Mohon tunggu...
JOE HOO GI
JOE HOO GI Mohon Tunggu... Penulis - Berminat menekuni sebagai Blogger yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Berminat menekuni sebagai blogger, video creator, web developer, software engineer dan social media manager yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Manakah Aroma Keistimewaanmu Sekarang, Yogyakarta?

18 Januari 2020   08:52 Diperbarui: 18 Januari 2020   08:53 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan ini bukanlah sindiran yang berlebihan dan nyinyiran yang mengada-ngada jika realitasnya kita telah dihadapkan pada kasus-kasus intoleransi yang secara kontinu selalu terjadi di wilayah Jogjakarta yang slogannya selalu digaungkan sebagai Jogja Istimewa.

Betapa selama ini peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta akan bergerak bilamana sudah terjadi kasus intoleransi ke tengah masyarakat. Ini artinya otoritas peranan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta selama ini belum melakukan tindakan preventif kecuali hanya akan selalu  bertindak jika kasusnya sudah bergulir viral dan sampai meresahkan masyarakat. 

Tetapi bilamana kasus intoleransi tidak sampai bergulir viral, maka tentunya peranan Otoritas Pemerintah  Daerah Istimewa Jogjakarta akan melakukan pembiaran.

Dibutuhkan ketegasan dan keberanian dari peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta untuk tidak dapat mentolerir dan memberikan sanksi hukum terhadap segala tindakan intoleransi yang telah menciderai keistimewaan Jogjakarta yang multikultural pada khususnya dan konstitusi Negara perihal Kemerdekaan beragama dan berkeyakinan pada umumnya.

Sehingga kasus intoleransi seperti kejadian insiden pembubaran secara paksa dengan disertai pengrusakan oleh arogansi sekelompok orang yang menggunakan atribut Agama tertentu terhadap acara tradisi ritual Sedekah Laut yang digelar secara rutin turun temurun setiap tahun oleh para nelayan Pantai Baru, Srandakan, Bantul tidak akan terulang kembali.

Otoritas peranan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta sudah saatnya tidak boleh melakukan pembiaran atau berdiam diri terhadap arogansi sebagian dari kelompok masyarakatnya yang ingin mau menang sendiri dan mau paling benar sendiri dengan melakukan serangkaian perbuatan intoleransi yang melawan hukum.

Sehingga  kasus intoleransi seperti kejadian insiden pemotongan nisan berbentuk kayu salib milik Albertus Slamet Sugihardi di pemakaman Jambon Purbayan, Kota Gede dan larangan dari keluarga almarhum Albertus untuk melakukan acara doa arwah di rumah duka hanya gara-gara jasad mendiang Albertus semasa hidupnya beragama non muslim tidak akan kembali berulang.

Pentingnya peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta melakukan intervensi terpadu dalam upaya pembinaan terhadap jajaran aparatur sipil kewilayahan di sektor pedesaan dari mulai Ketua RT, Ketua RW, Kepala Pedukuhan sampai Kepala Desa agar setiap mengambil kebijakan tidak akan bertabrakan dengan konstitusi Negara tentang makna pentingnya kebebasan warga negara memeluk agama dan beribadat menurut selera agama dan keyakinan, sehingga tidak akan terulang kembali kasus intoleransi yang pernah menimpa Slamet Jumiarto dan keluarganya yang nonmuslim dilarang tinggal sebagai warga baru oleh Ketua RT dan Kepala pedukuhan di pemukiman barunya di RT 08 Pedukuhan Karet, Pleret, Bantul.

Sudah saatnya segera, bila tidak ingin disebut terlambat, peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui kewenangan di sektor pendidikan melakukan screening terhadap para pendidik di sekolahan dan Perguruan Tinggi yang pola berpikirnyanya sudah teracuni oleh pemahaman intoleransi, sehingga tidak akan terjadi lagi kasus intoleransi yang dilakukan oleh seorang pembina Pramuka di SD Negeri Timuran Jogjakarta yang mengajarkan yel-yel intoleransi berupa tepuk tangan salam Pramuka "Islam, Islam yes, Kafir, Kafir no"  terhadap anak-anak didiknya.

Akhirulkalam, tampaknya dalam lima tahun belakangan ini ada dua akurasi krisis yang terjadi di Jogjakarta yaitu Krisis Kebangsaan yang ditandai dengan merebaknya kasus-kasus intoleransi dan Krisis Kepemudaan yang ditandai dengan merebaknya kasus-kasus Klitih (aksi kekerasan para gangster anak-anak remaja sekolahan) yang sampai sekarang peranan Otoritas Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta belum dapat memberikan jaminan kepastian kepada masyarakatnya apakah kasus-kasus tersebut bakal tidak akan terulang kembali?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun