Sementara kelompok terakhir yang lebih sadar, masih saja terpecah dan berkutat dalam persoalan “integrasi vs asimilasi, ” seperti yang terjadi pada perayaan Hari Raya Imlek Tahun 2007, yang bertema : Indonesia Bersatu. Satu kelompok ingin merayakan atas dasar Hari Raya Agama Konghucu dan kelompok lain atas dasar Hari Raya Etnis Tionghoa. Karena tidak terjadi kesepakatan bersama, maka masing-masing kelompok membuat perayaan Imlek tersendiri di mana ke-2 perayaan tersebut dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memang lebih baik merayakan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Konghucu, tapi pada tanggal 17 Februari 2002 ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN, Presiden Megawati mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 telah diputuskan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Etnis Tionghoa dan ditetapkan sebagai hari libur Nasional.
Pemerintah vs Negara vs Peradaban.
Di akhir diskusi kebangsaan NIM (9/12/06) itu, penggagas NIM Bapak Anand Krishna sempat mengatakan bahwa kita semua harus mampu membedakan antara China Rezim (Pemerintah), Orang China dan Peradaban China. Memang di sini lah masalah kadang berasal. Ketidak-mampuan, baik bumiputera maupun etnis tionghoa, membedakan antara Pemerintahan China dengan Negara China dengan Orang China membuat terjadi generalisasi bahwa etnis tionghoa yang lahir di Indonesia dengan Rakyat China adalah sama sehingga pasti lebih loyal pada RRT daripada kepada NKRI. Padahal terdapat banyak fakta-fakta dalam sejarah Indonesia berkata sebaliknya bahwa (tidak semua) etnis tionghoa Indonesia tidak hanya numpang hidup di Indonesia.
Sebaliknya, karena beberapa kali menjadi sasaran amukan masa dan korban dari perundangan yang berbau diskriminasi, banyak etnis tionghoa meng-generalisir semua bumiputera sebagai anti-tionghoa. Padahal tidak demikian. Pada masa-masa orde baru, etnis tionghoa dipaksa ber-asimilasi karena secara fisik etnis tionghoa tidak berbeda dengan Rakyat China. Dan, demi permainan politik ataupun memang kurangnya pengetahuan, Rakyat China pun dianggap sama kelakuannya dengan Pemerintahan Komunis China yang berkuasa. Kebetulan pemerintah Indonesia saat itu sedang giat-giat-nya berkampanye anti-komunis sebagai imbal balik dari dukungan Inggris dan Amerika Serikat yang sedang gencar memerangi komunisme di dunia. Dan, cara termudah dan tercepat untuk mendapat dukungan rakyat bagi pemerintah Orba yang masih baru waktu itu adalah menciptakan “common enemy,” yakni : RRT yang komunis. Maka dibuatlah iklim politik yang tidak kondusif bagi etnis tionghoa di Indonesia. Padahal, menurut Siauw Giok Tjhan sendiri, nasionalisme seseorang atau bukti bhakti seorang warga kepada negara (bukan pemerintah) tidak ditentukan oleh fisik, nama, agama, bahasa atau tradisi kebudayaan-nya, tapi dengan kesungguhan pemikiran dan tindakannya kepada negara di mana dia mengabdi.
Dalam Acara Open House (12 Mei 2007), Bapak Anand Krishna sekali lagi menyuarakan apresiasi tertinggi pada peradaban dan kebudayaan Tionghoa yang sudah berumur ribuan tahun seperti juga kebudayaan Mesir dan India. Tapi beliau mengkritik keras cara Pemerintahan Komunis China dalam memimpin negara RRT. Negara RRT tentu tidak identik dengan Pemerintahan Komunis China sekarang ini yang begitu tega menindas rakyat China sendiri demi kemajuan ekonomi negara tersebut. Meskipun tidak menyetujui Ajaran Falun Gong, tapi beliau sangat menyesalkan tindakan pemerintahan Komunis China dalam hal perlakuan terhadap para narapidana pengikut Ajaran Falun Gong.
Bom Waktu & Solusi
Ketidaktahuan oleh rakyat bumiputera tentang perbedaan antara etnis tionghoa Indonesia dengan Rakyat China pun bagaikan bom waktu yang tiap saat bisa meledak setiap saat. Saat ini, begitu banyak impor dari negara RRT di Indonesia sehingga industri dalam negeri banyak yang tutup dan mem-phk-kan karyawan-karyawan. Pengangguran yang tinggi ini akan menjadi elemen terbesar dalam memicu kerusuhan sosial (kembali) di Indonesia dan karena sekarang yang terlihat adalah barang-barang impor dari China, apakah rakyat-rakyat miskin, terutama di Indonesia dapat membedakan antara etnis tionghoa di Indonesia dengan orang-orang China di RRT?
Sementara itu, Kelompok Flight sedang begitu gencar mencari uang dengan menjual dan mengimpor berbagai macam produk buatan China dengan membanjirinya di hampir semua pasar-pasar di Indonesia. Kelompok Fight juga sedang memanaskan “bara-bara” permusuhan dengan chauvinis tiongkok mereka. Dan, Kelompok Peduli Pembauran sedang sibuk “berdendam ria” antara Asimilasi dan Integrasi. Bagaimana menghindari terjadinya Kerusuhan Anti-Tionghoa di Indonesia?
Benny G Setiono dan Kristan berpendapat sama, yakni Pemerintah harus meningkatkan kinerja ekonomi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial antara bumiputera dan etnis tionghoa serta mencabut segala perundangan yang bersifat diskriminatif, sementara etnis tionghoa sendiri harus lebih terlibat dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat setempat atau dalam dunia politik untuk menyuarakan keinginan kelompok etnis tionghoa sendiri.
Tapi yang menjadi masalah, mampukah pemerintah? Dan, bagaimana menyuruh para etnis tionghoa untuk ikut bekerja bhakti, atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat sementara dalam diri mereka sendiri tidak tertanam kepercayaan bahwa “dirinya adalah orang Indonesia” juga, atau dalam diri mereka terlanjur tertanam kebencian akibat dendam dan trauma akibat rasa takut, hasil dari berulang kali menjadi korban kerusuhan massa yang bersifat rasial? Sudah berganti-ganti 4 Pemerintahan di Indonesia sejak krisis moneter 1998, tapi perbaikan ekonomi secara riil relatif sangat minimal. Apakah Pemerintah mampu mengatasi krisis ekonomi ini lebih cepat dari “meledaknya bom waktu sosial”?
Pemerintah, dalam hal ini, tidak akan mampu bekerja efektif karena terikat dengan perjanjian-perjanjian demi kepentingan politik atau hubungan perdagangan bilateral maupun multirateral dengan negara-negara lain. Misalnya, bila pemerintah menutup keran impor barang dari suatu negara, maka negara tersebut bisa membalas tindakan pemeritah atau melaporkan hal itu pada Organisasi Dunia Perdagangan (WTO) dan Indonesia malah akan mendapat sanksi. Sementara, rakyat kecil miskin hanya tahu bahwa produk-produk impor dari China, misalnya, telah mematikan industri dan laham pertanian di mana selama ini mereka bekerja atau berusaha. Ditambah generalisas etnis tionghoa dengan Rakyat Cina, dan stigma-stigma negatif etnis tionghoa di Indonesia selama ini, maka sampai kapan “bom waktu” bisa ditunda?
Bapak Anand Krishna dan NIM mempunyai solusi jangka pendek untuk menunda “bom waktu” itu, yaitu : Kampanye Penggunaan dan Peningkatan Mutu Produk Dalam Negeri. Dengan menggunakan produk-produk dalam negeri, maka industri pun diharapkan mulai bergulir dan pengangguran pun akan mulai berkurang, termasuk industri-industri perumahan produk garmen para pengusaha etnis tionghoa yang ada di daerah-daerah Jembatan Lima, Kampung Krendang, Jelambar, Parung, Tangerang, dsbnya. WTO pun tidak mungkin bisa berbuat apa-apa bila produk-produk impor tidak lagi laku di Indonesia.
Jadi mari gunakan produk dalam negeri sendiri. Sedangkan solusi jangka panjang harus berasal dari kita sendiri yang etnis tionghoa, bagaimana menumbuhkan kesadaran menjadi Orang Indonesia se-asli-asli-nya. Tentu caranya bukan dengan ber-asimilasi atau sekedar ber-integrasi, tapi lebih dari pada itu, kita semua hendaknya menyadari dan mengatasi rasa dendam dan trauma yang sudah bersarang dalam diri kita. Bapak Budi Santoso Tanuwibowo, Ketua Matakin dan Sekjen Perhimpunan Inti, kemarin lalu berbicara di Kompas 11 Mei 2007 tentang sikap beliau terhadap Peristiwa Mei 1998, bahwa dendam membuat segala upaya untuk mencapai masa depan yang lebih baik demi kepentingan bangsa yang lebih besar terhambat. “Peristiwa (Mei 98) itu harus diingat, tetapi dendam dan kecurigaan di antara anak bangsa harus dihapuskan. Peristiwa itu tak boleh terjadi lagi dan harus menjadi aib bersama.” (Merebut Ruang, Menolak Lupa – Kompas 11 Mei 2007, Hal 59) Selama ini, dendam dan trauma masa lalu sudah cukup lama menghantui kita semua dan sudah tiba saatnya kita menyadari bahwa semua itu berasal dari rasa takut. Dengan melampaui rasa takut, maka secara otomatis kesadaran menjadi orang Indonesia akan muncul. Dan, bila kesadaran ini muncul secara kolektif di antara etnis tionghoa di Indonesia, maka kecurigaan di antara anak bangsa akan terhapus dan Peristiwa Mei 1998 tidak akan terulang kembali di Indonesia. Aktivis-aktivis Indonesia-Tionghoa pun sepantasnya meneladani sikap Kwik Kian Gie misalnya, yang berjuang demi Indonesia, bukan hanya demi etnis tionghoa di Indonesia. Ketika memprotes perundangan yang diskriminatif rasial, lakukan pembelaan atas nama seluruh rakyat Indonesia, bukan etnis tionghoa saja karena diskriminasi memang tidak pernah ada dalam konstitusi, dasar negara Indonesia dan kesepakatan bersama kemerdekaan NKRI. Semoga kita (harus) berhasil. Indonesia Jaya!!!