan tolok ukur jangan-jangan, siapa tahu dan pokoknya.
Akibat dari PKI Phobia yang sudah kronis ini, sejarah sudah membuktikan betapa yang menjadi korban tiada lain adalah rusaknya tatanan silahturahim sesama anak bangsa sendiri. Â Wallahu A'lam Bishawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H