Mohon tunggu...
Joehanes Budiman
Joehanes Budiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Health, Wealth, Happiness and Beyond

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nasionalis dan "Nasionalis"

20 Mei 2010   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalis dan “Nasionalis”- Apakah itu Nasionalis ?

Apa bedanya ? Sepertinya sama tapi berbeda. Seorang Nasionalis sejati adalah seorang Nasionalis. Seorang yang mendompleng kekuatan kelompok Nasionalis sejati adalah seorang “Nasionalis.” Seorang Nasionalis sejati tidak akan menjadi Ultranasionalis atau Nazisme karena beda kualitas, beda kelas, dan benar-benar beda dunia. Tapi kadang yang mengaku seorang Nasionalis harus melihat lagi ke dalam dirinya sendiri, apakah dirinya seorang Nasionalis sejati atau hanya seorang “Nasionalis”?

Pernah ada sebuah demo dari kelompok Nasionalis di Jakarta. Demo ini menentang rencana pemberlakuan UU yang dianggap tidak mencerminkan identitas bangsa sendiri. Dalam demo ini, atribut-atribut dan simbol-simbol Nasionalis tentu sangat banyak, diantaranya adalah Bendera sepanjang 20 meteran. Tapi Bendera itu dengan mudah digeletakan ke tanah. Ini cara seorang Nasionalis sejati memperlakukan simbol-simbol negaranya ? Demikian pula ketika berkali-kali, demo itu dengan sengaja menghalangi satu-satunya jalur transportasi yang masih bisa berjalan karena demo hari itu. Apakah tingkah laku ini mencerminkan seorang Nasionalis sejati ?

Seorang Nasionalis juga sering mengkritik kaum agama karena terlalu percaya pada tiap aksara dan huruf-huruf di Kitab Suci mereka secara literal. Tapi jangan lupa bahwa di negeri Indonesia ini, ada pemimpin Nasionalis yang pernah “memberhalakan” dan mengartikan Pancasila dan UUD’45 secara literal persis seperti apa yang dilakukan kaum fundamentalis agama sekarang ini. Nasionalis dan fundamentalis agama seperti ini sebenarnya berada pada tataran kesadaran yang sama, tapi objek yang mereka berhalakan saja berbeda, yaitu Kitab Suci dan Konstitusi. Maka sejarah bangsa Indonesia selalu diwarnai konflik yang akhirnya menggerucut menjadi konflik antara kelompok nasionalis dan kelompok agama, karena ke-2 kelompok ini sebenarnya sama-sama keras, sama-sama fanatik dan sama-sama ekslusif. Jadi belum tentu seorang Nasionalis adalah seorang yang berbhinneka tunggal ika. Dan bila sebuah RUU APP akan kembali lagi memicu eskalasi konflik yang sudah menggerucut antara kaum nasionalis dan kaum agama, maka mungkinkah secara kolektif kesadaran kita sebagai bangsa hanya sedang berjalan di tempat, dan kita sedang mengulangi hal yang sama yang dialami kakek-nenek moyang kita?

Soekarno adalah salah seorang yang dianggap Nasionalis sejati. Tapi dalam catatan sejarah bahwa Beliau pernah dianggap melanggar Konstitusi dan Dasar Negara (Pancasila) Indonesia. Peristiwa ini seharusnya diteliti, didiskusikan secara mendalam dan disosialisasikan secara luas, apakah, ketika itu Soekarno memang melanggar UUD’45 dan Pancasila atau mungkin memang melanggar secara literal (hukum & peraturan yang berlaku seperti tertera dalam huruf dan kata-kata), tapi tidak secara esensi dan spirit? Apakah beliau punya ‘vested-interest’ baik untuk dirinya sendiri maupun kelompoknya sendiri? Apakah beliau terjebak dalam jargon-jargon kelompok Nasionalis ciptaannya sendiri? Memang agak sukar menilai apakah seseorang melakukan sesuatu demi dirinya sendiri atau demi orang lain (dalam konteksP ini adalah negaranya), tapi mungkin lebih mudah bila dimulai dari menilai diri sendiri.

Banyak orang menjadi nasionalis karena mereka ingin diasosiasikan dengan suatu kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan dirinya sendiri. Kebetulan saja preferensinya adalah pada kelompok Nasionalis bukan pada kelompok agama (atau atheis) tertentu. Ada semacam kebutuhan dalam diri untuk meningkatkan kepercayaan diri atau harga diri dengan mengasosiasikan pada sesuatu yang imajiner atau nyata seperti kelompok atau orang tertentu. Dalam psikologi, fenomena ini disebut identification, salah satu ‘defense mechanism’ yang ditemukan oleh Sigmund Freud.

Jadi nasionalis seperti ini lebih pantas disebut Nasionalis Label karena orang ini menjadi Nasionalis karena Label tertentu, bukan karena pengembangan rasa cintanya pada tanah air. Dari Nasionalis Label inilah, bila ekstrem, akan menjadi fanatik dan berkembang menjadi Ultranasionalis atau Nazisme. Bila dicermati, seorang Nasionalis Label adalah seorang yang kurang percaya diri dan perlu kekuatan (energi) dari luar dirinya untuk menopang kehidupannya. Kadang terpikir, apa yang terjadi pada seorang Nasionalis Label seperti ini bila ternyata efek “pendomplengan image” tersebut tidak sesuai dengan harapannya? Apakah dia malah akan memaksakan orang lain untuk menjadi nasionalis seperti dirinya atau fanatik karena didorong oleh tekanan psikologis yang disebut sebagai teori sosio-psikologis “Cognitive Desonance”? Fenomena yang sama sebenarnya juga terjadi pada orang-orang yang mengaku beragama, tapi tingkah lakunya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya.

Seorang Nasionalis sejati semestinya adalah seorang pencinta sejati. Dia akan mencintai negaranya, dengan segenap hati dan jiwanya, seperti dia mencintai dirinya sendiri. Maka memang ada ’syarat’ untuk menjadi seorang nasionalis sejati, yaitu mencintai dirinya sendiri dulu. Dia tidak akan menolak membayar pajak kepada negara hanya karena merasa tidak mendapat timbal balik sepantasnya dari negara tapi dia pun tidak akan tinggal diam melihat penguasa korup yang menilep pajak yang telah disetorkan pada negara. Seorang Nasionalis sejati tidak akan mengharapkan atau bahkan meminta balasan dari negara biarpun dia sadar bahwa negara secara otomatis akan membalas cintanya.

Seorang Nasionalis sejati tidak akan memusuhi atau tebang pilih pada suatu kelompok tertentu saja dalam satu wilayah nasionalitas, karena kelompok-kelompok ini adalah bagian dari negara yang dicintainya. Dia pun tidak akan menyeragamkan semua karena tidak ada cinta yang seragam Inilah yang mungkin dilakukan oleh Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, tapi tidak dipahami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sepak terjang Soekarno inilah yang mestinya dipelajari dan didiskusikan oleh para pemerhati sejarah dan para kaum nasionalis sejati, karena seperti yang pernah diutarakan Bapak Anand Krishna di suatu kesempatan bahwa “jangan sampai Soekarno hanya dijadikan maskot semata oleh kita yang mengaku nasional, tapi kita tidak memahami ajaran dan meneladani beliau.” Tapi bagaimana kita mengungkapkan rasa cinta kita pada tanah air ?

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman lama memperlihatkan surat cintanya. Dia bingung karena sepertinya pacarnya tidak responsif pada surat cinta yang dibuatnya. Kebetulan dia berlatar belakang programmer yang telah naik pangkat menjadi marketer program komputer. Maka tidak heran surat cintanya bernada business proposal yang ditulis dengan “gaya bahasa programing komputer”, terlalu banyak ’syarat’ (IF, THEN, AND, OR, dsbnya) dan terlalu ‘terstruktur’ rapi (DO …WHILE).

Lucu, tapi mengingatkan kita pada program Bela Negara yang dilakukan Dephan tahun lalu. Biarpun menteri dan dirjen potensi keamanannya dari sipil, tapi kenapa programnya tetap saja bernada doktrin dan propaganda (biarpun maksudnya mungkin tidak begitu)? Bela Negara (Defense Value) dikaitkan dengan Cinta pada Negara, tapi kenapa programnya berbau “baris berbaris.” Ini biarpun nyambung, tapi kesannya agak aneh. Demikian pula dengan demo-demo kaum nasionalis di Indonesia, lagu-lagunya sangat kaku dan kuno pula. Ngak resep. Nasionalisme tidak berarti militerisme bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun