ANAND KRISHNA & REAKTUALISASI PANCASILA
REFORMASI MENTAL SECARA HOLISTIK UNTUK PEMBANGUNAN BANGSA
“Saya menyadari bahwa saya telah menabuh genderang perang. Dan saya menyadari bahwa kapan saja jika ada orang yang tidak menyukai apa yang saya katakan, (mereka) akan memperkarakan saya. Jikapun ada yang ingin membunuh saya, saya siap. Because I have said it all. Saya telah mengatakan semua yang ingin, dan harus saya katakan. Jikapun sekarang saya harus mati, (maka) darah saya tidak akan tersia-sia karena saya telah mewariskan kata-kata saya yang terakhir pada Anda, Bali. Teruskanlah perjuanganku, janganlah mau mati seperti para cacing dan tikus yang pasti akan mati. Matilah dengan penuh kehormatan (dalam) membela Ibu Pertiwi. Itu baru namanya mati (terhormat). Jika kita mati biasa-biasa saja, apa bedanya kematian kita dengan para cacing? Janganlah jadi pengecut, jadilah seperti Arjuna di Kurukshetra.” Inilah sekelumit kata-kata penutup spiritualis Anand Krishna ketika usai memberikan Ceramah Umum “Realisasi Nilai-Nilai Luhur Bhagavad Gita” di Ball Room Hotel Nikki Denpasar, 23 Maret 2005 lalu.
Lima tahun yang lalu, Anand Krishna sudah memprediksi bahwa pada suatu hari nanti, pasti saja ada sekelompok orang yang tidak suka terhadap pemikiran dan suara-suara nyaring-nya sehingga memakai segala cara untuk memperkarakan dirinya untuk membungkam dirinya. Prediksinya terbukti ketika dirinya dikaitkan dengan Kasus Dugaan Penggelapan Uang di akhir tahun 2005, dan juga Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di tahun 2010-11 ini. Ke-2 kasus ini sangat minim, bila tidak bisa dibilang tak ada: alat-alat bukti dan saksi, serta diduga ditunggangi oleh orang yang sama dari kelompok yang tidak senang dengan apa yang selama ini diperjuangkannya.
Bagi seorang suami dari seorang guru di sebuah sekolah internasional di Jakarta ini, nilai-nilai luhur dan arif kebijaksanaan yang terkandung dalam Bhagavad Gita, misalnya, bukanlah ekslusif hanya milik kelompok agama tertentu saja, tapi milik semua orang di dunia, terutama milik peradaban wilayah di balik sungai Sindu, termasuk wilayah Nusantara ini.
Anand yang gemar membaca transkrip kitab-kitab kebijaksanaan lokal kuno, dan mempelajari sejarah peradaban dunia menyimpulkan bahwa dahulu kala wilayah Nusantara ini menyatu dengan daratan benua yang berada di balik sungai Sindu.
Teori ini diperkuat oleh ulasan Prof. Arysio Santos dalam bukunya Atlantis: The Lost Continent Finally Found, dan Dr. Stephen Oppenheimer dalam Eden in The East. Kemiripan cerita dan kebijaksanaan lokal kuno yang terdapat di kepulauan Nusantara dengan daratan benua yang meliputi India, Pakistan, dan Afganistan ini mengindikasikan bahwa ke dua wilayah ini berbagi akar budaya yang sama.
Beberapa transkrip kebijaksanaan lokal kuno ini juga diulas dan diapresiasi oleh Anand dalam bentuk buku, seperti Kamasutra, Tantra Yoga, Sutasoma, Nitishastra, dll.
Tragisnya, buku ulasannya mengenai filosofi Kamasutra dan Tantra Yoga, yang beredar luas di toko-toko buku, malah dijadikan alat bukti bagi kasusnya sekarang. Sangat membingungkan bahwa saat ini (2011) sedang berlangsung pengadilan bagi seorang yang berupaya dibuktikan perbuatan pelecehan seksual berdasarkan pikiran dan ulasannya pada kebijaksanan kuno yang merupakan bagian dari warisan kebudayaan sebuah peradaban, bukan dari bukti yang terkait dengan kasus yang sedang didakwakan padanya.
Penggalian Anand terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan kuno Nusantara ini bukanlah hal yang baru. Ia mengikuti jejak founding father, Ir Soekarno, yang melakukan hal yang sama lebih dari setengah abad yang lalu. Penggalian Bung Karno melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Dan, Pancasila, diakui oleh Ki Hajar Dewantoro sebagai saripati budaya Nusantara. Anand Krishna pun melakukan hal yang sama saat ini untuk merevitalisasi, dan memaknai kembali Pancasila sebagai solusi bagi problematika yang sekarang melanda negara yang diduga sedang menuju negara gagal ini.
Sejak gong reformasi bergulir tahun 1998 lalu, praktis, masa dua belas tahun terakhir tidak terjadi perubahan mendasar pada masyarakat kita kecuali pemilu yang kian terbuka, kebebasan pers, serta kepemimpinan yang kian dituntut responsif pada persoalan rakyat. Sungguh pun demikian, persoalan yang dihadapi juga tak jauh berbeda dengan masa-masa pemerintahan sebelumnya. Realitas kemiskinan yang tak kunjung berkurang signifikan, angka pengangguran tinggi, kesenjangan ekonomi yang melebar, konflik bernuansa sara yang ditutup-tutupi, problematika kemandirian pangan nasional, pendidikan yang mahal biaya tapi kualitasnya kian menurun, dan masih banyak lagi daftar panjang persoalan rutin bangsa ini.
Seluruh problema tersebut, sadar atau tidak, berakar pada mentalitas sebagai bangsa yang belum juga mengalami perubahan. Pemerintahan telah berubah, tetapi perilaku serta mental para aktornya (pejabat pemerintah dan warganya) masih sama. Reformasi politik telah usai, tetapi reformasi mental belum tersentuh sama sekali.
Spiritualitas, sebenarnya, dapat memberikan solusi holistik bagi seluruh masalah kebangsaan yang sedang terjadi. Dalam pandangan Anand Krishna, realitas kehidupan masyarakat sangat terkait dengan kehidupan spiritual individu. Spiritualitas bukanlah kehidupan tersendiri yang terpisah dari hiruk-pikuk problematika kehidupan manusia, bukan pula kehidupan terkungkung di atas bangunan-bangunan rumah ibadah yang megah dan indah. Perbaikan atau peningkatan kualitas spiritual, secara otomatis akan berdampak pada perbaikan kualitas hidup kemanusiaan kita.
Spiritualitas seharusnya menjadikan perikehidupan kita lebih santun, rendah hati, penuh penghargaan, dan kasih sayang di satu sisi. Pada sisi lainnya, spiritualitas juga menyemangati kita untuk terus berkarya, bekerja keras, memiliki disiplin, serta pantang menyerah dalam menghadapi berbagai persoalan. Akhirnya, spiritualitas menjadi terkait dengan masalah kebangsaan yang plural, terhubung dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dan eloknya, kesemua itu –banyak yang tidak menduga-- justru berhulu pada dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila.
Dalam spiritualitas adalah sangat penting untuk mengenal jati diri sendiri sebagai dasar pemberdayaan dan pengembangan diri. Sedangkan dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah juga sangat penting untuk mengenal jati diri bangsa sebagai basis pembangunan bangsa dan negara agar kokoh, dan tidak mudah digerus oleh arus globalisasi. Atas dasar inilah, para pendiri bangsa ini, termasuk Presiden Soekarno menggali kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal yang terdapat di kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada di wilayah Indonesia, mengambil puncak-puncak dan unggulan budaya-budaya tersebut, serta menyatukannya dalam sebuah kata : Pancasila, yang kemudian di tahun 1945 menjadi dasar pijakan bernegara dan berbangsa. Jejak-jejak ini diteladani oleh Anand yang sangat mencintai negeri kelahirannya ini dalam rangka merevitalisasi makna Pancasila dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia prihatin melihat banyaknya anak-anak bangsa yang telah melupakan budaya negaranya sendiri tapi malah mencoba berpaling pada budaya asing yang belum tentu cocok dengan kebiasaan, kondisi alam dan tradisi rakyat Indonesia.
Ada kelompok yang mencoba berpijakan pada dasar budaya India, China, Barat, Arab, bahkan Timur Tengah, dan ketika setiap kelompok menganggap pemahamannya yang paling benar. Maka mulailah Indonesia mengalami proses disintegrasi nasional. Pertimbangan inilah yang membuat Anand beserta beberapa teman menggagas berdirinya National Integration Movement (NIM, sebuah wadah berkumpul dan berkaryanya putera-puteri bangsa yang berasal dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, profesi, pendidikan dan sosial yang peduli atas persatuan dan kesatuan bangsa pada 11 April 2005. Lahirnya NIM adalah salah satu upaya Anand untuk mengaktualisasikan makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata ‘integration’ yang terselip sesungguhnya menangkap keprihatinan mendalam terhadap ancaman perpecahan bangsa. Masyarakat Indonesia yang sangat plural justru dijadikan entry point oleh beberapa kalangan untuk mempertajam perbedaan dengan maksud memecah belah persatuan.
Beberapa tragedi yang terjadi pada awal tahun ini sepertinya identik dengan kekhawatiran tersebut. Tragedi pembakaran rumah-rumah ibadah dibiarkan, penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan pelarangan aktifitas mereka di tiga provinsi di pulau Jawa yang justru mendapat dukungan dari pemerintah, serta penutupan gereja yang difasilitasikan oleh aparat pemda setempat.
Dalam kaca pandang NIM, perbedaan bukanlah untuk dipertajam, diabaikan, dihindari atau dinafikkan, melainkan diakui keberadaannya tanpa mempermasalahkannya. Perbedaan justru dipakai sebagai modal berharga untuk menjalin kerjasama, saling melengkapi antar pihak-pihak yang berbeda dan kesempatan berharga untuk belajar saling mengapresiasi. Ini sesungguhnya adalah dasar dari kehidupan spiritual, yakni menjunjung tinggi harkat kemanusiaan tanpa memandang perbedaan latar belakang.
Selain NIM, digagas pula berdirinya Koperasi Global Anand Krishna (sebagai pilot project untuk bidang ekonomi-sosial), dan One Earth School (untuk perbaikan bidang pendidikan) dalam naungan Yayasan Pendidikan Anand Krishna.
Apabila ditilik secara seksama, sayap-sayap organisasi tersebut mencoba mengatasi persoalan kebangsaan secara menyeluruh dengan dua pendekatan, kuratif dan preventif. Seluruh persoalan kebangsaan saat ini, sesungguhnya berhulu pada bidang pendidikan yang gagal mennamkan nilai-nilai keluhuran budi dan kebijaksanaan pada peserta didik. Pada tahap berikutnya, kegagalan ini berimbas pada kualitas kerja peserta didik saat memegang berbagai peranan dalam kehidupan bernegara. Angka korupsi yang mencengangkan dan terus berlanjut hingga Komisi Pemberantasan Korupsi berkiprah selama tujuh tahun terakhir, adalah petunjuk kuat betapa bidang pendidikan telah gagal menanamkan nilai-nilai keluhuran budi pada peserta didik.
Imbas dari kegagalan bidang pendidikan ini terus berlanjut ke banyak arah, lembaga penegak hukum pun akhir-akhir ini diterjang kasus mafia hukum, lembaga keuangan tertimpa mafia pajak, dan mungkin masih banyak mafia-mafia lain yang belum terungkap.
Persoalan pendidikan masih berlanjut juga pada kegagalan untuk menanamkan kebersamaan dalam keberagaman. Dewasa ini, kian banyak ditemui berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang justru mengkotak-kotakkan manusia dalam “kotak” agama, etnis, sosial, dan masih banyak lagi yang pada akhirnya akan menciptakan generasi tanpa punya kemampuan mengapresiasi perbedaan dan keberagaman.
Akhirnya, pendidikan hanya mampu membuat peserta didik hafal sila-sila yang termuat dalam Pancasila, tetapi esensi untuk mengamalkannya dan mengaktualiasikannya dalam peri kehidupan sehari-hari justru ditanggalkan. Terkait hal ini, One Earth School menjadi sekolah lintas agama pertama di Indonesia yang memberikan pelajaran sejarah agama-agama besar di dunia, dan mencoba mengembalikan arah pendidikan seperti yang terjadi saat Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Pendidikan holistik yang berbasis pada nilai-nilai luhur budaya Nusantara, pendidikan yang berkarakter, hingga pada akhirnya mampu melahirkan generasi dengan kepribadian yang utuh, disiplin, dan yang asasi adalah memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap sesama dan bangsa.
Jadi tuduhan terhadap Anand Krishna, baik di media masa maupun di dalam sidang pengadilan dari beberapa saksi yang memberatkan bahwa Anand Krishna meminta beberapa anak muda di dalam komunitasnya untuk meninggalkan bangku sekolah adalah rekayasa kesaksian yang sangat keji dan tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana seorang yang berupaya keras mendirikan sekolah dan memperbaiki pendidikan, tapi malah dituduh seperti ini?
Dalam kaitan dengan sosial-ekonomi, selama ini koperasi tak lebih dianggap sebagai formalitas menjaga peninggalan luhur dari M. Hatta, salah satu Founding Father. Lebih parah lagi bila kita menilik cara pandang masyarakat desa akhir-akhir ini, yang secara eksplisit menganggap koperasi tak lebih sebagai alat untuk memperkaya pengurus koperasi. Citra koperasi menjadi buruk di mata masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat semakin tidak tahu apa sesungguhnya koperasi.
Anand Krishna berupaya untuk merubah cara pandang masyarakat terhadap koperasi. Nilai-nilai koperasi diaktualisasikan kembali, dan pada akhirnya diharapkan menyumbang pada apa yang banyak disebut sebagai demokrasi ekonomi.
Dalam berbagai wacana disebutkan, demokrasi politik saja tidak cukup, karena demokrasi politik akan berakhir di depan pintu gerbang pabrik. Demokrasi ekonomi juga dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan demokrasi yang sesungguhnya. Sadar atau tidak, koperasi secara tak langsung menanamkan prinsip demokrasi ekonomi. Seperti diketahui bersama, pengambilan keputusan dalam koperasi diambil dari rapat anggota yang tidak memperdulikan besaran saham yang dimiliki tiap anggota.
Secara tidak langsung hal ini mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi yang berasaskan Pancasila. Prinsip musyawarah dan mufakat untuk pengambilan keputusan terbaik bagi semua pihak. Oleh sebab inilah, koperasi bukan sekedar dianggap sebagai pilar bidang perekonomian, melainkan lebih dari itu, pilar bagi kehidupan sosial yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, kesetaraan, serta kebersamaan.
Melalui prinsip ini, koperasi tidak bermaksud mengalahkan anggota yang kaya dan memenangkan anggota yang kurang kaya. Tetapi keputusan yang terbaik di mana dapat mendidik dan memberikan peluang bagi mereka yang kurang maju untuk lebih maju, serta yang sudah maju untuk terus maju dan berkembang sembari membagikan ilmunya pada sesamanya. Inilah cara pandang spiritual dalam bidang sosial ekonomi, selaras dengan motto Anand Krishna dan komunitasnya selama ini : “Be Joyful, and Share your Joy to others”
Tentu saja, apa yang dikerjakan Anand beserta teman-temannya ini tidaklah selalu disukai oleh kelompok-kelompok yang tidak menginginkan bangsa ini mengenal jati diri bangsanya sendiri, dan tidak ingin rakyat bangsa ini bersatu.
Kebersamaan berbagai pemeluk agama yang berbeda dalam komunitas Anand Ashram malah menuai tudingan sinkritisme. Salah satunya terbaca dari sindiran dan keheranan aparat pengadilan dalam sidang pengadilan yang terlontar terhadap seorang saksi meringankan dari KPAA (Komunitas Pecinta Anand Ashram) ketika saksi yang kebetulan muslim ini mengaku mengidolakan seorang Mahatma Gandhi yang beragama hindu. Padahal saksi ini sedang belajar di fakultas hukum di sebuah universitas di Jakarta, dan Gandhi adalah seorang pengacara handal yang mengintegrasikan nilai-nilai universal kemanusiaan dan spiritual dalam beracara.
Mogok Makan tokoh kebangsaan Anand Krishna memasuki hari ke-30 (7/4). Dalam press-release yang dikeluarkan lewat kuasa hukumnya (9/3), ia menegaskan bahwa “ ...biarkan saya mati kalau memang ini yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang memunculkan dan membiayai kasus ini untuk membungkam suara kebangsaan, misi keharmonisan, dan kebhinnekaan saya...” Ia sedang bersiap mati untuk memecahkan kebuntuan hukum yang sedang memenjarakan dan menghakimi pemikirannya, tapi juga sedang menyandera pluralisme dan mentalitas kebangsaan Indonesia. (Amin Hasan Buchori & Joe)
www.freeanandkrishna.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H