Mohon tunggu...
Jo Amatir. Greenwood
Jo Amatir. Greenwood Mohon Tunggu... wiraswasta -

cuap cuap

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tak Adil

4 Februari 2011   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:54 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parjo berjalan menyusuri trotoar. mencari sosok sosok yang di kenalnya. terus melangkah mencari sebuah asa. tak lelah kaki menuju sebuah harapan. demi pendamping titipan Tuhan. langkahnya gontai, tapi di dalam ingatanya tajam menghafal. kencang mobil buatan jepang membuat anganya meloncat tergagap mengutuk. '' jancok jaran kon iku! matamu iku mbok dokok dengkul ta!!'' umpatan parjo hanya berbalas raungan penuh kecepatan, di selingi tawa tiga abg yang duduk di bawah akasia. kembali parjo mengukur jalan, langkahnya sekarang berpindah di jalanan. bukan di trotoar. walau hatinya ragu, takut ada kereta jepang mendorongnya dari belakang. namun sudah tak ada jalan. trotoar berganti menjadi ruang penjaja makanan dan minuman.


Semakin lama parjo tak ingat jalan yang di tujunya, otaknya sudah rapuh, usia menghapus segala ingatan manis dan pahitnya. air mata perlahan mengalir di matanya, membasahi keriput wajahnya. dahulu di jalan yang sedang parjo lintasi. dia berjuang sekuat tenaga demi pertiwi. tak ada darah yang terbuang sia sia. semua berkorban demi perjuangan. dengan loreng di hati, penuh tekad membara. parjo termasuk diantara ribuan pemuda yang menghalau tentara inggris. mengorbankan semua yang ada. masih di ingatanya. luka di pahanya adalah saksi bisu kejamnya tentara. namun juga sorak gegap gempita kemenangan. sekarang cerita itu hanya menjadi sebuah kebanggaan diri. tak ada yang mau menghargai selain dirinya sendiri. bahkan istri pun kadang juga mengumpatnya. ''pejuang kere tetep ae kere.''


Sudah hilang harapan itu, langkah itu tak tertuju. Bahkan tuk membayar biaya rumah sakit saja parjo tak mampu. walau di jiwanya masih ada sisa kepahlawanan itu. langkahnya hanya menuju dan mencari, para sahabat sahabat yang mau memberikan sedikit hutangan padanya. untuk biaya pengobatan istrinya yang terbaring di kamar kelas melati di bangunan putih berlinang cahaya. harapan parjo sekarang musnah hilang, tolakan halus pun bayak di terimanya. melihat semua temanya pun parjo pun juga tak tega meminta. tak jauh berbeda dengan dirinya. di usia yang sudah mendekati bau tanah banyak yang masih berjuang demi sekedar mengisi perutnya.


parjo melangkah menuju mencari kenangan sisa memorynya, di mana dia merasa bangga dengan dirinya. bahwa dia pernah menjadi berguna untuk tanah kelahiranya. tempat di mana kan memulai tidur panjangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun