Mohon tunggu...
JOE HOO GI
JOE HOO GI Mohon Tunggu... Penulis - Berminat menekuni sebagai Blogger yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Berminat menekuni sebagai blogger, video creator, web developer, software engineer dan social media manager yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Klitih, Introspeksi Dosa Orangtua dan Solusi Penanganan

17 Januari 2020   09:12 Diperbarui: 18 Januari 2020   08:42 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lima tahun belakang ini Yogyakarta telah dihadirkan kasus-kasus Klitih. Fenomena baru dari wujud kenakalan remaja anak-anak dari kalangan Sekolah Menengah yang diekspresikan melalui kehidupan gengter. 

Mereka akan keluar di malam hari ramai-ramai menggunakan motor untuk membuat tindak keonaran kepada siapa saja yang menjadi target korban sesuai kehendak seleranya hingga sampai berujung kepada tindakan pidana, seperti perampasan, perampokan, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan. 

Kehadiran mereka tidak bisa diprediksi kapan dan di mana mereka akan muncul. Tapi yang jelas, mereka para remaja lelaki yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah dan dalam melakukan setiap aksi kekerasan, selalu bergerombol pada malam hari di tempat-tempat yang jauh dari keramaian dengan menggunakan atribut sepeda motor yang sudah dilengkapi dengan senjata tajam. Target yang menjadi korban kekerasan adalah para remaja seumuran yang kebetulan kepergok mereka di jalan raya.

Kasus Klitih yang sudah banyak merenggut para korban dan terus-menerus mewarnai jalanan kehidupan malam di Yogyakarta dalam lima tahun belakangan ini, telah menunjukkan betapa tidak ada kekuatan yang sanggup menghentikan dan menjamin apakah kasus-kasus klitih ini bakal akan terulang kembali. 

Meski pun penegakan hukum sudah dilakukan oleh para aparat kepolisian terhadap para pelaku klitih, tapi tampaknya mereka para pelaku klitih tiada pernah jera.

Bagaimana para pelaku Klitih yang notabene masih di bawah umur bisa jera atau kapok kalau realitas sanksi hukum yang telah diberikan ternyata tidak akan bisa disamakan dengan ganjaran yang diberikan kepada para pelaku orang dewasa. 

Sanksi hukum ringan inilah yang menurut saya menjadi salah satu faktor penyebab yang membuat para pelaku Klitih kembali melakukan pengulangan tindakan pidana yang sama.

Merebaknya kasus klitih di Yogyakarta membuat saya harus melakukan research study mencari akar permasalahan munculnya Klitih ini sebab tidak ada asap kalau tidak ada api yang menyertai munculnya asap itu. 

Bila kasus klitih adalah asap, maka siapa yang menjadi api sebagai biang kerok munculnya kasus klitih itu? Dari pertanyaan sederhana inilah awal keberangkatan saya melakukan research study.

Banyaknya kawan saya dari berbagai lapisan di Yogyakarta telah menjadi perantara niat saya untuk mewujudkan research study. Harapan saya agar dari kawan-kawan saya itu memiliki kawan-kawan yang bisa dijadikan penghubung bagaimana saya bisa berkenalan dengan anak-anak Klitih itu. 

Tampaknya untuk mewujudkan niat saya melakukan research study itu tidak mudah dan memakan waktu yang sangat lama. Saking lamanya menunggu telah membuat saya melupakan niat saya melakukan research study.

Hingga pada akhirnya, tanpa kuduga-duga datang kawan menemui saya mengabarkan kalau dia berhasil mewujudkan niat saya melakukan research study terhadap salah satu pelaku Klitih.

Konklusi yang saya dapatkan dari question and answer antara saya dan beberapa anak Klitih itu ternyata narasi dari akar permasalahannya menunjukkan betapa frustrasinya mereka melihat kondisi morat-maritnya perilaku dari sebagian bangsa orangtuanya jika dibandingkan dengan apa yang mereka perbuat sebagai perilaku anak-anak Klitih.

Bahkan mereka para pelaku Klitih memberikan saran permohonan betapa sebelum perilaku Klitih serta-merta selalu dipersalahkan, maka idealnya jika mau adil sebaiknya lihatlah perilaku para orangtua kita yang selama ini terbukti tidak pernah bisa dipercaya dan gagal total memberikan suri teladan bagi regenerasi anak bangsanya.

Inilah beberapa catatan dalih mereka para pelaku Klitih yang untuk sementara dapat saya rangkum sebagai akar permasalahan munculnya perilaku Klitih. Peranan orangtua yang selama ini terlihat oleh mereka para pelaku Klitih adalah orangtua yang bisanya hanya menguras uang Negara dan merampok uang rakyat dengan perilaku-perilaku korupsinya. 

Orangtua yang telah meletakkan Agama sebagai ajang untuk mencaci-maki, mencari-cari perbedaan perseteruan dan ajang penebar kebencian kepada yang tidak sepaham. 

Morat-marit tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara telah memberikan refrensi sebagai dalih acuan kepada anak-anak pelaku Klitih ini betapa peranan para orangtua telah dianggap gagal memberikan cerminan suri teladan kepada regenerasi anak bangsanya.

Kalau anak-anak ini mau jujur betapa kehadiran mereka sebagai para pelaku Klitih yang konon telah meresahkan khayalak masyarakat Yogyakarta selama lima tahun belakangan ini, tiada lain sebagai wujud ekspresi dari cermin yang didapatkan dari pelaku para orangtuanya. 

Bahkan salah satu dari mereka pun memberikan dalihnya dalam bentuk protes pertanyaan, apa pelaku para orangtua yang melakukan korupsi dan intoleransi tidak disebut pelaku Klitih?

Akhirulkalam, sekarang semua dikembalikan kepada objektifitas hati nurani kita para orang tua, apakah kita para orang tua sudah melakukan intropeksi terdalam terhadap munculnya para pelaku klitih yang dilakukan oleh para anak kita yang masih di bawah umur? Apakah kita para orang tua tetap akan menjatuhkan putusan kesalahan terberat kepada para anak para pelaku Klitih, sementara kita para orangtua hanya menutup mata betapa disadari atau tidak justru kita para orang tua lah sebagai biang kerok akar permasalahan munculnya para anak pelaku Klitih.  Tidak ada asap kalau tidak ada api. Wallahu A'lam Bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun