Mohon tunggu...
JOE HOO GI
JOE HOO GI Mohon Tunggu... Penulis - Berminat menekuni sebagai Blogger yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Berminat menekuni sebagai blogger, video creator, web developer, software engineer dan social media manager yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Aku Tidak Setuju Tagarmu Tapi Kamu Tetap Kawanku

2 September 2018   06:51 Diperbarui: 5 Februari 2020   04:54 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak sedikit dari kawan-kawan saya bertanya kepada saya perihal sikap saya dalam menghadapi fenomenal Tagar 2019 Ganti Presiden. Saya beritahu kepada mereka kalau saja mereka mau mengikuti tulisan-tulisan di blog saya, maka saya yakin mereka tidak akan bertanya lagi perihal sikap saya menghadapi Tagar 2019 Ganti Presiden kepada saya. 

Jauh-jauh hari saya sudah menulis di blog saya perihal sikap saya dalam menghadapi Tagar 2019 Ganti Presiden. Ada dua judul tulisan saya yang berkaitan dengan Tagar 2019 Ganti Presiden. Pertama, tulisan yang saya tulis pada tanggal 18 April 2018 berjudul Jokowi Di Tengah Kegaduhan Tagar 2019 Ganti Presiden. Kedua, tulisan yang saya tulis pada tanggal 10 Juni 2018 berjudul Kekacauan Tata Bahasa Tagar 2019 Ganti Presiden. Selain kedua tulisan saya ini dimuat di halaman blog saya, juga telah dimuat di halaman Kompasiana.

Konklusi yang dapat dipetik pada tulisan yang saya tulis pada tanggal 18 April 2018 berjudul Jokowi Di Tengah Kegaduhan Tagar 2019 Ganti Presiden, betapa aksi Tagar ini hanya menunjukkan sikap di depan publik pokoknya 2019 Presidennya Asal Bukan Jokowi. Gerakan Tagar ini tidak membutuhkan pengujian kualitas moral dan logika apa pun menyangkut jejak Presiden sebab mau sebaik apa pun Jokowi sebagai Presiden tapi jika tetap Jokowi maka mereka akan tetap menolaknya. 

Oleh karena itu mereka selalu akan membela setiap upaya aksi apa pun yang ranahnya sudah pada anti Jokowi, meskipun upaya aksi yang dicapai melalui hate speech, hoax dan bullying selama tujuannya berujung black campaign kepada Jokowi maka dianggap sebagai kebebasan berpendapat yang wajar dalam Negara Demokrasi. Nah, kalau model aksi Tagar model begini, maka sikap saya dalam menghadapi Tagar 2019 Ganti Presiden, dengan tegas saya menolak kehadiran aksi menghadapi Tagar 2019 Ganti Presiden.

Konklusi yang dapat dipetik pada tulisan yang saya tulis pada tanggal 10 Juni 2018 berjudul Kekacauan Tata Bahasa Tagar 2019 Ganti Presiden, betapa judul frame pada aksi Tagar ini memiliki multitafsir sebab tata bahasa yang ada pada Tagarnya saja sudah kacau, corat-marut. Makna Tagar 2019Ganti Presiden memiliki banyak kaosa kata yang bersayap. 

Boleh ditafsirkan pada tahun 2019 akan terjadi revolusi perubahan sistem Bentuk Negara di luar Republik. Jika tafsir tersebut salah karena yang dimaksud Tagar 2019 Ganti Presiden tiada lain ingin menggiring selera publik akan pada Pemilu 2019 tidak lagi memilih Jokowi sebagai calon presiden, maka mengapa pemberian nama Tagar ini tidak merucut saja kepada 2019 Ganti Jokowi, sehingga tidak memiliki denotasi tafsir bersayap perihal kemungkinan adanya rencana makar untuk melakukan upaya perubahan sistem Bentuk Negara di luar Republik?

Lantas bagaimana sikap saya terhadap Tagar 2019 Tetap Jokowi? Kalau Tagar 2019 Tetap Jokowi dimaksudkan sebagai jawaban untuk menghalau Tagar 2019 Ganti Presiden, maka jawaban ini saya anggap tidak nyambung juga. Seharusnya dari kubu relawan Jokowi untuk menjawab atau menghalau Tagar 2019 Ganti Presiden cukup dengan membalas Tagar 2019 Tetap Presiden. Kecuali jika Tagar 2019 Ganti Presiden dirubahnya menjadi Tagar 2019 Ganti Jokowi, maka Tagar 2019 Tetap Jokowi is the right choice.

"What's in a name? That which we call a rose by any other name whould smell as sweet," kata William Shakespeare. Terlepas dari kedua nama Tagar tersebut yang saling bertolak belakang tapi realitasnya mereka yang ada pada aksi Tagar 2019 Ganti Presiden dan Tagar 2019 Tetap Jokowi ada keterlibatan dari kawan-kawan saya di dalam dua kubu Tagar tersebut. Mereka ada pada selera pilihan masing-masing sebab setiap manusia memang memiliki selera pilihan masing-masing yang tidak dapat diseragamkan. Kalau sudah demikian kenyataannya yang terjadi, maka dibutuhkan kearifan dari selera pilihan mereka agar tetap sehat dalam berdemokrasi dan tetap tunduk pada koridor hukum dan konstitusi Negara. 

Wajib ada konsekuensi logis yang mengikat di antara kedua aksi Tagar tersebut. Dibutuhkan sikap konsistensi untuk tidak menabrak Asas Negara, Konstitusi Negara dan peraturan hukum perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Tagar 2019 Ganti Presiden berlindung dibalik Pasal 28 UUD 1945, tetapi pada pasal 28 UUD 1945 sendiri dengan tegas menyerahkan sepenuhnya kepada penetapan undang-undang untuk mengaturnya. Sedangkan Undang-Undang yang mengatur hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan pikiran, antara lain di atur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum. Perhatikan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 betapa hak menyatakan pendapat di muka umum tidak dapat dilakukan secara bebas yang semena-mena.

Di antara ke dua Tagar tetap dibutuhkan komitmen memorandum of understanding (MoU) untuk tidak mengusung misi wacana pada setiap aksi Tagar yang bertentangan dengan Pondasi Negara, yaitu Empat Pilar Kebangsaan: Pancasila sebagai Asas Negara, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai Konstitusi Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Bentuk Negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara. MoU ini seharusnya dapat memberikan konsekuensi hukum kepada penggagas Tagar 2019 Ganti Presiden untuk tidak berafiliasi dengan organisasi terlarang seperti Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang bercita-cita ingin mendirikan sistem negara berbentuk Khilafah agar Tagar 2019 Ganti Presiden dapat terhindar dari stigmatisasi makar. 

Akhirulkalam, kalau Empat Pilar Kebangsaan sudah menjadi shield principle dari kedua peserta Tagar tersebut, niscaya that it can be ascertained that the country will allow the children of their nation to do it ber-tagar ria.

Salam,

Joe Hoo Gi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun