Sel-sel dalam tubuh kita secara konstan akan memperbaharui diri dengan membelah diri. Karena jumlah sel harus seimbang, maka penambahan sel-sel baru (akibat proses pembelahan diri) harus dikompensasi dengan kematian sel-sel yang tua dan tidak diperlukan oleh tubuh. Keputusan untuk melakukan pembaharuan diri ini berasal :
- dari sel itu sendiri
- dari jaringan yang mengelilinginya, atau
- dari sel yang berasal dari sistem pertahanan diri (Immune System).
Mekanisme biologi ini kita kenal dengan istilah Apotosis (bahasa Yunani apo=”dari” & ptosis=”jatuh”).
Jadi sangat menarik untuk diketahui bahwa tiap sel, sebagai unit terkecil dalam tubuh kita, ternyata mempunyai kesadaran sendiri untuk memperbaharui dirinya sendiri. (Mungkin) Bila sel itu secara ‘tidak sadar’ menolak melakukan pembaharuan dirinya, maka jaringan sekitarnya akan memaksa sel itu untuk melakukan apotosis, atau sel yang berasal dari sistem imun akan “mengajak” tiap sel untuk berevolusi.
Bila dilihat dari konteks Bumi ini, mungkinkah sel itu adalah Kita, Manusia penghuni Planet ini, sebagai unit terkecil dari ; Jaringan sekitar sel adalah alam Indonesia; Dan Sel yang berasal dari sistem Imun adalah Seorang Guru yang dikirim oleh Keberadaan dan Tubuh Manusia itu adalah bangsa dan tanah air Indonesia, yang kita sebut Ibu Pertiwi?
Dan bila dilihat bahwa semakin banyaknya bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia dan semakin ‘kerasnya’ gaung suara Sang Guru, maka bisa dipastikan kita, sebagai, Manusia Indonesia, masih saja ‘berjalan di tempat,’ belum berubah, belum ada kesadaran, belum berevolusi sebagai mana semestinya sebuah sel memperbaharui dirinya dengan melakukan mekanisme biologis, Apotosis. Apa yang akan terjadi bila hal ini berlanjut terus menerus tanpa perubahan?
Setiap harinya, sekitar 50-70 milyar sel mati karena proses apotosis pada manusia dewasa. Perkiraan dalam satu tahun, jumlah pembelahan sel dan kematian yang terjadi pada tubuh seseorang mencapai kurang lebih sama dengan berat badan orang tersebut. Bila keseimbangan (jumlah pembelahan sel dengan kematian yang terjadi) tidak terjadi, maka ada 3 hal yang akan terjadi:
- Bila kecepatan pembelahan sel lebih tinggi daripada kecepatan kematian sel, akan terbentuk Tumor,
- Bila sebaliknya, akan terjadi (penyakit) Kekurangan sel,
- Bila sel kehilangan kemampuan untuk melakukan apotosis (karena mutasi) atau terhambatnya inisiatif sel untuk melakukan apotosis (karena virus), maka sel yang rusak akan terus membelah diri tanpa batas dan menjadi (bersifat) Kanker.
Ketiga hal tersebut akan menyebabkan kematian pada diri manusia.
Ternyata sel bisa kehilangan kemampuan untuk melakukan apotosis karena mutasi (dari faktor dalam diri sel itu sendiri), dan karena virus (dari faktor luat diri sel). Demikian pula yang terjadi pada Manusia Indonesia sebagai unit terkecil dari negara dan bangsa Indonesia. Ketika Manusia Indonesia kehilangan, menolak atau meninggalkan budaya bangsanya sendiri, maka bisa dipastikan kita sedang bermutasi. Ketika kita terpengaruh dengan budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri kita sendiri, maka bisa dipastikan Manusia Indonesia sedang terkena virus.
Ke-2 hal di atas akan menjadikan diri kita, secara tidak sadar, sebagai sel-sel kanker di tubuh Ibu Pertiwi. Kita adalah kanker ganas yang sedang menyebar dan menyakiti diri kita sendiri, Ibu Pertiwi dan juga Guru sebagai Utusan dari Keberadaan. Sadarkah kita bahwa Kematian Ibu Pertiwi adalah kematian kita juga sebagai unit terkecil dari bangsa Indonesia ?
Jadi pilihan kita sekarang hanya tinggal dua, yakni: “Apotosis” (memperbaharui diri/berevolusi) atau Mati dikubur “six feet under” seperti istilah Bapak Anand Krishna : “Mati seperti cacing-cacing”? (j/b)