Dingin menyambutku di pelataran stasiun tua, senyum ramah sang penjaga menelanjangiku penuh tanda tanya, raut tua namun bermata tajam menyayat. matahari menunaikan kewajibanya, mengikuti takdir yang di gariskan Sang Penguasa kehidupan kepadanya. Takdir yang tak bisa dia rubah. perkasa diantara batasnya. Aku mendorong kaki perlahan meninggalkan sandiwara kehidupan di stasiun tua.
Masih menjadi pelamun diantara pemimpi kecil, bermain drama di panggung yang telah di gariskan. Bagaikan lantunan ayat ayat suci yang di perdengarkan tak begitu jelas, kencang dan berulang ulang. persetan siapa yang bakal paham akan artinya, konon siapa yang cepat kan mendapatkan imbalan yang istimewa. menjadi penghuni nirwana.
Apa kan berakhir indah sepertiyang telah dijejalkan ilusi sejenak? aku tak berhak menjawabnya? aku bukan orang yang tahu akan kehidupan, aku hanya serpihan yang terserak diantara banyak golongan. Melahirkan generasi munafik yang membenarkan segala tindakan? mengiyakan segala kemingkinan. Membinasakan kembaran hanya demi nikmat individual.
Entah aku terlalu membenci mimpi atau golongan pesimis yang malas walau hanya sekedar mengemis keindahan. aku hidup berjalan dengan takdirku. Takdir yang hanya bisa ku usahakan. menunggu kenikmatan dengan keinginan yang hampir membobol isi kepala.
Kemarin masih sama dengan esok lusa, itu hanya tebak tebakan, Â masih menebak besok siapa yang kan terbang terhapus ingatan. aku, anda atau siapa kita tak bisa menentukanya. mari terus bermimpi, seolah itu cita cita suci yang menyenangkan. ku rasa itu damai sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H