Mohon tunggu...
Joehanes Budiman
Joehanes Budiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Health, Wealth, Happiness and Beyond

Selanjutnya

Tutup

Politik

Permasalahan Etnis Tionghoa

16 Mei 2010   03:39 Diperbarui: 18 Januari 2021   21:29 12447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memperingati Tragedi Mei 1998

(Once Again) Permasalahan Etnis Tionghoa di Indonesia. 
Dalam sebuah Diskusi Kebangsaan National Integration Movement (NIM), (9/12/06) di One Earth, Ciawi, Koordinator Jaringan Tionghoa Muda Indonesia, Kristan, mengatakan, “Indonesia adalah Harga Mati karena kita semua (adalah) Orang Indonesia!; Demikian jawabannya secara tegas bila dirinya ditanya dengan pertanyaan : “Are you Chinese?

Tapi, berapa banyak etnis tionghoa di Indonesia yang bisa menjawab sedemikian tegas seperti yang diutarakan oleh Kristan. Berapa banyak yang secara hati dan perbuatan, percaya bahwa mereka adalah bagian integral, baik dalam sejarah pembentukan (masa lalu), masa kini dan masa depan dari Republik ini? Menurut pengamatan, tidak banyak. 

Minimnya informasi tentang keterlibatan dan sumbangan masyarakat etnis tionghoa berhubungan dengan berdirinya negara Indonesia, paradigma negatif tentang sikap dan peran mereka dalam perekonomian Indonesia, serta pengkondisian turun-temurun dan terus menerus tentang kekurangan-kekurangan dalam hal sosialisasi, kepedulian dan nasionalisme membuat sebagian besar orang-orang tionghoa di Indonesia, baik secara sadar maupun tidak sadar “Tidak Merasa Dirinya sebagai Orang Indonesia.” Problem ini “diperkuat” dengan pendapat sebagian “bumiputera” yang juga menganggap orang-orang tionghoa bukanlah orang-orang asli dan hanya “menumpang hidup” di Indonesia. Problem ini bila ditelusuri bukanlah timbul tanpa alasan, tapi malah cukup beralasan. 

Menurut catatan sejarah, aksi kekerasan anti-Tionghoa di Nusantara sudah terjadi berulang-ulang pada jangka waktu yang cukup lama, yakni sejak Kerusuhan yang berujung pada Pembantaian Massal tahun 1740 di Batavia oleh tentara VOC pimpinan Gubernur Jendral Adriaan Valckenier sampai Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Hampir semua kerusuhan itu memang lebih terkonsentrasi terjadi di Pulau Jawa, kecuali kerusuhan anti-tionghoa oleh suku dayak di Kalimantan tahun 1967. 

Pandangan negatif tentang Tionghoa diperparah oleh kebijakan-kebijakan para penguasa Nusantara sejak dari jaman VOC, raja-raja Mataram, Pemerintah Hindia Belanda dan diteruskan sampai kepada pemerintahan Republik Indonesia. Padahal sebelum abad ke-16, pembauran antara penduduk setempat dengan masyarakat etnis tionghoa sudah terjadi dan harmonisasi sangat terasa. Banyak catatan-catatan dari bangsa Portugis, Inggris, Belanda dan China yang pernah menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara mengkonfirmasikan hal itu. 

Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, seringkali tugas penagihan pajak diserahkan kepada golongan etnis Tionghoa dengan cara borongan sehingga ketika pajak dinaikkan (oleh Raja), maka para penagih pajak-lah yang selalu dimusuhi oleh rakyat. Ketika, Pangeran Diponegoro berperang melawan penjajah, muncul mitos-mitos kesialan yang dihubungkan dengan keberadaan masyarakat tionghoa. Padahal banyak orang tionghoa yang ikut berperang bersama pasukan Diponegoro dalam menghadapi Belanda. 

Baik VOC dan Pemerintah Belanda pun seringkali menerapkan politik adu-domba antara tionghoa dengan bumiputera sehingga seringkali terjadi “kecurigaan” antara ke-2nya melewati batas-batas generasi. Demikian pula yang terjadi pada pemerintahan berikutnya yang selalu saja memakai isu-isu golongan tionghoa dalam permainan politik praktis sehingga golongan tionghoa selalu menjadi kambing hitam dan korban kerusuhan atas kebencian rakyat pada pemerintahan yang berkuasa.  

Kekerasan-kekerasan yang berulang kali menimpa etnis tionghoa ini menimbulkan rasa dendam dan trauma yang berasal dari rasa takut dalam diri mereka dan akhirnya menciptakan “perasaan tidak pernah diterima” di negara ini biarpun sudah lebih dari seribu tahun terakhir bermukim di Kepulauan Nusantara dengan kontribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari menginspirasi Kebangkitan Nasional 1908, ikut serta secara aktif dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, sampai Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Semuanya itu tercatat secara lengkap dan rapi dalam sejarah Indonesia. 

Tapi sayang, catatan sejarah ini sering sengaja dikesampingkan (“disembunyikan”) untuk kepentingan tertentu sehingga sumbangan masyarakat Tionghoa bagi pembentukan NKRI dianggap minimal atau kadang sama-sekali tidak ada. Jadi perasaan “Tidak Merasa Diri sebagai Orang Indonesia” berasal dari dendam dan trauma terhadap agresor. Dendam dan Trauma ini terjadi karena adanya rasa takut akan terulang kembalinya segala bentuk kekerasan pada diri golongan tionghoa. 

Menurut ilmu psikologi (Walter Cannon, 1927), umumnya respon terhadap Rasa Takut akan berujung pada 2 tindakan berlawanan, yakni : Melarikan Diri (Flight) atau Melawan Rasa Takut (Fight) tersebut. Hal sama terjadi pada kelompok orang-orang tionghoa di Indonesia, tapi ada juga yang sudah berhasil melampauinya. 

Kelompok Pertama (Flight) adalah kelompok “Apatis,” yang tidak mau terlibat sedikitpun dengan masalah politik di Indonesia. Tidak Mau bukan berarti tidak ada keinginan, tapi Tidak Mau karena Takut. Kelompok ini biasanya datang dari kalangan bisnis atau professional. Kelompok ini berusaha melawan rasa takutnya dengan cara Melarikan Diri. Tapi untuk “melarikan diri,” mereka butuh dana atau keahlian tertentu untuk diterima di negara lain (ataupun di negara leluhur), bila tidak ada teman/saudara yang membantu. 

Seorang teman sering bertemu dengan seorang pengusaha wanita yang pada saat Kerusuhan Mei 1998 hampir saja diperkosa oleh tetangga-nya sendiri. Pengusaha ini sampai hari ini berusaha mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan untuk berjaga-jaga bila suatu hari nanti, bila kerusuhan anti tionghoa bergejolak kembali, dengan mudah dia dapat pergi meninggalkan negara ini. Dia tetap bekerja di Indonesia karena menyadari bahwa hanya di Indonesia lah yang paling mudah bagi dirinya untuk berbisnis. Dia menyadari sepenuhnya bahwa bila dirinya berbisnis di luar Indonesia, dirinya tidak akan mendapatkan hasil yang sama dengan upaya yang sama seperti yang sedang dia lakukan di Indonesia. Dia pun menyadari bahwa tidak ada negara lain, termasuk negara leluhur RRT dan negara-negara lain dengan mayoritas etnis tionghoa, yang mau menerima dirinya tanpa uang, ataupun keahlian khusus. Makanya dia bergantung sepenuhnya pada kekuatan materi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (“comfort zone”nya.) Dari sini, selain isu tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, timbul paradigma bahwa kelompok etnis tionghoa bagaikan “mesin ekonomi” atau “binatang ekonomi.” Dan, inilah masalah utama yang dituding oleh banyak para pemerhati sebagai biang keladi masalah tionghoa di Indonesia. Hal sama terjadi pada golongan Tionghoa ber-ekonomi menengah.. Banyak sekali generasi tionghoa yang sejak kecil sudah “dikondisikan” untuk hidup di luar Indonesia ketika dewasa. Disekolahkan dengan pendidikan terbaik ber-biaya tinggi oleh orang tua mereka sebagai bekal hidup nanti bila harus hengkang dari Indonesia, mencari masyarakat yang lebih bersahabat dalam menerima mereka apa adanya. Ini terjadi karena trauma terhadap berbagai kerusuhan yang kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, pada suatu masa di jaman Orde Baru, Presiden Soeharto dianggap orang yang paling berjasa bagi orang-orang etnis tionghoa di Indonesia karena perlindungan dan “perlakuan istimewa” dalam bidang ekonomi, tetap saja “membiarkan” terjadinya Kerusuhan Rasial Mei 1998. Malah setelah Orde Baru runtuh terungkaplah berbagai permainan politik pemerintahan Orde Baru juga memakai isu-isu golongan tionghoa sebagai “kambing hitam” dalam berbagai kasus.

Civil Awareness vs Politik Praktis 
Pandangan ini membuat sebagian masyarakat tionghoa tidak mau tahu atau terlibat urusan lain yang tidak terkait langsung dengan diri, keluarga ataupun pekerjaannya. Tapi kadang perilaku ini sering dianggap sebagai ke-engganan etnis tionghoa berpartisipasi dalam bernegara atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Serba-Salah. Pemikiran naif sebagian besar orang-orang tionghoa di Indonesia tentang politik sehingga mereka tidak mampu membedakan antara Civil Awareness ataupun Ber-politik praktis yang mereka “haramkan.” Biarpun ke-2nya pasti bersinggungan dengan dunia politik, Ber-politik praktis terjadi ketika ada upaya mempengaruhi massa dengan motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan sendiri atau kelompok tertentu, sedangkan Civil Awareness (Kesadaran sebagai seorang warga-negara untuk melakukan tugas kewarganegaraannya) adalah ketika terjadi upaya mempengaruhi massa tanpa motivasi mendapatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi/kelompok tertentu, untuk memperbaiki keadaan seluruh masyarakat di negara tersebut. Tapi ke-2nya tetap saja beresiko bagi praktisinya untuk terimbas permainan kotor dalam dunia politik. Mungkin hal ini berkaitan dengan terisolirnya kelompok etnis tionghoa dari percaturan politik praktis sejak tahun 1966 sehingga generasi mudanya hampir-hampir tidak punya referensi tentang perbedaan antara politik praktis dan Civil Awareness

Terkadang untuk membela hak-hak mereka sebagai seorang manusia atau warganegara yang selama ini tertindas untuk setara dengan warga negara lain itupun, selalu digolongkan sebagai “bermain politik praktis.” Ke-engganan kelompok ini untuk membela hak-hak mereka sendiri sebagai sesama warga Indonesia inilah justru membuat kelompok ini sering dijadikan pion dan sasaran permainan politik para politikus di Indonesia. Jadi bila kita melihat sejarah dengan lebih seksama, hampir tidak adanya relevansi antara terlibat/tidaknya etnis tionghoa dalam dunia politik di Indonesia dengan frekwensi terjadinya kerusuhan anti tionghoa di Indonesia. Terlibat atau tidak terlibatnya etnis tionghoa dalam politik, kerusuhan anti tionghoa kerap saja terjadi di Indonesia biarpun ketidakpuasan massa sebenarnya lebih kepada penguasa dibandingkan kepada kelompok tionghoa. Mungkin hanya kelompok etnis tionghoa yang kerap menjadi sasaran bagi kemarahan massa dibandingkan kelompok etnis lain di Indonesia. 

Kelompok ke-2 adalah kelompok yang cenderung melakukan perlawanan (Fight) sebagai respon dari rasa takut pada kelangsungan nasib kehidupan mereka di Indonesia. Mereka percaya bahwa tekanan politik dan sosial dapat memaksa masyarakat untuk menerima golongan tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Masalahnya, seringkali ketika melakukan tekanan sosial, mereka hanya dengan bersosialisasi dengan segelintir pejabat elite atau militer sehingga yang terjadi bukannya proses pembauran, tapi malah nepotisme. Ini terekam jelas dalam benak orang-orang bumiputera sehingga seakan-akan orang-orang tionghoa itu selalu melakukan praktek suap (Korupsi), Kolusi dan Nepotisme (KKN). Padahal tidak demikian, dan tidak semuanya melakukan hal itu. Praktek KKN terjadi hampir di semua golongan etnis di Indonesia. 

Dengan tekanan politik, mereka kadang membawa “bendera” chauvinisme RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan merindukan uluran tangan dari Negara leluhur. Padahal pemerintah RRT, tanpa adanya kepentingan politik atau ekonomi, selalu menolak campur tangan mereka dengan masalah dalam negeri Indonesia karena mereka-pun sudah menganggap orang-orang tionghoa di Indonesia sebagai urusan pemerintahan Indonesia. Jadi ketika masih ada saja kelompok etnis tionghoa yang lebih menghubungkan rasa nasionalisme-nya kepada negara leluhur ketimbang kepada tempat di mana mereka dilahirkan atau dibesarkan, maka hal ini menjadi tidak masuk akal. 

Padahal hubungan etnis tionghoa di Indonesia terhadap RRT seharusnya hanya terbatas kepada hubungan yang lebih bersifat hubungan budaya leluhur atau kemanusiaan, dan membiarkan hubungan lainnya (hubungan ekonomi, sosial, ideologi, dan politik) diurus oleh negara. Kelompok ini tanpa sadar telah memunculkan chauvinisme kepada Tiongkok ketimbang kepada Indonesia. Sikap ini jelas akan mengundang konfrontasi dari kelompok chauvinisme Indonesia yang seringkali menggeneralisasi bahwa semua kelompok etnis tionghoa tidak ada/kurang loyalitasnya pada Indonesia. Memang seringkali kita dengar tentang hubungan erat antara “Saudara Tua” (RRT) dengan “Saudara Muda” (Tionghoa Perantauan), tapi istilah ini baru muncul ketika pemerintahan RRT mempunyai kepentingan tertentu (biasanya ekonomi) terhadap para keturunan tionghoa di negara-negara lain. Misalnya, dulu ada politik Hua Chiao RRT yang mencanangkan bahwa semua tionghoa adalah saudara dan RRC adalah pusatnya. Sekarang bukan rahasia di antara komunitas keturunan tionghoa bahwa sering kali rumah-rumah abu (perkumpulan berdasarkan marga keluarga) didatangi orang-orang dari kedubes RRT di Jakarta. Pada awalnya, memang hanya merupakan acara perkenalan antara “Saudara Tua” dengan “Saudara Muda,” tapi seterusnya, akan diselidiki siapa saja orang-orang kaya yang tergabung dalam perkumpulan marga tersebut dan orang-orang kaya ini akan diajak berinvestasi di RRT. Tanpa kepentingan tertentu, pemerintah RRT menolak memikirkan nasib-nasib warga keturunan tionghoa. Terlihat jelas dalam sejarah dan terbukti ketika Kerusuhan Mei 1998 terjadi, di mana banyak sekali komunitas-komunitas tionghoa di-“serang,” pemerintah RRT hampir-hampir diam seribu bahasa. Bahkan sebuah stasiun TV di RRT yang sering menampung keluhan-keluhan dan membahas Kerusuhan Mei 1998 serta problematik orang-orang keturunan tionghoa yang berdiam di negara-negara Asia Tenggara dibiarkan tutup-bangkrut karena pemerintah RRT memotong anggarannya. Padahal siaran stasiun TV itu, yang dapat disaksikan lewat parabola, telah menjadi tempat keluh-kesah orang-orang tionghoa Indonesia yang pada saat itu sedang stres berat karena “hawa diskriminasi rasial” yang sedang panas-panasnya. 

Asimilasi vs Integrasi 
Kelompok lain adalah kelompok yang sadar bahwa harus terjadi pembauran kelompok etnis tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Tapi biarpun bertujuan sama, kelompok ini terbagi menurut cara pembaurannya, yaitu kelompok Asimilasi dan kelompok Integrasi. Kelompok Asimilasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat menjadi yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya dengan menghilangkan identitas dan budaya asal menjadi satu masyarakat yang satu dan seragam (melting pot), sedangkan Integrasi menginginkan pembauran dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas atau budaya asal (multikulturalisme). 

Kelompok Integrasi dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang ikut mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan Asimilasi oleh Sindhunata (Ong Tjhong Hay) yang ikut mendirikan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Karena bangsa Indonesia bukanlah negara yang homogen budaya maupun ras-nya, maka Siauw Giok Tjhan menganggap bahwa etnis tionghoa yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia semestinya diakui sebagai salah satu suku bangsa yang sejajar dengan suku jawa, batak, sunda, dstnya. Semua suku-suku bangsa inilah yang akan membentuk sebuah Nation, yaitu : Indonesia, tanpa harus menghilangkan identitas dan budaya asal masing-masing. Menurut beliau, cara ini jauh lebih baik diterapkan di Indonesia, mengingat semboyan negara adalah : Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konsep ini, etnis tionghoa tidak perlu mengganti nama, agama ataupun kawin campur untuk menunjukkan bhaktinya bagi Indonesia. Cinta, Pikiran dan Tindakan seseorang-lah yang menentukan bhakti pada Ibu Pertiwi. 

Sebaliknya LPKB berpikiran bahwa untuk menyelesaikan masalah rasial ini secara cepat, etnis tionghoa sebagai minoritas harus meleburkan diri kepada mayoritas dengan cara menghilangkan identitas dan kebudayaan ke-tionghoa-annya. Jika konsep peleburan ini berhasil diterapkan maka tidak akan lagi perdebatan antara satu kelompok dengan kelompok lain karena yang tersisa hanyalah masyarakat Indonesia. Program LPKB menganjurkan proses asimilasi secara serentak di segala bidang kehidupan dengan menitik beratkan pada asimilasi sosial selain asimilasi kulturil, politik, ekonomi dan kekeluargaan (pernikahan campur). 

Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno tampaknya lebih menyukai konsep Integrasi dibandingkan Asimilasi sehingga Baperki dan Siauw Giok Tjhan menikmati kedekatan-nya dengan pemerintah. Selain dekat dengan pemerintahan orde lama, Baperki juga mendapat dukungan penuh dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi karena hal ini pula, setelah Gerakan 30 September tahun 1965, Baperki dianggap ormas-ormas “berbau” komunis dan “dekat” dengan Tiongkok Daratan sehingga dibubarkan dan dilarang, sedangkan Siauw Giok Tjhan ditahan selama kurang lebih 13 tahun tahun tanpa pernah melalui proses pengadilan. 

Di jaman Orde Baru, LPKB dianggap memainkan peranan penting dalam menghilangkan kultur, tradisi, agama (Konghucu) dan bahasa tionghoa lewat beberapa peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto (Inpres No. 14/1967). Bahkan di dalam tubuh BAKIN dibentuk sebuah badan (Badan Koordinasi Masalah CinaBKMC) yang khusus mengawasi gerak-gerik etnis tionghoa di Indonesia. 

Di era reformasi, perdebatan Integrasi vs Asimilasi di kalangan etnis tionghoa mulai menghangat kembali ketika kelompok Integrasi, yang kebanyakan berasal dari kalangan muda dan konghucu, mulai mendapat “angin” dari pemerintah. Perdebatan kadang melebar dan menjadi rumit ketika sampai kepada masalah agama di mana kalangan integrasi beragama Konghucu dan Tao kerap mencurigai kalangan institusi agama lain ikut berperan dengan kelompok Asimilasi, atau paling tidak membiarkan terjadinya diskriminasi pada masa orde baru karena institusi agama lain mendapat limpahan umat dari “pelarangan agama” Tao dan Konghucu di Indonesia. 

Apalagi selama ini tokoh-tokoh Asimilasi, termasuk pendukungnya seperti para konglomerat etnis tionghoa yang dekat dengan rezim orde baru, sebagian besar beragama non Konghucu dan Tao. Perdebatan ini seringkali mengkerucut dan mengakibatkan Perpecahan. Semuanya terjadi karena dendam dan trauma yang bersumber dari rasa takut. Padahal yang harus dipertentangkan bukan soal cara Integrasi atau Asimilasi, tapi pemaksaan-nya, apalagi lewat perundangan yang tertulis dan berkekuatan hukum sehingga menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Lewat pemikiran jernih, baik asimilasi maupun integrasi sebenarnya sama-sama bertujuan yang sama, yakni menciptakan pembauran sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang bisa hidup bersama secara damai. Kalau tujuannya sama, kenapa masih harus memperdebatkan jalan mana yang paling benar? Kecuali bila “Ego dan Dendam ikut bermain.” 

 Kisah Istilah Cina vs Tionghoa. 
Kata Tionghoa ini mungkin berasal dari kata Chung-Hwa, yang adalah suatu gerakan masyarakat di akhir abad ke-19 untuk terlepas dari belenggu kekuasaan Kerajaan/Dinasti di China dan membentuk suatu negara baru yang lebih demokratis. Ketika itu di Nusantara, orang-orang keturunan disebut dengan istilah “orang tjina” yang mungkin berasal dari kata “Ching,” yakni Dinasti Ching. Istilah Tionghoa kemudian digunakan oleh media-media di Indonesia, menggantikan istilah “Tjina” setelah Koran Sin Po–koran Melayu Tionghoa yang pertama kali mempublikasikan Lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman–mulai mengganti istilah Belanda Inlander menjadi Bumiputera. Banyak yang meyakini bahwa Istilah Cina sendiri lebih bermakna penghinaan seperti kata Nigger untuk orang kulit berkulit hitam di Amerika. Menurut Siauw Tiong Djin (anak Siauw Giok Tjhan), istilah Cina digunakan sebagai istilah untuk menghina golongan tionghoa yang berujung pada timbulnya Inferiority Complex dalam kalangan komunitas tionghoa di Indonesia. dan ada semacam dokumen yang digunakan sebagai referensi untuk kebijakan tersebut. Mungkin yang dimaksud Tiong Djin adalah "Laporan Penutupan Seminar AD ke II/1966 kepada Men/Pangad Letdjen M. Panggabean" yang merumuskan sbb:

  1. to revert to the use of the terms "Republik Rakjat Tjina" and "Warga Negara Tjina" to refer to "Republic Rakjat Tiongkok" and its citizens, "Warga Negara Tionghoa",
  2. one official reason given for the decision is particularly in order to remove a feeling of inferiority on the part of our own people ("Pribumi" - txt added), while on the other hand removing the feeling of superiority on the part of the group concerned within our state ("WNI keturunan Tjina" - txt added). (Sumber: C.A. Coppel. 1983, "Indonesian Chinese in Crisis", p. 89)

Setelah Peristiwa G30S/1965, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) mengadakan Seminar Angkatan Darat Republik Indonesia ke-2, 25-31 Agustus 1966 di Bandung. Dalam seminar itu dibahas juga masalah tentang Cina, yang juga dihadiri oleh Sindhunata dan Lie Tek Tjeng dari LPKB yang didukung oleh Angkatan Darat. Kala itu Sindhunata adalah seorang tentara Angkatan Laut berpangkat Letnan Muda. Menurut sebuah artikel yang ditulis Benny G Setiono (Perhimpunan INTI), pada bulan September 1999 di Kantor Majalah Gamma, Sindhunata mengaku bahwa dirinya yang merekomendasikan konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Seminar AD II/66 itu. Sejak seminar itu terjadi penggantian istilah Tionghoa menjadi Cina diformalkan dengan keluarnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina No. SE-0/Pres.Kab/61/67—Sebutan Cina menggantikan Tionghoa—25 juli 1967 yang ditandatangani Jendral Soeharto (Sumber : Berita Yudha 26/7/67 dikutip CA Coppel 1983, Indonesian Chinese in Crisis) 

Perdebatan tentang Istilah Cina dan Tionghoa terjadi pula dalam komunitas Tionghoa. Ada yang tidak mempermasalahkan, tapi ada juga yang mempermasalahkan. Tapi yang pasti, tujuan pemerintahan Orde Baru untuk menimbulkan Inferiority Complex dalam komunitas tionghoa dengan mengganti istilah Tionghoa dengan Cina tampaknya berhasil efektif karena terbukti sebagian orang-orang tionghoa menolak penggunaan istilah tersebut karena istilah itu dianggap bermakna menghina. Jadi memang lebih baik menggunakan istilah-istilah dimana orang lain tidak merasa tersinggung ketika dipanggil. Pemerintahan RRT pun lebih suka disebut dengan sebutan Tiongkok/China ketimbang Cina, seperti juga Pemerintahan Indonesia sekarang yang lebih suka disebut Indonesia ketimbang dengan Indon di Malaysia.

Mitos Kekayaan Orang Tionghoa di Indonesia.
Ketika beberapa bulan setelah terjadinya kerusuhan Mei 1998, banyak media massa Indonesia maupun luar negeri memberitakan tentang peranan dominan kelompok minoritas keturunan tionghoa (3.5 % populasi) dalam mencengkram 70 % perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pernyataan ini begitu seringnya diberitakan kalangan media dunia sehingga dipercayai oleh semua orang termasuk orang-orang etnis tionghoa sendiri dan mereka-mereka yang bersimpati dengan nasib-nasib etnis tionghoa di Indonesia. Tapi apakah demikian? Penelitian George J. Aditjondro yang dimuat di Koran Jakarta Post 14 Agustus 1998 menelusuri dari mana “angka 70%” itu berasal. Dalam artikel ini (Indonesia: The Myth of Chinese Domination) dijelaskan bahwa “angka 70%” ini berasal dari hasil penelitian tentang Jaringan Bisnis Overseas Chinese di Asia yang dilakukan oleh Michael Backman—eksekutif dari Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia pada Unit Kerja Analisa tentang Asia Timur di tahun 1995. Ternyata, “Penguasaan 70% perekonomian Indonesia” yang dimaksud adalah 70% dari kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan swasta saja di Indonesia, sehingga tidak termasuk kapitalisasi pasar perusahaan-perusahaan asing (seperti PT. Freeport Indonesia, Inc atau Coca-Cola Amatil) maupun Badan-Badan Usaha Milik Negara/Daerah di akhir tahun 1993. Cara perhitungannya pun secara garis besar saja. Misalnya, kelompok usaha BankCentralAsia (BCA) dianggap 100% milik etnis tionghoa, Liem Sioe Liong. Padahal pada tahun 1993, dua anak Presiden Soeharto—Siti Hardijanti Rukmana dan Sigit Hardjojudanto, juga tercatat sebagai pemegang saham BCA dalam porsi jumlah yang cukup besar. [caption id="attachment_142177" align="alignright" width="150" caption="Fortune Cookie"][/caption] Tapi memang kebanyakan etnis tionghoa di Indonesia berbisnis dengan membuka toko-toko retail ataupun distributor barang sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka menguasai perekonomian Indonesia. Padahal mungkin hal itu hanya terlihat dari permukaan saja. Perlu penelitan dan riset lebih lanjut untuk menghasilkan data yang lebih ilmiah dan akurat mengenai berapa persen sebenarnya peranan etnis tionghoa dalam perekonomian dunia, terutama untuk konsumsi para jurnalis karena seperti tulisan Mr. Aditjondro dalam artikel tersebut, “ …simply repeating the myth that ‘Chinese-Indonesians, who constitute only 3%-4% of the population, control 70% of the economy,’ without even bothering to verify it with the existing economic and business statistics, does not only reflect sloppy business journalism but it also a convenient and racist way of blaming the victims.”  

Presiden ialah Orang Indonesia “Asli”. 
Pasal 6 Ayat 1 UUD’45 secara eksplisit berbunyi bahwa hanya Orang Asli Indonesia yang bisa menduduki jabatan sebagai Presiden RI. Pasal ini dianggap pasal berbau rasialisme bagi sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia. Padahal Pancasila sebagai Dasar Negara sangat menentang bentuk-bentuk rasialisme. Dalam suatu Seminar (Mei 1981) MENUJU INDONESIA YANG BAIK DENGAN TER-REALISASI-NYA "BHINEKA TUNGGAL IKA," Siauw Giok Tjhan sempat menjelaskan bahwa alasan utama mencantumkan kata “Asli” dalam Pasal 6 Ayat 1 UUD’45, karena pada saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan militer Jepang sehingga timbul kekhawatiran bahwa militer Jepang akan memaksa Rakyat Indonesia untuk menerima seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia. [caption id="attachment_142181" align="alignleft" width="190" caption="Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911"][/caption] Hal ini dipertegas oleh Perdana Menteri Juanda di dalam rapat DPR-RI hasil pemilihan umum pertama dan juga di konstituante yang mengatakan: “adanya istilah “Asli” dalam pasal 6 ayat 1, tidak boleh menjadi alasan untuk mengadakan dan mempraktekkan diskriminasi rasial.” Dalam seminar ini, Siauw Giok Tjhan, sempat mengutip Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang tertulis:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!” Manifesto ini memperlihatkan bahwa Republik Indonesia pada saat kemerdekaan tidak memperlakukan perbedaan berdasarkan keturunan. Malah, setiap rakyat didorong untuk berkembang menjadi seorang patriot dan demokrat Indonesia sejati tanpa memperhatikan asal keturunannya. Pelaksanaan manifesto politik negara itu, kemudian, diundangkan menjadi UU Kewarganegaraan R.I pada tanggal 10 April 1946 oleh Badan Pekerja dan Pemerintah R.I. Pasal 6 Ayat 1 UUD’45, kemudian, termasuk salah satu pasal yang diamandemenkan oleh MPR-RI dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 Nopember 2001 di jaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menghasilkan Perubahan ke-3 UUD’45. Pasal itu berbunyi : “ Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. “

Pao An Tui Baru Jilid 2 ???
Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta membawa luka dan trauma mendalam dalam diri hampir setiap etnis tionghoa di Indonesia, dan banyak dari mereka menyadari bahwa hal sama kemungkinan besar akan terulang kembali…dalam waktu semakin dekat…bila dilihat dari kondisi sektor ekonomi riil Indonesia yang semakin melemah, seperti yang sering dilontarkan dalam diskusi-diskusi di kalangan etnis tionghoa sendiri. Semakin takut, maka semakin “rakus” pula para pelaku bisnis etnis tionghoa yang lebih menaruh kepercayaan pada materi ketimbang janji-janji pemimpin atau partai-partai politik. 

Materi ini sangat penting bagi kelompok Flight ini sebagai bekal hidup saat melarikan diri ke luar negeri ketika Kerusuhan anti-tionghoa kembali merebak. Tapi “kerakusan” itu seakan-akan semakin mempertegas generalisasi para bumiputera bahwa etnis tionghoa adalah binatang-binatang ekonomi. Dan itu akan terpicu keluar menjadi kemarahan ketika keadaan ekonomi semakin terpuruk. Semakin takut, maka semakin “beringas” pula para etnis tionghoa yang memutuskan untuk melawan (Fight) segala tindakan kekerasan yang ditujukan kepada kelompok mereka. Sayangnya karena kadang lebih bernasionalisme chauvinis tiongkok dibandingkan Indonesia, maka malah menjadi anasionalis. Bahkan ada wacana dari sekelompok muda tionghoa dari kelompok ini untuk membentuk kembali Pao An Tui dengan dukungan dana dari pihak luar. Pao An Tui adalah Barisan Keamanan yang dipersenjatai untuk mengamankan properti dan orang-orang keturunan tionghoa sewaktu terjadi kerusuhan anti-tionghoa di awal-awal tahun Kemerdekaan Indonesia. 

Dulu, Pao An Tui didirikan di Jakarta oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Soetan Sjahrir dan Oei Kim Sen (Komandan Pao An Tui) dengan tujuan membantu menjaga keamanan masyarakat terutama etnis tionghoa yang yang ketika itu (1946) sedang marak terjadi penjarahan dan perampokan terhadap etnis tionghoa oleh laskar-laskar rakyat. Tapi dalam perkembangan berikutnya, Pao An Tui malah dicurigai pro-NICA (Netherlands—Indies Civil Administration) karena memang ada beberapa anggota Pao An Tui, entah karena dendam atau alasan membela diri, berpaling ke Belanda untuk meminta dukungan. Atau karena NICA kembali menerapkan politik “adu domba” antara etnis tionghoa dan bumiputera dengan harapan terjadi kekacauan sipil, yang akan mencoreng nama Indonesia di mata dunia Internasional. Tapi bila Pao An Tui baru kembali terbentuk, apakah hal ini hanya akan menjadi semacam pengulangan sejarah?

“Those who do not learn from history will be condemned to repeat it.”

Sementara kelompok terakhir yang lebih sadar, masih saja terpecah dan berkutat dalam persoalan “integrasi vs asimilasi, ” seperti yang terjadi pada perayaan Hari Raya Imlek Tahun 2007, yang bertema : Indonesia Bersatu. Satu kelompok ingin merayakan atas dasar Hari Raya Agama Konghucu dan kelompok lain atas dasar Hari Raya Etnis Tionghoa. Karena tidak terjadi kesepakatan bersama, maka masing-masing kelompok membuat perayaan Imlek tersendiri di mana ke-2 perayaan tersebut dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memang lebih baik merayakan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Konghucu, tapi pada tanggal 17 Februari 2002 ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN, Presiden Megawati mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 telah diputuskan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Etnis Tionghoa dan ditetapkan sebagai hari libur Nasional. 

 Pemerintah vs Negara vs Peradaban. 
Di akhir diskusi kebangsaan NIM (9/12/06) itu, penggagas NIM Bapak Anand Krishna sempat mengatakan bahwa kita semua harus mampu membedakan antara China Rezim (Pemerintah), Orang China dan Peradaban China. Memang di sini lah masalah kadang berasal. Ketidak-mampuan, baik bumiputera maupun etnis tionghoa, membedakan antara Pemerintahan China dengan Negara China dengan Orang China membuat terjadi generalisasi bahwa etnis tionghoa yang lahir di Indonesia dengan Rakyat China adalah sama sehingga pasti lebih loyal pada RRT daripada kepada NKRI. Padahal terdapat banyak fakta-fakta dalam sejarah Indonesia berkata sebaliknya bahwa (tidak semua) etnis tionghoa Indonesia tidak hanya numpang hidup di Indonesia. 

Sebaliknya, karena beberapa kali menjadi sasaran amukan masa dan korban dari perundangan yang berbau diskriminasi, banyak etnis tionghoa meng-generalisir semua bumiputera sebagai anti-tionghoa. Padahal tidak demikian. Pada masa-masa orde baru, etnis tionghoa dipaksa ber-asimilasi karena secara fisik etnis tionghoa tidak berbeda dengan Rakyat China. Dan, demi permainan politik ataupun memang kurangnya pengetahuan, Rakyat China pun dianggap sama kelakuannya dengan Pemerintahan Komunis China yang berkuasa. Kebetulan pemerintah Indonesia saat itu sedang giat-giat-nya berkampanye anti-komunis sebagai imbal balik dari dukungan Inggris dan Amerika Serikat yang sedang gencar memerangi komunisme di dunia. Dan, cara termudah dan tercepat untuk mendapat dukungan rakyat bagi pemerintah Orba yang masih baru waktu itu adalah menciptakan “common enemy,” yakni : RRT yang komunis. Maka dibuatlah iklim politik yang tidak kondusif bagi etnis tionghoa di Indonesia. Padahal, menurut Siauw Giok Tjhan sendiri, nasionalisme seseorang atau bukti bhakti seorang warga kepada negara (bukan pemerintah) tidak ditentukan oleh fisik, nama, agama, bahasa atau tradisi kebudayaan-nya, tapi dengan kesungguhan pemikiran dan tindakannya kepada negara di mana dia mengabdi. 

Dalam Acara Open House (12 Mei 2007), Bapak Anand Krishna sekali lagi menyuarakan apresiasi tertinggi pada peradaban dan kebudayaan Tionghoa yang sudah berumur ribuan tahun seperti juga kebudayaan Mesir dan India. Tapi beliau mengkritik keras cara Pemerintahan Komunis China dalam memimpin negara RRT. Negara RRT tentu tidak identik dengan Pemerintahan Komunis China sekarang ini yang begitu tega menindas rakyat China sendiri demi kemajuan ekonomi negara tersebut. Meskipun tidak menyetujui Ajaran Falun Gong, tapi beliau sangat menyesalkan tindakan pemerintahan Komunis China dalam hal perlakuan terhadap para narapidana pengikut Ajaran Falun Gong. 

Bom Waktu & Solusi
Ketidaktahuan oleh rakyat bumiputera tentang perbedaan antara etnis tionghoa Indonesia dengan Rakyat China pun bagaikan bom waktu yang tiap saat bisa meledak setiap saat. Saat ini, begitu banyak impor dari negara RRT di Indonesia sehingga industri dalam negeri banyak yang tutup dan mem-phk-kan karyawan-karyawan. Pengangguran yang tinggi ini akan menjadi elemen terbesar dalam memicu kerusuhan sosial (kembali) di Indonesia dan karena sekarang yang terlihat adalah barang-barang impor dari China, apakah rakyat-rakyat miskin, terutama di Indonesia dapat membedakan antara etnis tionghoa di Indonesia dengan orang-orang China di RRT? 

Sementara itu, Kelompok Flight sedang begitu gencar mencari uang dengan menjual dan mengimpor berbagai macam produk buatan China dengan membanjirinya di hampir semua pasar-pasar di Indonesia. Kelompok Fight juga sedang memanaskan “bara-bara” permusuhan dengan chauvinis tiongkok mereka. Dan, Kelompok Peduli Pembauran sedang sibuk “berdendam ria” antara Asimilasi dan Integrasi. Bagaimana menghindari terjadinya Kerusuhan Anti-Tionghoa di Indonesia? 

Benny G Setiono dan Kristan berpendapat sama, yakni Pemerintah harus meningkatkan kinerja ekonomi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial antara bumiputera dan etnis tionghoa serta mencabut segala perundangan yang bersifat diskriminatif, sementara etnis tionghoa sendiri harus lebih terlibat dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat setempat atau dalam dunia politik untuk menyuarakan keinginan kelompok etnis tionghoa sendiri. 

Tapi yang menjadi masalah, mampukah pemerintah? Dan, bagaimana menyuruh para etnis tionghoa untuk ikut bekerja bhakti, atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat sementara dalam diri mereka sendiri tidak tertanam kepercayaan bahwa “dirinya adalah orang Indonesia” juga, atau dalam diri mereka terlanjur tertanam kebencian akibat dendam dan trauma akibat rasa takut, hasil dari berulang kali menjadi korban kerusuhan massa yang bersifat rasial? Sudah berganti-ganti 4 Pemerintahan di Indonesia sejak krisis moneter 1998, tapi perbaikan ekonomi secara riil relatif sangat minimal. Apakah Pemerintah mampu mengatasi krisis ekonomi ini lebih cepat dari “meledaknya bom waktu sosial”? 

Pemerintah, dalam hal ini, tidak akan mampu bekerja efektif karena terikat dengan perjanjian-perjanjian demi kepentingan politik atau hubungan perdagangan bilateral maupun multirateral dengan negara-negara lain. Misalnya, bila pemerintah menutup keran impor barang dari suatu negara, maka negara tersebut bisa membalas tindakan pemeritah atau melaporkan hal itu pada Organisasi Dunia Perdagangan (WTO) dan Indonesia malah akan mendapat sanksi. Sementara, rakyat kecil miskin hanya tahu bahwa produk-produk impor dari China, misalnya, telah mematikan industri dan laham pertanian di mana selama ini mereka bekerja atau berusaha. Ditambah generalisas etnis tionghoa dengan Rakyat Cina, dan stigma-stigma negatif etnis tionghoa di Indonesia selama ini, maka sampai kapan “bom waktu” bisa ditunda? 

Bapak Anand Krishna dan NIM mempunyai solusi jangka pendek untuk menunda “bom waktu” itu, yaitu : Kampanye Penggunaan dan Peningkatan Mutu Produk Dalam Negeri. Dengan menggunakan produk-produk dalam negeri, maka industri pun diharapkan mulai bergulir dan pengangguran pun akan mulai berkurang, termasuk industri-industri perumahan produk garmen para pengusaha etnis tionghoa yang ada di daerah-daerah Jembatan Lima, Kampung Krendang, Jelambar, Parung, Tangerang, dsbnya. WTO pun tidak mungkin bisa berbuat apa-apa bila produk-produk impor tidak lagi laku di Indonesia. 

Jadi mari gunakan produk dalam negeri sendiri. Sedangkan solusi jangka panjang harus berasal dari kita sendiri yang etnis tionghoa, bagaimana menumbuhkan kesadaran menjadi Orang Indonesia se-asli-asli-nya. Tentu caranya bukan dengan ber-asimilasi atau sekedar ber-integrasi, tapi lebih dari pada itu, kita semua hendaknya menyadari dan mengatasi rasa dendam dan trauma yang sudah bersarang dalam diri kita. Bapak Budi Santoso Tanuwibowo, Ketua Matakin dan Sekjen Perhimpunan Inti, kemarin lalu berbicara di Kompas 11 Mei 2007 tentang sikap beliau terhadap Peristiwa Mei 1998, bahwa dendam membuat segala upaya untuk mencapai masa depan yang lebih baik demi kepentingan bangsa yang lebih besar terhambat. “Peristiwa (Mei 98) itu harus diingat, tetapi dendam dan kecurigaan di antara anak bangsa harus dihapuskan. Peristiwa itu tak boleh terjadi lagi dan harus menjadi aib bersama.” (Merebut Ruang, Menolak Lupa – Kompas 11 Mei 2007, Hal 59) Selama ini, dendam dan trauma masa lalu sudah cukup lama menghantui kita semua dan sudah tiba saatnya kita menyadari bahwa semua itu berasal dari rasa takut. Dengan melampaui rasa takut, maka secara otomatis kesadaran menjadi orang Indonesia akan muncul. Dan, bila kesadaran ini muncul secara kolektif di antara etnis tionghoa di Indonesia, maka kecurigaan di antara anak bangsa akan terhapus dan Peristiwa Mei 1998 tidak akan terulang kembali di Indonesia. Aktivis-aktivis Indonesia-Tionghoa pun sepantasnya meneladani sikap Kwik Kian Gie misalnya, yang berjuang demi Indonesia, bukan hanya demi etnis tionghoa di Indonesia. Ketika memprotes perundangan yang diskriminatif rasial, lakukan pembelaan atas nama seluruh rakyat Indonesia, bukan etnis tionghoa saja karena diskriminasi memang tidak pernah ada dalam konstitusi, dasar negara Indonesia dan kesepakatan bersama kemerdekaan NKRI. Semoga kita (harus) berhasil. Indonesia Jaya!!! 

Sumber-sumber lain :

  1. Sie Hok Tjwan, Sejarah Keturunan Tionghoa Yang Terlupakan, www.indonesiamedia.com, Nopember 1999
  2. Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia, Perhimpunan Inti, 2002. (Disampaikan pada Diskusi Akbar Perhimpunan INTI Jakarta, 27 April 2002, di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.)
  3. Milis-milis tentang (etnis Tionghoa) baik di yahoo e-groups maupun googlegroups.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun